RI-Malaysia
Siapa Memanfaatkan Siapa?
Rencana kerja sama bilateral dengan negara serumpun Malaysia, sedikitnya di lima bidang potensial, mencuatkan sejumlah peluang dan tantangan bagi Indonesia. Dengan kerja sama tersebut, Indonesia berpeluang meningkatkan perekonomiannya. Tantangannya, mampukah Indonesia menjadi pihak yang tidak "dimanfaatkan" oleh Malaysia?
Beberapa dasawarsa silam, Indonesia berada di depan Malaysia, hampir di segala bidang. Sekarang situasi terbalik, negeri jiran itu telah jauh meninggalkan Indonesia.
Karena memiliki kapasitas yang berbeda, setiap kerja sama yang dilakukan Indonesia dan Malaysia cenderung menimbulkan manfaat yang tidak seimbang di antara keduanya.
Indonesia tentu saja mendapatkan manfaat. Namun, tanpa disadari, sebenarnya Malaysia-lah yang memegang kendali.
Kondisi tersebut sangat bisa terjadi pada keuangan syariah, salah satu dari lima bidang yang akan dikerjasamakan.
Anggota Dewan Syariah Nasional, M Gunawan Yasni, Rabu (20/6) di Jakarta, menjelaskan, keinginan Malaysia untuk bekerja sama dengan Indonesia di bidang keuangan syariah dilatarbelakangi keinginan negara tetangga itu untuk tetap menguasai keuangan syariah di dunia.
Saat ini Malaysia memang menguasai 80 persen instrumen keuangan syariah yang beredar di pasar global. Infrastruktur yang memadai, mulai dari institusi keuangan syariah yang andal, produk keuangan syariah yang beragam, sampai peraturan yang propasar, membuat Malaysia jadi tempat investasi syariah yang diburu investor global.
Pada saat bersamaan, investor Timur Tengah yang sedang menikmati keuntungan dari melambungnya harga minyak sedang mencari tempat investasi baru di luar Amerika Serikat dan Eropa yang sudah jenuh.
Karena tak banyak negara Asia yang memiliki infrastruktur keuangan syariah memadai, termasuk Indonesia, Malaysia pun menjadi pilihan utama.
Masalahnya, sistem keuangan syariah tidak seperti sistem keuangan konvensional yang memungkinkan uang hanya menjadi hot money.
Dalam sistem keuangan syariah, setiap keping uang harus mempunyai dasar aset (underlying asset). Artinya, investasi syariah mutlak digunakan untuk kegiatan sektor riil.
Inilah, ujar Gunawan, yang menjadi kendala Malaysia. Likuiditas dari Timur Tengah sangat berlimpah, tetapi investasi di sektor riil kian terbatas mengingat Malaysia sudah cukup maju dalam segala hal. Karena itu, Malaysia melirik Indonesia yang memang sedang butuh dana besar untuk pembangunan infrastruktur, pertanian, dan berbagai hal lainnya.
Malaysia pun memosisikan diri menjadi terminal aliran modal dari Timur Tengah ke Indonesia. Malaysia tetap akan mendominasi keuangan syariah dunia meskipun sebenarnya mereka menginvestasikan dana tersebut di Indonesia.
Wahyu Dwi Agung, Presiden Direktur MC Consulting, perusahaan konsultan syariah, mengatakan, kondisi tersebut sebenarnya tidak menguntungkan Indonesia karena biayanya menjadi lebih mahal.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia langsung menyerap dana dari Timur Tengah tanpa melalui Malaysia?
"Institusi syariah Indonesia harus meningkatkan kapasitasnya sehingga bisa dipercaya investor Timur Tengah," ujar Wahyu.
Adapun Gunawan lebih menekankan pentingnya pemerintah dan DPR segera menerbitkan UU Surat Berharga Syariah Negara. "Ini akan menjadi pintu masuk dana dari Timur Tengah," katanya.
Sektor lain
Situasi di mana Indonesia berada dalam posisi yang "dimanfaatkan" juga potensial terjadi di sektor-sektor lain, seperti infrastruktur, perkebunan, pariwisata, usaha kecil menengah (UKM), dan industri makanan.
Di sektor infrastruktur jalan tol, misalnya, saat ini investor Malaysia sangat agresif membangun jalan tol di Indonesia. Perusahaan Malaysia, MTD Capital Berhad, bekerja sama dengan investor lokal, PT Nusacipta Etika Pratama, akan membangun ruas tol Cikarang-Tanjung Priok (33,92 kilometer) dengan nilai total investasi Rp 2,36 triliun.
Investor Malaysia lainnya, Plus Expressway Berhard, akan membeli saham PT Lintas Marga Sedaya yang merupakan pemegang konsensi tol Cikampek-Palimanan (116 kilometer).
Di sektor pariwisata, Malaysia juga jauh mengungguli Indonesia. Direktur Lembaga Pengembangan Informasi Pariwisata Diyak Mulahela menilai, industri pariwisata Malaysia dipersiapkan secara matang. Bukan cuma mengoptimalkan potensi tempat-tempat tujuan wisatanya, melainkan juga sumber daya manusia dan promosinya.
Dia mencontohkan program Visit Malaysia 2007. Gaung program itu sangat terdengar karena riset, perencanaan, hingga promosi melalui berbagai media begitu mantap.
Sementara program Visit Indonesia 2008 belum terdengar gaungnya sampai pertengahan tahun ini. Dari sisi anggaran promosi, Malaysia menganggarkan 60 juta dollar AS; sedangkan Indonesia jauh lebih kecil, hanya 10 juta dollar AS pada 2007.
"Kita harus pintar-pintar mencari manfaat dari kerja sama dengan Malaysia. Jangan sampai Indonesia justru dimanfaatkan untuk mendongkrak sektor pariwisata Malaysia," ujar Diyak.
Buka jaringan pemasaran
Kepala Usaha Kecil dan Mikro Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Nining I Soesilo mengatakan, sebelum mengadakan kerja sama, pemerintah sebaiknya melihat dulu posisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Menurut Nining, kerja sama itu harus menjadi tonggak untuk membuka jaringan pemasaran. Artinya, jika produk UMKM Malaysia selama ini bisa tembus ke negara-negara besar, UMKM Indonesia harus cekatan menembus pasar internasional.
Terkait kerja sama pada sektor produk-produk halal, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Thomas Darmawan mengingatkan, jangan sampai muncul kesan produk makanan yang pasti halal adalah produk yang diimpor dari Malaysia.
Kesan seperti itu bisa terbentuk karena Malaysia kini getol mengembangkan kawasan khusus pemrosesan halal di Selangor. Produk yang dibuat di kawasan itu dipastikan halal sejak pemrosesan sehingga tidak diperlukan lagi sertifikat halal.
"Kita sibuk dengan menyusun peraturan, label, dan sertifikasi untuk mengakomodasi isu halal. Akhirnya, masalah kehalalan jadi tambahan biaya," ujar Thomas.
(FAJ/RYO/DAY/OSA)
No comments:
Post a Comment