Menelisik Rapor Biru Perbankan
KINERJA industri perbankan kita sebenarnya tak seburuk yang diperkirakan banyak orang. Lihat saja, jika hasil akhir yang menjadi rujukan, maka keuntungan yang dikantongi bank-bank di negeri ini tahun lalu jauh lebih tinggi ketimbang angka di tahun 2005. Data Bank Indonesia menyebutkan, total keuntungan perbankan di tahun 2006 mencapai sekitar Rp 28,3 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar 13,7%. Sudah lebih dari lumayan bukan?
Hanya saja, memang, yang menjadi persoalan, peruntungan tadi tidak sepenuhnya diperoleh dari bisnis utama bank, yaitu kredit. Dari total pendapatan operasional sepanjang tahun 2006 (sebesar Rp 212,4 triliun), pemasukan dari realisasi kredit ”cuma” Rp 104,7 triliun atau sekitar 49,2%. Masih dominan memang. Tapi, lihatlah pendapatan bank dari penempatan di
Bank swasta dan asing merupakan pihak yang sangat diuntungkan oleh kenaikan harga
Di antara bank-bank swasta nasional, Bank Niaga termasuk yang paling diuntungkan oleh kenaikan suku bunga. Pasalnya, bank milik investor
Kenapa? Sebab, tanpa adanya peningkatan pendapatan nonbunga (non-interest income) di kuartal IV-2006 sebanyak Rp 409 miliar, laba bersih perseroan itu bakal longsor berat. Maklum, tahun lalu, anak perusahaannya (Niaga Asset Management) mengalami kerugian hingga Rp 127 miliar. Tapi, untunglah, berkat kelihaian manajemen dalam membaca peluang pasar, mimpi buruk itu tak terjadi. Walhasil, selama tahun 2006, perseroan berhasil meraih laba bersih senilai Rp 648 miliar atau naik 18% ketimbang angka di tahun 2005.
Perangai bank-bank asing juga tak jauh berbeda. Hal itu bisa disimak dari penempatan dana mereka di instrumen SBI dan
Yang menarik, bank-bank asing di sini juga cukup giat memberikan kucuran kredit. Terbukti, total loan yang dikucurkan ke debitor naik 17,7% menjadi Rp 73,2 triliun. Rasio pertumbuhan kredit tersebut jauh lebih tinggi ketimbang yang diberikan bank pemerintah yang hanya 12,2% atau senilai Rp 31,6 triliun.
Kredit modal kerja masih yang terbesar, sekitar Rp 49,2 triliun atau tumbuh 11,5%. Sedangkan kredit investasi naik hingga 85%. Namun, nilai totalnya cuma Rp 6,5 triliun. Kenaikan tertinggi justru dibukukan oleh pembiayaan konsumen, nilainya mencapai Rp 17,4 triliun alias meningkat 17% ketimbang angka di tahun 2005.
FENOMENA BPD
Di antara bank-bank yang ada, penampilan Bank Pembangunan Daerah (BPD) justru sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Selama tahun 2006, di tengah persaingan memperebutkan dana masyarakat yang ketat, bank milik pemerintah daerah itu menerima dana hingga senilai Rp 43,8 triliun. Alhasil, jumlah dana masyarakat di bank ini melesat 51,4% menjadi Rp 129,1 triliun.
Sayang, gerojokan duit dari pemerintah daerah tadi tidak dimanfaatkan secara baik. Buktinya, kredit yang disalurkan hanya naik 24,4%. Betul, tingkat pertumbuhan itu jauh lebih tinggi ketimbang yang dihasilkan industri perbankan yang besarnya 14,2%. Namun, lantaran mayoritas dana pihak ketiga—sekitar Rp 74 triliun (57,7%)—merupakan giro, mestinya peningkatan kredit bisa lebih tinggi lagi. Bukankah membesarnya kredit bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah?
Entah kenapa, manajemen BPD justru meniru rekan-rekannya yang bermarkas di
BPD Jawa Barat termasuk yang beruntung. Masuknya dana pemda yang cukup besar telah membuat jumlah DPK-nya naik 33,6%. Totalnya ada sekitar Rp 16,3 triliun. Nah, peningkatan dana tadi rupanya tidak dimaksimalkan dalam bentuk kredit. Sebab, pinjaman yang diberikan hanya naik 16,7% menjadi Rp 11,7 triliun.
Uang besar justru digelontorkan manajemen ke instrumen SBI.
No comments:
Post a Comment