Tuesday, June 19, 2007

Menyorot Inpres Kebijakan
Pengembangan Sektor Riil dan UMKM



Paket Baru Tetap Meragukan
Pekan ini pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ratusan kebijakan tersebut dibendel tebal dalam Inpres No 6/2007. Sejauh mana efektivitasnya?
-------------------

Sepanjang 2006, pemerintah telah melahirkan tiga paket kebijakan ekonomi. Februari tahun lalu, Paket Kebijakan Infrastruktur dan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi diperkenalkan. Selang lima bulan, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) meluncurkan Paket Kebijakan Sektor Keuangan.

Ketiga paket tersebut memang banyak menjadwalkan program baru selesai tahun ini. Namun, sebagian besar juga banyak yang mesti dirampungkan tahun lalu. Tak urung, akhir tahun lalu Menko Perekonomian Boediono adalah yang paling banyak disorot karena efektivitas paket kebijakan yang diraciknya diragukan. Persoalannya klasik. Implementasi.

Sejumlah kebijakan molor. Bahkan, ada yang disetip sama sekali dari daftar. Seperti perubahan UU tentang Perburuhan pada Paket Kebijakan Iklim Investasi. Peraturan pemerintah tentang insentif pajak penghasilan bagi investasi di sektor dan daerah tertentu yang semestinya rampung pertengahan tahun lalu, baru terbit 2 Januari 2007. Pada paket kebijakan infrastruktur juga setali tiga uang. RUU Perhubungan yang baru misalnya, hingga sekarang pembahasannya masih tersendat.

Sadar implementasi tiga paketnya tidak mulus, Boediono menjanjikan revisi paket-paket tersebut jauh-jauh hari. Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menjanjikan reparasi ketiga paket tersebut akhir tahun lalu. Selanjutnya, dia menjanjikan paket baru untuk mengembangkan UMKM. "Nanti ada revisi paket-paket kebijakan yang telah ada. Diharapkan bisa memperbaiki iklim usaha," kata Boediono pada berbagai kesempatan.

Belakangan diketahui, bendel kebijakan UMKM dijadikan satu dengan revisi ketiga paket sebelumnya. Ramuan teranyar Boediono tersebut, dituangkan dalam Inpres 6/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Lampiran Inpres tersebut cukup tebal, hingga 59 halaman.

Inpres tersebut terdiri atas 141 tindakan yang tersebar pada 19 instansi. Rinciannya, perbaikan iklim investasi 41 tindakan, reformasi sektor keuangan 43 tindakan, percepatan pembangunan infrastruktur 28 tindakan, dan 29 tindakan pemberdayaan UMKM.

Ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai, paket tersebut tidak menyentuh masalah. Upaya mendorong sektor riil dinilai belum termuat lengkap, sehingga masih jauh dari tujuan pencapaian target mengurangi kemiskinan dan pengangguran. TIB mencatat, sekitar 60 persen kebijakan justru diarahkan ke sektor keuangan.

"Sesuai namanya, seharusnya banyak insentif yang diberikan kepada sektor riil," kata Hendri Saparini, salah satu ekonom TIB kemarin. Penyelesaian masalah sektor riil dalam paket terbaru juga dinilai Hendri sebatas administratif birokrasi. Padahal, saat ini masyarakat merindukan peran lebih besar pemerintah. "Tapi pemerintah lebih memilih pendekatan neoliberal," ujarnya. Pendekatan tersebut membuat pemerintah terlalu condong ke sektor keuangan.

Ekonom TIB lainnya, Resvrisond Baswir justru menilai paket terbaru sebagai pembodohan kepada publik. "Itu lebih banyak program kerja birokrasi. Lebih merupakan pengaburan antara paket kebijakan dengan rutinitas birokrasi," kata Sonny, sapaan akrabnya. Karena baru sebatas program, TIB menjuluki Inpres ini sebagai "Paket Baru, Rencana Mau Akan."

Anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo menyebut empat kelemahan mendasar paket terbaru tersebut. Pertama, dari sisi konsep tidak secara langsung menusuk ke jantung masalah, yakni pengangguran dan kemiskinan. "Misalnya tidak ada rumusan jelas mengenai perlindungan terhadap industri padat karya," kata Dradjad.

Karena itu, lanjut dia, paket tersebut semakin menahbiskan pemerintahan saat ini yang hanya puas mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi padat modal, konsumsi, dan sektor keuangan. Bagi dia, hal tersebut berbahaya karena memperlebar kesenjangan dengan sektor riil.

Kedua, dari sisi implementasi. Dia menyangsikan paket tersebut berjalan efektif karena tidak disertai perombakan birokrasi. "Nanti akan berhenti di tingkat menteri, berhenti di tingkat konsep," katanya. Dia mencontohkan program memperlancar arus barang dengan memperpendek pemeriksaan jalur hijau menjadi 30 menit. Tidak ada sanksi tegas jika program tersebut tak terlaksana.

Ketiga, paket tersebut tidak ditunjang investasi memadai. Misalnya, kelancaran arus barang membutuhkan investasi berlipat di pelabuhan. "Tanpa investasi, paket itu hanya berhenti di atas kertas," ujarnya. Keempat, paket tersebut tidak didukung anggaran yang jelas di APBN. "Antara policy statement dengan anggaran yang dibuat birokrasi tidak klop," kritik Dradjad.

Boediono menyadari paketnya banyak dikritik karena baru sebatas program yang bisa terhambat implementasi. "Belum sempurna. Reformasi itu tidak sekali pukul selesai. Sedikit demi sedikit, tahap demi tahap," sahut Boediono. "Seperti bangun rumah, bata demi bata. Tapi jangan sampai lupa bentuk rumahnya," ucapnya.

Dia menambahkan, keterlibatan pemerintah daerah dalam implementasi paket tersebut cukup besar, meski tidak ditunjuk langsung sebagai penanggungjawab program. "Nanti termasuk aturan-aturan daerah yang harus dilihat, mana yang mengganggu," katanya. Birokrasi juga disiapkan untuk memperlancar implementasi.

Pada fokus perbaikan iklim investasi, kata Boediono, terdapat empat bagian. Pertama, memperkuat kelembagaan pelayanan investasi. Terutama, bagaimana pemerintah bisa mengoperasionalkan UU Penanaman Modal. "Di sini disiapkan aturan-aturan seperti Daftar Negatif Investasi (DNI)," katanya.

Kedua, reformasi perpajakan seperti penyederhanaan dalam proses restitusi dan termasuk pula penyelesaian RUU Perpajakan. Ketiga, kelancaran arus barang di pelabuhan. Keempat, reformasi regulasi di daerah. "Itu kadang-kadang menghambat investasi," katanya.

Lalu fokus reformasi sektor keuangan terdiri atas lima bagian. Yakni stabilitas sektor keuangan, termasuk pembentukan forum stabilitas keuangan, dan landasan hukum berupa RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Lalu reformasi perbankan termasuk bank BUMN dan bank syariah yang regulasinya sedang disusun.

Kemudian reformasi lembaga keuangan non-bank. "Di sini, yang disiapkan adalah beberapa amandemen RUU asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan ekspor, dan standar prosedur operasi perusahaan pembiayaan," katanya. Di pasar modal, bakal dibikinkan fasilitas fiskal untuk perusahaan terbuka. Lantas penguatan aturan-aturan dalam pasar modal, seperti penggabungan BEJ dengan BES.

Fokus ketiga adalah percepatan pembangunan infrastruktur. "Itu bertujuan memperbaiki iklim pembangunan infrasrtuktur. Aturan-aturan yang kita benahi bukan proyek demi proyek, karena ada action plan sendiri. Misalnya listrik 10 MW ada action plan-nya, kita hanya perbaikan dari environment aturan-aturan," sebutnya.

Beberapa yang cukup penting dari fokus itu adalah antisispasi pelaksanaan UU Kereta Api. "Karena ada reformasi yang cukup fundamental untuk UU KA, dimungkinkan pihak-pihak di luar BUMN bisa melakukan investasi di bidang tersebut," katanya.

Fokus keempat adalah pemberdayaan UMKM. Sejumlah program pentingnya adalah peningkatan akses pembiayaan, termasuk upaya meningkatkan kapasitas kemampuan penjaminan dari beberapa lembaga penjaminan kredit. "Ada pula revitalisasi kredit UKM," katanya. Pembangunan kewirausahaan dan sumber daya manusia di UKM juga dirintis. (sofyan hendra)Jawa Pos

No comments: