Tuesday, June 26, 2007

Pajak Ekspor CPO
Dan, Petani Pun Tergelincir

Hamzirwan

Keputusan pemerintah menaikkan pajak ekspor kelapa sawit dan delapan produk turunannya benar-benar mengenyakkan. Pemerintah ingin mengamankan pasokan minyak goreng domestik. Harga minyak sawit mentah atau CPO lokal pun mulai merosot. Tak terkecuali harga tandan buah segar kelapa sawit ikut tergelincir.

Sepekan setelah pemerintah mengumumkan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.011/2007, Jumat (15/6) malam, tentang kenaikan pajak ekspor (PE) sampai 7 persen poin, harga CPO mulai melemah.

Harga CPO di pasar lokal, yang sempat menembus Rp 7.626 per kilogram (kg) pada hari Kamis (7/6), turun menjadi Rp 6.680 per kg pada Rabu (20/6). Adapun harga CPO CIF Rotterdam pada Rabu pekan lalu mencapai 787,5 dollar AS per ton, sementara harga FOB Malaysia 2.600 ringgit Malaysia (753 dollar AS) per ton.

Secara kasatmata, harga CPO mulai turun belakangan ini. Pada Juni hingga September, petani kedelai di Amerika Serikat mulai panen raya, demikian juga petani kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Panen raya ini meningkatkan pasokan bahan baku minyak nabati ke pasaran.

Bagaimana kondisi sebenarnya? Panen kelapa sawit di Sumatera sampai kini masih relatif normal. Panen raya diperkirakan baru terjadi Juli nanti.

Kondisi itu menyebabkan harga CPO di pasar internasional kembali terkatrol meski relatif tipis dibandingkan dengan Mei hingga Juni 2007. Komoditas CPO CIF Rotterdam pada hari Jumat (22/6) lalu diperdagangkan pada harga 792,5 dollar AS per ton. Sementara di pasar Malaysia dengan kondisi di pelabuhan eksportir, harga CPO mencapai 775 dollar AS per ton.

Fakta ini menunjukkan tren kenaikan harga CPO di pasar internasional masih terjadi meski agak lemah. Kondisi pasokan bahan baku dan tingginya permintaan merupakan faktor fundamental yang memengaruhi harga. Kekhawatiran produsen biodiesel dan produk konsumer berbahan baku minyak nabati akan kesinambungan pasokan bahan baku membuat harga internasional relatif tetap tinggi.

Kondisi ini yang mendorong pemerintah memutuskan segera merealisasikan kenaikan PE CPO dan turunannya. "Tujuannya, untuk mengamankan persediaan atau suplai CPO dan minyak goreng domestik dengan harga yang terjangkau. Lebih baik kami menyelamatkan masyarakat lebih awal daripada menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi," kata Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, yang mengumumkan kebijakan kenaikan PE tersebut.

Nasib petani

Langkah ini sebenarnya cukup baik untuk mengendalikan harga minyak goreng curah di tengah kondisi masyarakat masih banyak yang susah. Namun, kesiapan pemerintah menyiapkan jaring pengaman untuk mencegah efek domino kebijakan ini di tingkat petani belum sesuai harapan.

Saat PE CPO masih 1,5 persen dengan harga patokan ekspor (HPE) bulan Juni 2007 sebesar 622 dollar AS per ton, harga tandan buah segar (TBS) masih Rp 1.050-Rp 1.400 per kg. Ketika itu, nilai PE dari setiap ton CPO yang diekspor sebesar 9,3 dollar AS.

Nilai PE CPO saat ini menjadi 40,43 dollar AS per ton sejak dinaikkan menjadi 6,5 persen atau melonjak 31,1 dollar AS per ton. Setiap PE naik 1 dollar AS per ton akan menekan harga TBS sawit sebesar 0,14 dollar AS per ton sehingga dengan kenaikan PE CPO sebesar 5 persen, harga TBS turun 4,35 dollar AS (sekitar Rp 39.150) per ton. Ini merupakan hitungan pasti yang muncul akibat kenaikan PE semata. Sementara di lapangan, pergerakan harga TBS sawit petani menjadi lebih liar dari hitungan tersebut.

Kenaikan harga CPO dari 700-an dollar AS per ton menjadi 860 dollar AS per ton membutuhkan waktu sekitar sebulan. Pada kurun waktu itu, harga TBS sawit naik dari Rp 900 per kg menjadi Rp 1.300 per kg.

Akan tetapi, seluruh kenaikan harga TBS tersebut hilang seketika hanya kurang dari sepekan sejak PMK Nomor 61/PMK.011/2007 diberlakukan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsjad mengatakan, harga TBS turun sedikitnya Rp 300 per kg sejak PE dinaikkan.

Petani hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini karena dari 10 juta petani pemilik kebun kelapa sawit, baru sekitar 300.000 yang mampu bernegosiasi soal harga TBS dengan produsen CPO. Itu pun sebagian besar merupakan petani yang bergabung dalam wadah koperasi sehingga pasokan TBS-nya sangat menentukan operasional pabrik.

Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun menjelaskan, PE CPO yang lebih besar berpengaruh pada harga domestik karena nilai pajak yang disetor ke pemerintah menjadi lebih besar. Dengan demikian, produsen hilir minyak sawit domestik akan mematok harga pembelian CPO berdasarkan harga pasar internasional dikurangi nilai pajak.

Industri hilir juga ternyata terkena dampaknya. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga mengatakan, kenaikan PE RBD olein dari 0,03 persen menjadi 6,5 persen benar-benar sangat memberatkan industri hilir. Meski ada jaminan pasokan bahan baku, industri pengolahan tetap sulit berkembang karena PE tinggi.

Menurut Sahat, saat ini ada 62 industri pengolahan dengan kapasitas terpasang sebesar 21 juta ton per tahun dengan kebutuhan domestik sebesar 4 juta ton. Jika industri pengolahan terlalu fokus pada pasar domestik, maka utilisasi pabrik hanya terpakai sekitar 25 persen. "Kami berharap pemerintah segera mengkaji kebijakan ini agar tidak timbul efek domino yang negatif, seperti pengurangan kegiatan produksi dan tenaga kerja," kata Sahat.

Tak bisa dimungkiri, produsen CPO dan minyak goreng jauh lebih dulu dan lebih banyak menikmati keuntungan kenaikan harga di pasar internasional. Sementara petani baru menikmatinya sekitar dua bulan belakangan, tetapi harus segera mengakhirinya dalam sepekan saja.

Keseimbangan

Pemerintah tampaknya mulai menyadari bahwa dibutuhkan keseimbangan antara melindungi konsumen dan petani. Setidaknya, begitulah komentar Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pemerintah sudah mengungkapkan rencananya untuk mengevaluasi kenaikan PE CPO pada Juli 2007. Pernyataan ini melegakan karena saat diberlakukan, pemerintah menyatakan baru akan mengevaluasi 3-6 bulan setelah diterapkan.

Pemerintah tampaknya tidak menutup mata bahwa tren penurunan harga minyak goreng curah sudah mulai terjadi sehingga memutuskan mempercepat evaluasi.

Semoga niat baik ini tidak sekadar rencana. Selama ini petani kelapa sawit berjuang sendiri mengelola kebunnya dengan pupuk tanpa subsidi dan infrastruktur yang parah. Kapan lagi mereka menikmati jerih payahnya jika bukan pada saat harga CPO internasional membaik? Sudah saatnya pemerintah menyiapkan strategi revitalisasi perkebunan dan tata niaga yang terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir sehingga rakyat tetap senang dan tenang.

No comments: