Wednesday, June 20, 2007


”Capital Inflow” = Sektor Riil

Oleh Prof. Dr. Ir. H. EDDY JUSUF, Sp., M.Si.


MODAL asing yang masuk ke Indonesia (”capital inflow”) yang bersifat jangka pendek, semestinya diupayakan masuk ke dalam sektor riil. Hal itu guna mengurangi kerentanan kaburnya kembali dana tersebut, yang akan berdampak pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Artinya, dana itu bisa ditarik ke luar kapan saja bila tak segera diantisipasi. Kekhawatiran itu mungkin saja ada. Jika investor asing ramai-ramai menarik dananya, boleh jadi goncangan ekonomi yang dahsyat akan terulang seperti pada tahun 1997.

Sebenarnya, indikasi yang paling mudah dideteksi adalah pernyataan Menkeu Sri Mulyani, yakni tingginya aliran dana masuk (capital inflow) dari asing dan menguatnya nilai tukar mata uang negara-negara Asia, seperti Thailand dan India, cukup memengaruhi perekonomian nasional. Terlepas dari rasa terlalu khawatir atau hanya analisis biasa, pernyataan itu harus benar-benar diserap maknanya. Mau tidak mau, mengalirnya uang panas (hot money) dari mancanegara ke instrumen investasi portofolio harus tetap disikapi dengan hati-hati.

Berbagai instrumen BI diharapkan dapat mengubah pola capital inflow, dari jangka pendek menjadi jangka panjang. Penyerapan dana dari capital inflow ke sektor riil juga diperlukan untuk menghindari adanya penurunan cadangan devisa negara secara tiba-tiba yang kini di atas 53 miliar dolar AS.

Berbagai indikator makroekonomi memang menunjukkan kegembiraan; kurs rupiah stabil dan terus menguat, laju inflasi terkendali, suku bunga rendah, serta pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, di sisi lain masih melihat sejumlah problem; lambannya pergerakan sektor riil, persoalan pengangguran yang belum tertangani, dan kemiskinan yang tak tuntas diselesaikan.

Selama ini, cukup meningginya pertumbuhan ekonomi dan tercapainya stabilitas moneter masih tampak semu, karena tidak terlihat secara riil dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Terjadi semacam diskoneksi antara indikator makroekonomi yang membaik dan pergerakan sektor riil yang melamban. Yang harus dilakukan pemerintah dan otoritas moneter adalah bagaimana menyiasati agar capital inflow yang begitu deras bisa berperan sebagai perangsang pergerakan sektor riil.

Dengan berbagai regulasi dan insentif, pemerintah seharusnya sangat bisa untuk membuat aliran dana yang diparkir di investasi portofolio, seperti SBI, SUN, dan bursa saham, dikonversi ke dalam instrumen investasi langsung yang bisa menggerakkan sektor riil. Mengapa ini penting? Hanya dengan pergerakan sektor riil yang dinamis, maka tingkat kesejahteraan rakyat dapat diperbaiki. Sektor riil mampu menyerap puluhan juta tenaga kerja, dan mengatasi pengangguran yang kini mencapai 60 persen angkatan kerja. Yang tidak kalah penting, sektor riil mampu menggerakkan berbagai sumberdaya ekonomi yang selama ini belum digarap maksimal.

Sebagaimana diketahui capital inflow yang kini masuk di pasar modal merupakan fresh money. Dari laporan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada April 2007 menyebutkan, bahwa capital inflow mencapai Rp 10 triliun. Kini fresh money tersebut terus menggelembung, dan telah masuk melalui dua jalur. Yaitu; melalui pasar modal sebesar Rp 3,3 triliun, dan pasar surat berharga negara atau Surat Utang Negara (SUN) mencapai sekitar Rp 7,6 triliun. Kalau dana-dana yang masuk itu tetap bertahan di pasar modal, dikhawatirkan akan ada kerentanan dana yang jauh dari perkiraan sebelumnya. Sebenarnya ini yang menjadi kekhawatiran para pelaku usaha, meski sebatas rumor yang bersifat regional.

Hingga kini tak ada data yang pasti mengenai total investasi jangka pendek (hot money) yang lalu-lalang di pasar modal Indonesia. Walau, beberapa analis pasar modal hanya menyebut jumlah hot money yang menyerbu Indonesia tak kurang dari 20 miliar dolar atau Rp 360 triliun. Lepas itu semua, seyogianya pemerintah dan BI tetap melakukan monitoring capital inflow maupun capital outflow, sehingga ketika terjadi perubahan yang signifikan dapat segera diambil tindakan cepat dan tepat.

Sementara departemen keuangan mencatat kepemilikan SUN oleh asing pada akhir Mei 2007 mencapai Rp 83,48 triliun atau naik 72,22 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp 48,44 triliun. Padahal, kupon yang diberikan dalam periode tersebut cenderung menurun, yaitu dari sekitar 12 persen pada Mei 2006 menjadi sekitar 9,75 persen akhir Mei lalu.

Sebaliknya, kepemilikan SUN oleh perbankan BUMN malah mengalami penurunan 4,7 persen dari Rp 153,59 triliun pada Mei 2006 menjadi Rp146,30 triliun. Demikian juga dengan kepemilikan SUN oleh bank swasta, rekap mengalami penurunan 8,46 persen dari Rp 81,53 triliun menjadi Rp 74,63 triliun.

Meski diakui, dengan membaiknya kondisi ekonomi makro tak bisa dalam waktu yang bersamaan membantu menggerakkan sektor riil. Sebab, aliran dana tersebut merupakan bentuk investasi jangka pendek yang sewaktu-waktu bisa berubah dalam tempo yang sangat cepat. Pada dasarnya, hot money ialah dana sesaat. Artinya, para spekulan justru memperoleh capital gain besar sekali. Jadi kalau dana yang masuk ke pasar modal itu agak sulit mengalir secara efektif ke sektor riil, karena penguatan rupiah yang sempat menembus di bawah Rp.8.900 per dolar yang dipicu oleh aliran dana para spekulan yang menganggap telah terjadi stabilitas ekonomi makro di Indonesia.

Sebab itu, mereka mulai memasuki pasar saham untuk mencari keuntungan dari bunga yang dianggap cukup kompetitif. Kalau dilihat tesisnya, investor asing itu masuk sifatnya hanya wait and see. Karena suku bunga dianggap cukup menguntungkan, maka mereka berani memborong obligasi. Atas dasar itulah, meski adanya keraguan capital inflow, ini sesuatu yang positif bagi perbaikan iklim investasi di sektor riil secara langsung, sehingga kinerja sektor riil dapat terdongkrak.

Pada sisi lain, dengan penurunan BI Rate tentunya harus diapresiasi oleh berbagai kalangan secara optimis, termasuk kalangan dunia usaha, dengan harapan pada waktunya nanti suku bunga kredit pun juga akan semakin rendah, dan itu sangat kondusif bagi dunia usaha di Indonesia. Gejala ini dilihat ketika suku bunga BI pada tahun 2005 sekitar 12,75%. Pada tahun 2006 BI menurunkan suku bunga (suku bunga induk) sebanyak lima kali, dan kini BI Rate turun kembali menjadi 8,5%, sangat memungkinkan pada akhir tahun 2007 ini BI Rate diperkirakan akan mencapai 8%.

Idealnya, ke depan mereka bisa segera masuk ke sektor riil. Dalam konteks ini, pemerintah harus berperan lebih aktif dengan membuat kebijakan (peraturan) yang bisa mendorong agar investor asing mau masuk ke sektor riil. Setidaknya, peraturan daerah (perda), misalnya, harus lebih mendorong investor mau menanamkan modalnya di daerah. Selain itu, pemerintah perlu berpikir, kalau investor memasukkan dananya, apalagi masuk ke sektor riil, maka efek dominonya akan sangat luar biasa. Bersamaan dengan itu akan tercipta lapangan kerja, dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat meningkat.

Lantas solusi apa, agar mengelola capital inflow mampu membangkitkan roda penggerak sektor riil? Minimal ada dua langkah strategis alternatif bagi pemerintah, yakni; pertama, menjaga stabilitas moneter dengan melakukan pendekatan dengan open market operation melalui instrumen SBI. Dengan tetap memperhatikan kerugian dari meningkatnya jumlah dana masyarakat yang parkir ke SBI. Hal ini menjadi kontraproduktif terhadap pembangunan sektor riil, dan menjadi beban negara karena harus membayar bunga SBI. Namun, BI bisa menggunakan alternatif lain melalui instrumen kebijakan moneter, seperti reserve requirement policy dan rediscount policy.

Kedua, adanya akselerasi kebijakan fiskal yang lebih berpihak dan menguntungkan sektor riil. Sebagai contoh, sistem perpajakan yang lebih kondusif dengan memberikan insentif terhadap dunia usaha agar lebih bergairah. Selain itu, mengefektifkan dan mengefisienkan pengalokasian, pemanfaatan, dan pengawasan APBN dengan mengacu pada asas manfaat dalam pembangunan sektor riil, serta regulasi payung hukum yang menunjang pergerakan dunia usaha, seperti UU Penanaman Modal, UU Ketenagakerjaan dan UU Perpajakan. Dan tak kalah pentingnya, yakni penegakan hukum serta dituntaskannya praktik pungli yang akan menghambat iklim investasi.

Sumber investasi asing sebenarnya ada dua hal, yakni; investasi langsung (foreign direct investment-FDI) dan investasi tidak langsung atau portofolio. FDI lebih disukai karena jangka waktu investasi ini lebih panjang sehingga memiliki tingkat kepastian tinggi dan alokasinya langsung pada sektor riil.

Di samping itu, nilai tambah sektor riil paling besar berasal dari sektor industri manufaktur. Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa perputaran uang di bursa saham belum sejalan dengan pergerakan sektor riil. Sektor jasa keuangan perbankan juga belum optimal mendukung sektor riil. Bila dilihat dari proporsi alokasi kredit, perbankan sebenarnya sudah menyalurkan kredit pada sektor riil yang dominan yaitu industri manufaktur. Masalahnya terletak pada jumlah kredit. Dan proporsi jumlah kredit yang disalurkan terhadap jumlah dana pihak ketiga yang sudah dikumpulkan (deposito) masih rendah yaitu sekitar 64%.***

Penulis, Guru Besar Kopertis IV Jabar-Banten, Pembantu Rektor I Universitas Pasundan dan Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar.

No comments: