Saturday, June 2, 2007

Indonesia Menjadi Lahan Subur Jarahan

Bagi spekulan global, Indonesia masih sangat menarik untuk membiakkan uangnya. Berbagai kebijakan moneter dan keuangan yang dikeluarkan menjadi magnet untuk datang ke Indonesia dengan "janji" keuntungan menggiurkan.

"Keuntungan ini diperoleh sekaligus dari nilai tukar dan suku bunga perbankan," kata pengamat pasar uang dan modal, Farial Anwar.

Dari suku bunga perbankan, misalnya, Indonesia hingga saat ini masih merupakan negara yang paling tinggi tingkat suku bunganya simpanan, yakni 8,75 persen. Negara-negara lain hanya sekitar 5 persen. Jepang bahkan cuma 0,25 persen.

Begitupun jika melihat suku bunga riil (real interest rate/RIR), perbandingan antara tingkat inflasi dan suku bunga perbankan. Bank Indonesia (BI) Rate, misalnya, saat ini 8,75 persen, sedangkan inflasi 6 persen. Jadi, suku bunga riil 2,75 persen masih sangat menguntungkan bagi investor. Karena itu, investor pun masih berani memegang rupiah.

"Tingginya keuntungan ini sekaligus membuat Bank Indonesia berani menurunkan BI Rate karena di negara-negara lain RIR cuma sekitar dua persen," kata Farial.

Begitupun jika dilihat perbedaan suku bunga simpanan dalam rupiah dengan suku bunga simpanan dalam dollar. Perbedaan 3,5 persen masih cukup menggiurkan investor. Begitu menariknya, banyak spekulan yang melakukan carry trade. Mereka meminjam uang dari negara yang suku bunganya rendah, seperti Jepang, kemudian diinvestasikan ke Indonesia yang suku bunganya tinggi. Selisih suku bunga inilah yang menjadi keuntungan mereka.

"Daya tarik ini sekaligus menjadi kelemahan. Mereka menjadikan Indonesia sebagai lahan jarahan," kata Farial.

Dia mencontohkan, banyak spekulan yang menjual dollar pada saat posisi Rp 9.200, kemudian uang rupiah ini mereka investasikan di saham. Padahal, indeks saham saat ini juga sedang naik dari 1.600 ke 1.800, kemudian naik lagi menjadi 2.100. Pada posisi sedang tinggi, saham pun mereka lepas dan kembali dibelikan dollar yang saat ini sedang berada pada posisi Rp 8.700.

"Jadi mereka untung berlipat ganda di nilai tukar, saham, dan Sertifikat Bank Indonesia. Spekulan global untung di instrumen pasar modal dan valuta asing," kata Farial.

Beban berat

Tingginya keuntungan yang diperoleh ini menyebabkan investasi di sektor ini terus meningkat. Saat ini saja sekitar 14,1 miliar dollar AS yang diinvestasikan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) serta saham. Yang paling mengkhawatirkan, dana panas (hot money) di SBI dan saham karena semuanya bersifat spekulatif dan jangka pendek.

Dana panas dari Amerika dan Eropa ini memang banyak mengalir ke sejumlah negara, termasuk China, Vietnam, Thailand, dan Indonesia. Namun, negara-negara lain mengikat dana panas tersebut sehingga tidak bisa ditarik sewaktu-waktu. Di Cile dan Thailand, misalnya, tidak bisa ditarik selama setahun.

Cuma di Indonesia dana panas tersebut bisa masuk ke bank sentral, ditempatkan pada SBI. Padahal, dengan menaruh uangnya di SBI, spekulan tinggal duduk diam, uang berkembang biak dengan cepat. Mereka mendapatkan bunga SBI 8,75 persen, padahal mereka meminjam dari negara lain yang bunganya 6,5 persen. "Karena itu, saya tidak habis mengerti, mengapa asing itu diperkenankan membeli SBI. Apa manfaatnya asing masuk ke SBI?" kata Farial.

SBI, lanjut Farial, adalah instrumen pengendalian moneter untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat. "Masyarakat mana? Masyarakat dalam negeri. Kalau begitu, mengapa asing dibiarkan masuk?" ujarnya. Padahal, investor domestik pun pasti bisa menyerap semua SBI.

Kini asing sudah telanjur masuk. Jumlah dananya pun cukup besar, sekitar Rp 45 triliun dari Rp 237 triliun dana yang disimpan di SBI. Padahal dulu, dana asing di SBI ini sempat turun menjadi Rp 20 triliun, kemudian turun lagi menjadi Rp 12 triliun. "Lalu kenapa sekarang dana asing naik lagi?" ujar Farial.

Spekulan asing ini ketika datang membawa dollar, uangnya tidak ditukar di BI, tetapi di pasar. Rupiahnya kemudian mereka tanam dan "tidur nyenyak" di SBI.

Kalau saat ini dana asing di SBI ini Rp 40 triliun saja, dengan bunga rata-rata 10 persen, berarti setiap tahun BI harus membayar Rp 4 triliun. Bunga ini kemudian oleh spekulan dimasukkan lagi ke SBI sehingga setiap tahun bunga yang harus dibayar BI menggelembung semakin besar seperti bola salju. "Sampai kapan BI sanggup membayar bunga yang terus membesar? Apa manfaatnya? Tidak ada," kata Farial.

Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan beban bunga yang harus dibayar BI terus membengkak. Di sisi lain, tingginya bunga juga akan menambah jumlah uang beredar. "Kita tidak ingin seperti dulu, terjadi sanering (pemotongan nilai uang) yang sangat melumpuhkan sendi-sendi perekonomian bangsa," kata Farial.

Dua titik rawan

Dalam pandangan Farial Anwar, setidaknya ada dua hal yang membuat rentan perekonomian nasional dewasa ini. Pertama, diterapkannya sistem rezim devisa bebas. Siapa pun bisa membeli valuta asing tanpa batas. Bahkan ibu-ibu rumah tangga tanpa tujuan jelas pun bisa membeli valuta asing setiap saat.

Padahal, di negara lain, jika ingin membeli valuta asing harus jelas tujuannya. Jika untuk impor, misalnya, harus memperlihatkan surat kredit berdokumen (L/C). "Di Indonesia tidak demikian. Mau beli dollar berapa pun tidak dibatasi asal ada uangnya," kata Farial.

Yang dibatasi hanya banknya dengan posisi terbuka neto (net open position/NOP). Namun, kalau di perusahaan, tidak ada aturan yang membatasinya.

Kerentanan kedua, diterapkannya sistem nilai tukar mengambang bebas. "Jadi, sudah rezim devisanya bebas, nilai tukarnya juga mengambang bebas," ujar Farial.

Kalau sistem tukar mengambang bebas tidak diikuti dengan rezim devisa bebas, mungkin tidak terlalu rentan.

"Itulah dua masalah yang akan terus mengganggu rupiah. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah melihat rupiah stabil jika sistemnya seperti ini," kata Farial.

Meski demikian, Farial yakin kerentanan itu takkan sampai menimbulkan krisis jilid dua setelah krisis 1997. Salah satu alasannya, cadangan devisa yang semakin menguat. Jika tahun 1997 cadangan devisa kita hanya sekitar 21 miliar dollar AS, kini telah menguat menjadi 50,3 miliar dollar AS. "Jadi kalau dana asing (hot money) yang jumlahnya sekitar 15 miliar dollar AS ramai-ramai ditarik, BI masih bisa menanggulanginya," kata Farial.

Di samping itu, pasar valuta asing di perbankan kini sudah lebih teregulasi. Dulu banyak tindakan-tindakan bank yang bisa mengguncang perekonomian. Pinjaman luar negeri swasta sekarang juga sudah lebih termonitor. Kalau dulu, perbankan, swasta, pemerintah mempunyai pinjaman luar negeri yang tidak termonitor BI. "Akibatnya, begitu terjadi arus balik, guncangannya luar biasa," kata Farial.

Di sisi lain, perbankan kita sekarang tak lagi dikuasai "konglomerat bandit" seperti dulu. "Dulu bank betul-betul dijadikan ajang sapi perah oleh para pemilik perusahaan dan juga pemilik bank. Bank bekerja bukan untuk kepentingan nasabah, tetapi untuk kepentingan grup," ujar Farial.

Sekarang ini konglomerat bandit tidak ada lagi yang eksis. Karena itu, kalaupun terjadi guncangan, tidak akan sehebat dulu.

Perekonomian kawasan pun kini sudah sangat membaik. Malaysia meskipun dikecam IMF, regulasinya sangat bagus. China dan Hongkong, proteksinya sangat kuat. Begitupun baht Thailand dan peso Manila cenderung terus menguat.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk panik dan khawatir meski demikian juga tidak boleh lengah. Harus tetap waspada. (THY/TAT)

No comments: