Thursday, June 14, 2007

Paket Ekonomi
Terapkan Hal Prioritas

Jakarta, Kompas - Paket tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang baru saja dikeluarkan pemerintah hendaknya disertai implementasi pada hal-hal yang menjadi prioritas. Implementasi tersebut diharapkan bisa menjadi suatu cerita sukses yang bisa mengubah persepsi pesimistis masyarakat Indonesia juga para investor.

"Secara keseluruhan, isi paket ini sangat baik dan komprehensif. Jika semua bisa diimplementasikan, itu sangat bagus sekali. Namun, yang ditunggu oleh semua pihak sebenarnya adalah implementasi dari paket kebijakan ini. Diperlukan prioritas. Kalau semua mau dikerjakan tentunya akan memakan waktu yang sangat lama," kata Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) Chatib Basri, Rabu (13/6) di Jakarta.

Persepsi investor

Ia mencontohkan, dalam hal perbaikan iklim investasi, persoalan yang sangat besar adalah ketidaklancaran distribusi logistik. "Sebagai quick change atau perubahan cepat, yang diperlukan adalah perbaikan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok," katanya.

Jika satu hal ini saja dilakukan, menurut Chatib, hal itu akan sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi investor mengenai iklim investasi. "Selama ini, kan, iklim investasi persoalannya adalah persepsi. Dengan satu perubahan besar, persepsi negatif akan berubah menjadi positif," katanya.

Dalam hal pembangunan infrastruktur, menurut Chatib, jika penyediaan listrik di pedesaan dilakukan, ini sudah sangat besar pengaruhnya kepada pengurangan tingkat kemiskinan.

Cerita sukses diperlukan karena reformasi regulasi tersebut baru terlihat dampaknya di kemudian hari, sementara ongkos yang harus dibayar sudah dikeluarkan sekarang. "Maka yang diperlukan adalah menangani masalah apa yang paling merepotkan dulu. Setelah itu baru menangani prioritas selanjutnya," ujar Chatib.

Eksportir menyambut baik

Produsen mebel dari Jawa Timur, Johanes Sumarno, menyambut baik terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007 untuk memacu sektor riil. Namun, ia mengingatkan, pemerintah harus tetap fokus dalam mengimplementasikannya agar sesuai dengan harapan.

Misalnya, meskipun industri mebel nasional mempekerjakan sedikitnya 10 juta orang, berorientasi ekspor, dan mengandung hampir 95 persen bahan baku lokal, proses ekspornya masih saja diselimuti masalah. Mulai dari pungutan liar di pelabuhan, sulitnya mendapatkan bahan baku, sampai berbagai prosedur yang cenderung mempersulit eksportir. Padahal, industri mebel merupakan sektor padat karya yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan, terutama yang bermukim di sekitar pabrik.

Menurut Johanes, implementasi paket kebijakan tersebut secara tepat dapat merangsang pertumbuhan sektor riil dan membuka lapangan kerja baru. "Tanpa implementasi yang baik, paket kebijakan ini akan sia-sia. Sementara kami hanya bisa pasrah," ujar Johanes.

Sementara itu, Tim Indonesia Bangkit meminta agar paket kebijakan itu lebih konkret sehingga bisa langsung mengubah keadaan dan menggerakkan sektor riil.

Misalnya, Paket Deregulasi Finansial Oktober 1988 (Pakto 88) berisi berbagai keputusan matang untuk menjadi pedoman bagi masyarakat dan dunia usaha yang ingin membuka bank baru.

Pakto 88 ini jelas menyatakan syarat membuka bank baru cukup bermodalkan Rp 10 miliar dan menurunkan cadangan wajib dari 15 persen menjadi 2 persen.

Pakto 88 berdampak luas terhadap perekonomian dan kompetisi di sektor finansial. Kemudian, ada juga Paket Januari 1987 (Pakjan 87) yang merinci dengan jelas soal penetapan tarif impor.

Menurut ekonom dari Indonesia Bangkit Fadhil Hasan, ucapan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di China bahwa Indonesia perlu membangun bendungan raksasa justru lebih konkret untuk menggerakkan sektor riil.

Selain itu, kata Fadhil, inpres seharusnya mewajibkan bank mengalokasikan sejumlah dana untuk kredit modal kerja bagi petani atau pengusaha mikro.

Sementara di Indonesia, ujar Revrisond Baswir, juga dari Indonesia Bangkit, pemerintah masih terjebak pada rutinitas birokrasi sehingga berbagai paket ekonomi yang dikeluarkan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Revrisond juga pesimistis Inpres Nomor 6 Tahun 2007 bisa memacu sektor riil karena hampir 60 persen memuat sektor keuangan. Misalnya, restrukturisasi BUMN perbankan dan kebijakan tentang pasar modal, sementara sektor riil, seperti pertanian, malah tidak disinggung sama sekali. Hal ini menjadi paradoks karena sebagian besar sektor riil saat ini justru berada di lingkungan pertanian.

"Sampai saat ini, birokrasi masih berkutat pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, saat ini seharusnya pemerintah sudah masuk ke tahap mengejar target pertumbuhan ekonomi," ujar Revrisond.

Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Suryadharma Ali mengatakan, "Paket kebijakan ekonomi memang berisi berbagai strategi yang selama ini sedang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM."

Secara garis besar, menurut Suryadharma, strategi-strategi itu meliputi upaya membuka akses pembiayaan, pembenahan sumber daya manusia, pemasaran, dan pola membangun kemitraan dalam menjaring konsumen di pasar global.

Kepala Biro Perencanaan dan Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM Meliadi Sembiring mengakui bahwa dalam rencana induk Kementerian Negara Koperasi dan UKM, aspek pembiayaan menjadi salah satu prioritas agar sektor riil dapat bergerak.

Secara terpisah, Menko Perekonomian Boediono mengakui, paket kebijakan yang baru memang belum sempurna. Itu karena paket tersebut merupakan bagian dari reformasi kebijakan yang memang tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. "Sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap," ujar Boediono.

Ia menganalogikan, reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah itu ibarat pembangunan sebuah rumah di mana bata demi bata harus diletakkan.

"Tapi kita jangan sampai lupa bentuk rumahnya. Tentunya sudah jelas bentuknya seperti apa. Dalam membangun rumah itu kita juga harus konsisten. Jangan di tengah jalan berhenti, kemudian memikirkan hal lain," ujar Boediono. (HAM/TAV/OSA)

No comments: