Saturday, June 23, 2007

Menelisik Rapor Biru Perbankan

Kun Wahyu Winasis

KINERJA industri perbankan kita sebenarnya tak seburuk yang diperkirakan banyak orang. Lihat saja, jika hasil akhir yang menjadi rujukan, maka keuntungan yang dikantongi bank-bank di negeri ini tahun lalu jauh lebih tinggi ketimbang angka di tahun 2005. Data Bank Indonesia menyebutkan, total keuntungan perbankan di tahun 2006 mencapai sekitar Rp 28,3 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar 13,7%. Sudah lebih dari lumayan bukan?

Hanya saja, memang, yang menjadi persoalan, peruntungan tadi tidak sepenuhnya diperoleh dari bisnis utama bank, yaitu kredit. Dari total pendapatan operasional sepanjang tahun 2006 (sebesar Rp 212,4 triliun), pemasukan dari realisasi kredit ”cuma” Rp 104,7 triliun atau sekitar 49,2%. Masih dominan memang. Tapi, lihatlah pendapatan bank dari penempatan di surat berharga. Selama Tahun Anjing Api itu, bank-bank kita mengantongi Rp 18,09 triliun dari SBI dan sebesar Rp 37,2 triliun dari surat berharga. Total jenderal, dari penempatan efek tadi, perbankan nasional mendapatkan pemasukan sebesar Rp 55,3 triliun. Jumlah itu setara dengan 26% dari seluruh pendapatan operasional.

Bank swasta dan asing merupakan pihak yang sangat diuntungkan oleh kenaikan harga surat berharga dan suku bunga SBI. Bank swasta nasional, misalnya, selama setahun berhasil mengantongi pendapatan sebesar Rp 10,02 triliun atau 12% dari total pendapatan operasional yang nilainya Rp 83,6 triliun. Sementara kontribusi dari surat berharga mencapai Rp 14,4 triliun (17,3%).

Di antara bank-bank swasta nasional, Bank Niaga termasuk yang paling diuntungkan oleh kenaikan suku bunga. Pasalnya, bank milik investor Malaysia itu berhasil mengantongi keuntungan sekitar Rp 200 miliar dari transaksi surat berharga miliknya. Masuknya dana besar tadi, tak ayal, ikut menyelamatkan pamor direksi Bank Niaga.

Kenapa? Sebab, tanpa adanya peningkatan pendapatan nonbunga (non-interest income) di kuartal IV-2006 sebanyak Rp 409 miliar, laba bersih perseroan itu bakal longsor berat. Maklum, tahun lalu, anak perusahaannya (Niaga Asset Management) mengalami kerugian hingga Rp 127 miliar. Tapi, untunglah, berkat kelihaian manajemen dalam membaca peluang pasar, mimpi buruk itu tak terjadi. Walhasil, selama tahun 2006, perseroan berhasil meraih laba bersih senilai Rp 648 miliar atau naik 18% ketimbang angka di tahun 2005.

Perangai bank-bank asing juga tak jauh berbeda. Hal itu bisa disimak dari penempatan dana mereka di instrumen SBI dan surat berharga yang terus meningkat. Tahun lalu, jumlah SBI milik bank asing mencapai Rp 16,6 triliun, melesat 365% ketimbang angka di tahun 2005 yang hanya Rp 3,5 triliun. Sedangkan dana yang beredar di surat berharga (tidak termasuk obligasi rekapitalisasi) nominalnya mencapai Rp 8,3 triliun alias naik 232%.

Yang menarik, bank-bank asing di sini juga cukup giat memberikan kucuran kredit. Terbukti, total loan yang dikucurkan ke debitor naik 17,7% menjadi Rp 73,2 triliun. Rasio pertumbuhan kredit tersebut jauh lebih tinggi ketimbang yang diberikan bank pemerintah yang hanya 12,2% atau senilai Rp 31,6 triliun.

Kredit modal kerja masih yang terbesar, sekitar Rp 49,2 triliun atau tumbuh 11,5%. Sedangkan kredit investasi naik hingga 85%. Namun, nilai totalnya cuma Rp 6,5 triliun. Kenaikan tertinggi justru dibukukan oleh pembiayaan konsumen, nilainya mencapai Rp 17,4 triliun alias meningkat 17% ketimbang angka di tahun 2005.

FENOMENA BPD

Di antara bank-bank yang ada, penampilan Bank Pembangunan Daerah (BPD) justru sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Selama tahun 2006, di tengah persaingan memperebutkan dana masyarakat yang ketat, bank milik pemerintah daerah itu menerima dana hingga senilai Rp 43,8 triliun. Alhasil, jumlah dana masyarakat di bank ini melesat 51,4% menjadi Rp 129,1 triliun.

Sayang, gerojokan duit dari pemerintah daerah tadi tidak dimanfaatkan secara baik. Buktinya, kredit yang disalurkan hanya naik 24,4%. Betul, tingkat pertumbuhan itu jauh lebih tinggi ketimbang yang dihasilkan industri perbankan yang besarnya 14,2%. Namun, lantaran mayoritas dana pihak ketiga—sekitar Rp 74 triliun (57,7%)—merupakan giro, mestinya peningkatan kredit bisa lebih tinggi lagi. Bukankah membesarnya kredit bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah?

Entah kenapa, manajemen BPD justru meniru rekan-rekannya yang bermarkas di Jakarta. Mereka lebih enjoy menempatkan dananya di SBI. Total jenderal, sampai akhir tahun 2006, ada sekitar Rp 43,11 triliun atau 33,3% dari jumlah DPK nyemplung di instrumen moneter bank sentral itu. Hasilnya memang luar biasa. Dari bunga SBI, belasan BPD tadi mendapatkan bunga sekitar Rp 4,8 triliun. Angka itu naik tajam ketimbang perolehan angka di tahun 2005 yang hanya sebesar Rp 1,5 triliun.

BPD Jawa Barat termasuk yang beruntung. Masuknya dana pemda yang cukup besar telah membuat jumlah DPK-nya naik 33,6%. Totalnya ada sekitar Rp 16,3 triliun. Nah, peningkatan dana tadi rupanya tidak dimaksimalkan dalam bentuk kredit. Sebab, pinjaman yang diberikan hanya naik 16,7% menjadi Rp 11,7 triliun.

Uang besar justru digelontorkan manajemen ke instrumen SBI. Ada sekitar Rp 4,8 triliun dana milik BPD Jabar yang masuk ke SBI. Sementara di akhir tahun 2005, di instrumen yang sama nilainya cuma Rp 938 miliar. Singkat cerita, di saat banyak bank mengalami penurunan laba, BPD Jawa Barat dengan bangga bisa mengantongi keuntungan bersih senilai Rp 376, 3 miliar, naik 17,3% ketimbang angka di tahun 2005 silam.<>

No comments: