Thursday, June 28, 2007

Kesetiakawanan Global Compact 2025

William Chang


Jika kerangka kerja Millennium Development Goals (MDGs)-Based Poverty Reduction Strategy 2015 terwujud, maka Global Compact 2025 antara negara-negara kaya dan miskin untuk mengakhiri kemiskinan global akan berjalan baik. Mungkinkah?

Kesadaran global mendorong sejumlah negara kaya menolong negara-negara miskin yang terlilit utang. Setengah tahun sebelum Pertemuan Kelompok Delapan Negara (G-8) di Heiligendamm, Paus Benediktus XVI menyurati Kanselir Jerman Angela Merkel agar serius memerhatikan kemiskinan global. Membebaskan negara miskin termasuk tanggung jawab moral negara-negara kaya yang berat.

Kesetiakawanan sosial menjiwai program Global Compact 2025. Masyarakat internasional terpanggil untuk meringankan beban hidup sesama yang menderita. Saling bergandengan tangan membebaskan diri dari utang, penyakit, dan kebodohan adalah wujud kepedulian sosial. Sudah saatnya aneka bisnis senjata ilegal, bahan baku persenjataan, pelarian modal, dan pencucian uang hasil korupsi dihentikan.

Seiring program penyejahteraan global, negara-negara miskin wajib menjalankan sistem pemerintahan yang bersih agar percaturan politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan religius lebih bermartabat. Program ini mengandaikan proses rekonstruksi dan reformasi kenegaraan. Swadaya warga masyarakat Indonesia akan mendukung seluruh program pengikisan kemiskinan.

Memerangi kemiskinan

Terlepas dari kekayaan dan keindahan alam, sekitar 45,23 persen dari 440 kabupaten di negara kita masih tertinggal (Kompas, 24/8/2005). Kelaparan, malanutrisi, anak jalanan, tunawismawan, dan tunakaryawan mengisi kantong-kantong kemiskinan negara kita. Kasus Ceriyati, yang lari dari rumah majikannya di tingkat 15 di Kuala Lumpur, mengkritik penanganan kemiskinan di Tanah Air. Strategi apa yang diperlukan dalam memerangi kemiskinan di Tanah Air dan membenahi sistem sosial negara kita?

Dalam memerangi kemiskinan minimal ada enam langkah penting. Pertama, desentralisasi strategi manajemen umum dengan meningkatkan investasi di daerah-daerah terpencil.

Kedua, mengadakan aneka pelatihan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam bidang pelayanan publik.

Ketiga, mengembangkan teknologi informasi untuk memajukan daerah dalam semua sektor kehidupan.

Keempat, mengatasi kesenjangan yang menonjol antara kaum kaya dan miskin.

Kelima, pemerintah harus mengaudit kekayaan penguasa dan mereka yang diduga melakukan pencucian uang (money laundering).

Keenam, memantau dan mengevaluasi penanaman modal masyarakat (J Sachs, The End of Poverty, 2005).

Proses memerangi kemiskinan ini menuntut sistem dan mekanisme kerja pemerintah yang transparan dalam mengelola keuangan. Jaringan permainan antara pejabat dan rakyat yang merugikan negara akan menghambat proses pengurangan kemiskinan. Ketidaksanggupan menertibkan pungutan liar di pelabuhan, Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJR), bandara, atau di mana pun, akan mencoreng wajah bangsa di mata dunia.

Sumber kejahatan

Sejumlah pandangan sosiologis mengaitkan kemiskinan dengan tindak kriminal. Kemiskinan termasuk sumber kekacauan sosial. Bahkan, belakangan kemiskinan dan ketidakadilan dianggap sebagai akar terorisme.

Benarkah? Tidak seluruhnya benar! Bukankah kekuatan finansial jaringan teroris berskala internasional? Tidak sedikit dana tersedot untuk membeli bahan baku bom dan memobilisasi kaki tangan teroris. Gerakan teroris lebih terkait perwujudan ideologi fundamentalis dan sektarian.

Yang jelas, kejahatan dan kekerasan dalam aneka skala dan bentuk, memiskinkan manusia. Konflik sosial yang berulang kali melanda Tanah Air, telah membentuk iklim sosial yang traumatik, mencekam, dan menakutkan. Keamanan untuk hidup dan bekerja terusik. Bisnis di kawasan wisata (Bali, Parapat, dan tempat lain) yang semula normal, menjadi terpuruk. Ekonomi rakyat terganggu. Devisa dari wisata goyah karena wisatawan tak akan datang di tempat yang tak aman.

Sementara itu, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam dengan senyum menyambut wisatawan asing sambil menawarkan jaminan keamanan. Keamanan sosial adalah modal dasar perkembangan perekonomian rakyat dan harus diprioritaskan. Tanpa keamanan, kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan religius terganggu. Tak mengherankan, patroli keamanan ditingkatkan di kawasan-kawasan rawan kekerasan.

Penanganan kasus-kasus kejahatan (dari premanisme hingga terorisme) harus dilakukan inte- gral, konsisten, dan edukatif. Pengikisan kejahatan adalah langkah penting memperbaiki kondisi ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Gerakan antikekerasan yang diperjuangkan Mahatma Gandhi, dibutuhkan dalam mewujudkan masyarakat lebih sejahtera, aman, damai, dan bermasa depan sesuai semangat MDGs- Based Poverty Reduction Strategy 2015.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

No comments: