Saturday, June 2, 2007

MAKRO - EKONOMI
Miranda Goeltom: Kita Cukup Kokoh!

Fenomena serbuan modal jangka pendek di pasar modal dan pasar uang Indonesia sekarang ini, menurut Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, tidak perlu membuat kita terlalu khawatir dengan ancaman bakal terulangnya kembali krisis finansial.

enurut dia, ada perbedaan mendasar antara kondisi menjelang krisis tahun 1997/1998 dan sekarang. Kendati tetap bersikap optimistis, Miranda menekankan sikap waspada (cautious) tetap harus ada. Alasannya, ada faktor-faktor eksternal yang juga ikut berpengaruh, yang berada di luar kendali kita.

Faktor itu termasuk faktor China. Peran China yang semakin besar dalam perekonomian dunia, baik penduduk, cadangan devisa, kapitalisasi pasar modal, maupun lainnya, menyebabkan setiap kejadian yang mengguncang pasar modal di China, dampaknya pasti juga akan dirasakan Indonesia.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Miranda Goeltom di ruang kerjanya, Selasa (29/5).

Sebelum krisis 1997/1998 kondisi perekonomian Indonesia disebut aman, tetapi kena krisis juga. Kalau sekarang dibilang kokoh, sekokoh apa kita ini? Apa saja antisipasi dan instrumen pengaman yang kita punya?

Ada tiga faktor yang harus kita perhatikan dan kita harus waspada, yakni kondisi dari perspektif makro-ekonomi, kondisi perbankan, dan kondisi sektor riil. Dari makro-ekonomi, ada perbedaan mendasar antara kondisi 1997 dan sekarang.

Tahun 1997, saat mulai ada gejala-gejala (krisis) di Malaysia, kemudian Thailand, secara politik atau sistem kita masih belum kredibel. Secara makroekonomi, kita mengalami defisit current account (neraca transaksi berjalan) cukup besar, 5,2 miliar, tahun 1997 dan kini kita surplus 9,6 miliar tahun 2007. Tahun depan mungkin lebih besar lagi. Jadi ada perbedaan mendasar.

Dilihat dari struktur, kenapa current account kita sekarang surplus dan tahun 1997 defisit, komoditas yang mendukung surplus sekarang ini bukan hanya migas, tetapi juga nonmigas. Meskipun, harus diakui, komoditas nonmigas itu masih didominasi komoditas primer.

Kedua, dari cadangan devisa, menjelang krisis tahun 1997 kurang dari 20 miliar dollar AS, sedangkan sekarang 50,9 miliar dollar AS. Ini juga membantu menopang kestabilan makroekonomi kalau sampai terjadi pengalihan arus modal.

Dilihat dari utang, rasio utang jangka pendek pemerintah dan swasta terhadap PDB (produk domestik bruto) saat ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan 1997. Jadi risiko default juga cukup rendah.

Ketiga, sistem nilai tukar dulu managed floating (mengambang terkendali). Ini mengharuskan bank sentral dan pemerintah menjaga nilai tukar pada level tertentu sehingga apabila terjadi pembalikan arus modal, cadangan devisa akan tergerus. Sekarang sistem nilai tukar kita mengambang (free floating) sehingga tidak harus terlalu menyebabkan penurunan cadangan devisa kalau terjadi pembalikan modal.

Kalau dibandingkan dengan skala potensi arus modal jangka pendek yang akan masuk dan bisa keluar sewaktu-waktu sekarang ini, kita sangat kokoh?

Dari perspektif makroekonomi, saya bisa jawab kita cukup kokoh. Bahkan ini ditunjang lagi dengan berbagai langkah antisipasi yang dilakukan BI bersama pemerintah. Misalnya stabilitas makro dengan menjaga inflasi pada level yang rendah. Ini sangat mungkin dilakukan karena BI independen sekarang ini. Selain independen, BI juga sekarang lebih fokus. Dulu selain tidak independen, targetnya macam-macam, mulai dari menangani inflasi hingga pertumbuhan ekonomi.

Kedua, BI juga melakukan fasilitasi melalui sejumlah peraturan BI agar meskipun kredit perbankan tersalurkan, namun tetap dalam koridor kehati-hatian.

Saya juga ingin menekankan, tidak bisa dipisahkan antara stabilitas makroekonomi dan finansial. Keduanya merupakan satu kesatuan. Stabilitas makro-ekonomi tidak bisa ajek kalau sistem keuangannya tidak terpelihara dengan baik. Sebaliknya, sistem keuangan juga sulit bekerja dengan baik kalau inflasi tidak jelas dan nilai tukar gonjang ganjing. Pokoknya, keduanya saling berhubungan.

Kami juga menyadari, salah satu faktor penting untuk menjaga inflasi agar tidak tinggi serta menjaga kestabilan makroekonomi adalah peranan pemerintah.

Pemerintah pun kian menyadari, kalau defisitnya digunakan untuk sesuatu yang tidak menimbulkan pertambahan kapasitas produksi, akan menimbulkan tekanan inflasi. Sebaliknya kalau defisit pemerintah digunakan untuk menambah infrastruktur dan kenaikan produksi, tidak akan menimbulkan tekanan inflasi.

Pemerintah dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Dulu, kalau dibilang budget balance (anggaran berimbang), nyatanya tidak berimbang. Sekarang anggaran kita jelas. Kalau defisit harus jelas sumbernya dari mana, pembiayaannya dari mana. Semuanya terencana. Bahkan, gambaran fiskal untuk lima tahun ke depan, kita sudah punya.

Adakah antisipasi lain yang dilakukan untuk mencegah krisis kedua?

Dulu belum ada kerja sama makro-ekonomi regional yang membantu kalau tiba-tiba terjadi external shock. Sekarang sudah ada bilateral swap arrangement antara Indonesia dan berbagai negara, atau antara Malaysia dan sejumlah negara. Bahkan, dalam pertemuan terakhir ASEAN plus tiga negara sudah ada keinginan untuk meningkatkan menjadi multilateral swap arrangement.

Di sisi lain, cadangan devisa negara-negara ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan kini sudah sangat kokoh dengan jumlah hampir 3 triliun dollar AS. Jadi, dari sisi regional maupun perspektif makro, adanya guncangan ekonomi tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Saya juga bisa menunjukkan kokohnya mikro stabilitas sistem keuangan saat ini. Dulu, saat sebelum krisis, rasio kecukupan modal (CAR) bank sekitar 10 persen, sedangkan sekarang sekitar 21 persen. Juga dari sisi kemampuan untuk menghasilkan keuntungan, jauh lebih tinggi sekarang.

ROA (return on assets) sekarang itu lebih dari 2 persen, sedangkan dulu kurang dari 2 persen. Earning asset-nya juga jauh lebih banyak dibandingkan dengan dulu. Itu dari perspektif stabilitas sistem keuangan dikaitkan dengan kondisi keuangan perbankan secara keseluruhan.

Bagaimana dengan perspektif stabilitas sistem keuangan dikaitkan dengan governance atau perilaku di perbankan?

Bank sekarang punya risk management, sedangkan dulu tidak punya. Artinya bank sekarang lebih mampu melakukan pengelolaan usaha sehari-hari dengan memperhitungkan berbagai risiko. Dulu tidak ada.

Kedua, penerapan good governance oleh BI kencang sekarang. Dulu BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) enggak terdeteksi lagi, sekarang BMPK selain rendah, juga karena masalah transparansi terdeteksi dengan baik.

Risiko exposure perbankan juga jauh lebih terdiversifikasi sekarang. Dulu perbankan exposure ke nasabah besar saja, sekarang ke usaha mikro, kecil, dan menengah banyak juga ke yang lain-lainnya. Yang terakhir, net open position, sekarang ini dipatuhi dengan baik. Kredit valas misalnya harus dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai aset valas yang mengikuti aturan kita. Tidak boleh lebih besar dari sekian.

Ada dua keuntungan. Pertama, ada natural hedging. Karena dia ngasih kredit valas dan juga punya aset valas, maka bisa meng-cover risiko, Kedua, instrumen-instrumen hedging kini makin banyak dibandingkan dengan dulu.

Karena itu, ingin saya simpulkan, makro kini oke, stabilitas juga oke. SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sebagai buffer juga ada. Sangat kokoh dibandingkan dengan dulu. Di perbankan, kini juga cukup banyak SBI. Apabila terjadi sesuatu, mereka tinggal cairkan dan tarik. Itu kan seperti cash saja.

Apakah tidak mungkin ada pembalikan modal?

Saya katakan, kemungkinan itu tetap ada. Namun, harus diingat, arus modal masuk secara internal disebabkan kekokohan yang tadi saya sebutkan. Secara eksternal ada juga faktor pendorongnya, antara lain global excess liquidity, commodity price yang tinggi sekali, serta policy. Itu sebabnya masih terjadi yen carry trade. Artinya, orang meminjam di yen kemudian ditanamkan di mata uang lain. Nah, gimana kalau tiga faktor ini berubah? Katakanlah China overheating atau China kekenyangan. Satu tahun cadangan devisa naik 300 miliar dollar AS, China kan kenyang sekali. Atau, China push untuk mata uang sedikit lebih longgar, band dibesarkan jadi 3 persen sehingga akibatnya pasar modal China kena dan sebagainya.

Bisa-bisa global excess liquidity ini tidak pergi ke Asia lagi, tapi pergi ke tempat lain. Itu bisa terjadi. Yang kedua juga kita bisa terkena dari sisi modal ke emerging market. Ketiga, harga minyak dunia yang turun naik. Contoh lain, Jepang menaikkan suku bunga, dari 0 menjadi 0,5. Kan carry trade-nya pindah. Jadi ini semua adalah beyond our control kita tetap harus telaten dan memikirkan bagaimana cara-cara kalau terjadi pembalikan.

Penempatan dana jangka pendek di SBI apakah tak berisiko?

Orang sering melihat itu berisiko, padahal SBI itu cushion. Itu kan safe asset. Orang menyukai SBI karena aman. Pemerintah kita tidak pernah ngemplang utang. Beberapa negara lain ada yang ngemplang utang. Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah ngemplang utang. Karena itu sangat dipercaya. (IRN/THY/TAT)

No comments: