Lindung Nilai, Untung atau Buntung?
Chandra Pasaribu
Belakangan ini terjadi polemik yang cukup hangat mengenai lindung nilai atau hedging yang dilakukan Indosat. Kebijakan manajemen Indosat tersebut dianggap menyebabkan kerugian negara dari berkurangnya penerimaan pajak.
Indosat bukan satu-satunya emiten yang melakukan lindung nilai terhadap utang dalam mata uang asing. Ini berarti setiap perusahaan yang melakukan lindung nilai mempunyai potensi yang sama.
Beberapa instrumen derivatif yang lazim digunakan adalah forward, future, option di mana swap termasuk di dalamnya. Instrumen derivatif ini dapat digunakan untuk tujuan mengurangi risiko atau hedging dan kegiatan untuk spekulasi.
Sejarah derivatif sebenarnya dimulai dengan perdagangan gandum di Amerika. Gandum merupakan makanan pokok sehari-hari, sama halnya beras di Indonesia. Waktu panen gandum mirip dengan padi, dua kali setahun. Perbedaan waktu panen yang hanya dua kali setahun dan konsumsi yang berlangsung secara terus-menerus sepanjang tahun membuat harga gandum dapat diperkirakan akan rendah saat panen dan akan tinggi di masa tanam.
Untuk menghindari fluktuasi liar harga, timbullah kegiatan membeli gandum dengan harga yang ditentukan sebelumnya dengan penyerahan gandum saat panen. Dengan cara ini, fluktuasi harga bisa lebih dikendalikan.
Di Indonesia, belum terdapat pasar komoditas yang canggih seperti di Chicago, AS, yang memperdagangkan berbagai macam derivatif komoditas. Dalam konsep praktik yang lebih sederhana, ijon padi merupakan kegiatan derivatif. Hanya posisi tawar petani cenderung lemah karena terdesak kebutuhan uang tunai sesegera mungkin.
Apa hubungan antara gandum dengan derivatif keuangan semacam swap yang dilakukan berbagai perusahaan? Intinya, kontrak derivatif currency swap (pengalihan mata uang) dapat digunakan sebagai instrumen untuk melakukan manajemen risiko fluktuasi kurs mata uang.
Dalam kasus Indosat, perusahaan tersebut mempunyai utang dalam mata uang dollar AS dari penertiban obligasi. Sementara pendapatan perusahaan dalam rupiah sehingga timbul yang namanya currency mismatch. Pada saat utang tersebut jatuh tempo, perusahaan diharuskan membayar kewajibannya dalam mata uang dollar AS. Pergerakan rupiah masih cukup fluktuatif sehingga timbul ketidakpastian mengenai jumlah yang harus dibayar pada saat utang itu jatuh tempo.
Ada dua pilihan ekstrem yang dapat dilakukan perusahaan dalam kondisi currency mismatch. Pertama, tidak melakukan apa pun dan membiarkan posisi keuangan apa adanya. Kedua, melakukan lindung nilai dengan memasuki transaksi derivatif. Masing-masing pilihan mempunyai keuntungan dan biaya. Jika tidak melakukan apa pun, perusahaan tidak memiliki biaya langsung selain diharuskan membayar bunga dari utang tersebut. Akan tetapi, risikonya, berapa nilai tukar rupiah ketika utang tersebut jatuh tempo karena memengaruhi jumlah rupiah yang harus disediakan untuk membayar utang tersebut.
Pada masa krisis, banyak perusahaan meminjam dalam mata uang asing, tetapi tidak melalukan lindung nilai. Pada saat rupiah bergerak liar melonjak dari Rp 2.000-an menjadi lebih dari Rp 10.000, banyak perusahaan yang bangkrut karena tidak sanggup untuk mengembalikan utang yang tiba-tiba membengkak lebih dari lima kali lipat. Namun, sebaliknya, bila rupiah menguat, perusahaan memperoleh keuntungan dari forex. Akan tetapi, manajemen tidak mempunyai kepastian arus kas karena tidak tahu apakah akan untung atau rugi di masa depan.
Pilihan kedua, melakukan transaksi derivatif dengan membeli sejumlah dollar AS dengan kurs yang telah ditentukan sebelumnya. Konsekuensi biaya langsung yang timbul dari transaksi ini adalah premi swap yang perlu dibayar. Ini sama persis saat kita membeli asuransi kerugian kendaraan, di mana kita perlu membayar premi asuransi untuk mendapatkan perlindungan risiko kerugian saat ditabrak atau menabrak orang lain. Dengan nilai lindung ini, manajemen tahu pasti uang yang perlu disediakan untuk mengembalikan utang tersebut atau dengan kata lain telah mengeliminasi risiko dari pergerakan kurs. Sebab, manajemen bisa menentukan rencana kerja paling optimal yang dapat memenuhi kebutuhan arus kas di masa mendatang.
Tidak melakukan atau melakukan lindung nilai secara penuh merupakan pilihan ekstrem. Manajemen suatu perusahaan dapat memilih di antaranya. Jadi pilihan bisa bergerak dari skala 0 sampai 100 persen. Tentunya pilihan-pilihan ini mempunyai konsekuensi biaya yang berbeda.
Sama dengan premi kendaraan yang harus dibayarkan bila memilih antara total loss only (TLO) atau all risk. Jika ingin asuransi bencana alam atau kerusuhan, akan ada biaya tambahan. Ini pun berlaku untuk transaksi derivatif. Ingin makin aman dan terlindungi, biaya yang dibayar kian tinggi pula.
Ini ujian sebenarnya bagi manajemen untuk menentukan kebijakan lindung nilai. Biaya dan manfaat dari transaksi lindung nilai perlu dikaji secara mendalam dan bisa menjadi tolok ukur kemampuan manajemen untuk mengurangi tingkat risiko.
Tidak dimungkiri transaksi derivatif dapat digunakan untuk spekulasi, seperti dilakukan pedagang beras yang mengijon petani. Apabila harga ijon lebih rendah dari ekspektasi harga beras di masa depan, pembeli harga ijon akan menikmati keuntungan dengan menjual beras pada harga pasar yang lebih tinggi. Sama halnya bila kontrak swap seharga Rp 9.500, tetapi kemudian kurs rupiah dalam lima tahun ke depan ternyata Rp 12.000, maka jelas terdapat keuntungan Rp 3.500 untuk setiap dollar AS yang dibeli. Atau sebaliknya, bila kurs ternyata menguat ke Rp 8.000, terdapat kerugian Rp 1.000 untuk setiap dollar AS.
Untuk membedakan kegiatan spekulasi atau bukan, perlu dicermati apakah ada dasar transaksinya sehingga suatu perusahaan melakukan transaksi derivatif. Bila pabrik mi instan membeli gandum secara forwards contract (harga ditetapkan sekarang dengan penyerahan barang di masa depan pada suatu tanggal tertentu) atau suatu pabrik semen membeli batu bara dengan forward contract, transaksi itu untuk mengamankan biaya produksi. Gandum bagi mi instan atau batu bara bagi pabrik semen merupakan komponen produksi yang sangat penting. Jika pabrik semen mempunyai transaksi derivatif gandum dan pabrik mi instan mempunyai derivatif batu bara, ini perlu dipertanyakan.
Derivatif hanya merupakan suatu instrumen. Apakah digunakan untuk lindung nilai atau spekulasi, sangat bergantung pada kaitan antara jenis transaksi derivatif yang dilakukan, jenis usaha, aset, dan kewajiban suatu perusahaan. Derivatif mungkin ibarat pistol. Apabila pistol di tangan polisi, diharapkan bisa menjaga keamanan. Akan tetapi, bila di tangan penjahat, bisa disalahgunakan. Jika suatu manajemen melakukan transaksi derivatif, kita perlu memastikan bahwa mereka memakai seragam polisi dan bukan polisi gadungan. Jadi, lindung nilai: untung atau buntung? Bukan keduanya karena lindung nilai bertujuan untuk mengurangi risiko dan bukan mencari untung.
Chandra Pasaribu Analis Riset Ekuitas
No comments:
Post a Comment