Oleh : Revrisond Baswir
Republika On Line
Kontroversi mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Penanaman Modal untuk sementara berakhir sudah. Dari seluruh fraksi yang ada di DPR, sebagaimana terungkap dalam Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu, ternyata hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang secara tegas menolak pengesahan RUU tersebut. Fraksi-fraksi yang lain, sekurang-kurangnya dalam pandangan saya yang sejak awal menolak RUU itu, sepakat untuk menggelar karpet merah bagi semakin sempurnanya pelembagaan neokolonialisme di Indonesia.
Saya tentu tidak sembarangan untuk sampai pada kesimpulan seperti itu. Secara singkat, alasan saya adalah sebagai berikut. Pertama, UU Penanaman Modal yang akan menggantikan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tersebut, sangat jelas bersifat ahistoris. Artinya, UU itu cenderung mengabaikan latar belakang Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah dijajah. Padahal, sebagai akibat dari penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami Indonesia, perekonomian Indonesia telanjur terjebak dalam sebuah struktur perekonomian yang berwatak kolonial. Hal itu dapat ditelusuri baik dengan menyimak kedudukan perekonomian Indonesia terhadap pusat-pusat kapitalisme internasional, struktur sosial-ekonomi mayoritas warga negara Indonesia, maupun dengan menyimak kedudukan Jakarta (Batavia) terhadap berbagai wilayah lainnya di Indonesia.
Para Bapak Pendiri Bangsa, karena menyadari kenyataan tersebut, sepakat untuk menyelenggarakan perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi. Tujuannya adalah untuk mengoreksi warisan struktural yang berwatak kolonial itu. UU Penanaman Modal, karena bersifat ahistoris, sama sekali tidak peduli dengan adanya kebutuhan untuk melakukan koreksi tersebut. Sebaliknya, UU itu justru dengan sengaja menyodorkan berbagai fasilitas bagi semakin sempurnanya pelembagaan neokolonialisme di Indonesia.
Kedua, karena bersifat ahistoris dan mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia, maka mudah dimengerti bila para pendudukung UU tersebut cenderung tidak menyadari keberpihakan mereka yang sangat berlebihan terhadap para penanam modal asing. Sebagaimana sering mereka kemukakan, terutama ketika membela diri terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu, salah satu asas yang dipakai dalam menyusun UU Penanaman Modal adalah asas ''perlakuan yang sama''.
Sepintas lalu memang tampak seolah-olah tidak ada masalah dengan asas tersebut. Tetapi, bila disimak berdasarkan sifat ahistoris UU itu, justru penggunaan asas yang mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia itulah yang menjadi pangkal semua masalah. Artinya, dengan dipakainya asas ''perlakuan yang sama'' sebagai asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia, di tengah-tengah struktur perekonomian Indonesia yang berwatak kolonial, maka sekurang-kurangnya para pendudukung UU itu telah secara terbuka menyatakan dukungan mereka terhadap status quo. Padahal jika dikaitkan dengan berbagai produk perundang-undangan yang lain, seperti UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan (yang telah dibatalkan karena melanggar konstitusi), berlangsungnya proses pelembagaan neokolonialisme di Indonesia tidak terlalu sulit untuk dipahami.
Ketiga, karena bersifat ahistoris dan mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia, maka UU Penanaman Modal dengan sendirinya memiliki potensi yang sangat besar untuk melanggar konstitusi. Para Bapak Pendiri Bangsa, sejalan dengan kesepakatan untuk menyelenggarakan perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi tadi, dengan tegas memutuskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Artinya, sekurang-kurangnya sebagaimana dipahami oleh para penyusun UU No 1/1967 tentang PMA, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus secara tegas dinyatakan tertutup terhadap penguasaan penuh oleh para penanam modal asing.
UU Penanaman Modal, karena bermaksud menggelar karpet merah bagi pelembagaan neokolonialisme di Indonesia, justru dengan sengaja menghilangkan rangkaian kalimat yang tercantum dalam Pasal 6 UU No 1/1967 tersebut. Artinya, jika dibandingkan dengan UU No 1/1967 yang merupakan pembuka jalan bagi berlangsungnya proses neokolonilaisme di negeri ini, UU Penanaman Modal justru secara terbuka ditujukan untuk menyempurnakan kesalahan sejarah tersebut.
Menyimak ketiga alasan itu, terus terang saya bertanya dalam hati, benarkah para pendukung UU Penanaman Modal sama sekali tidak menyadari sesat pikir yang mereka lakukan dalam menyusun UU itu, atau sebaliknya, mereka memang dengan sadar bekerja sebagai agen kolonial di Indonesia? Jawabannya, wallahualam.
No comments:
Post a Comment