Opini disclaimer bukan akhir segalanya
oleh : Parwito
Tiga tahun berturut-turut, sejak ada kewajiban bagi pemerintah untuk membuat laporan keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan selalu memberikan status disclaimer. Ini berarti auditor tidak mempunyai keyakinan untuk menilai kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Dalam dunia akuntansi, dikenal empat opini yang diberikan auditor, yaitu wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), wajar dengan pengecualian(qualified opinion), tidak memberikan pendapat (disclaimer), dan advers (salah). Dengan demikian, pernyataan disclaimer atas LKPP itu tidak bisa diartikan bahwa laporan keuangan tersebut salah.
BPK menyodorkan sejumlah temuan yang menjadi dasar pemberian opini tersebut. Rentetan catatan yang dikemukakan BPK itu benar adanya.
Administrasi pemerintahan di negeri ini memang belum sempurna. Perlu waktu untuk bisa membenahi persoalan-persoalan tersebut.
Ini tidak mudah, karena yang terjadi di lapangan sering sekali bukan lagi masalah administrasi, tetapi sudah masalah hukum. Misalnya aset negara yang dikuasai oleh orang per orang atau lembaga tertentu.
Di luar masalah ini, masih banyak faktor yang bisa dijadikan alasan mengapa auditor tidak bisa memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan (disclaimer). Masalah lain adalah apabila auditor merasa dibatasi ruang geraknya, dalam kasus ini BPK merasa tidak leluasa untuk memasuki wilayah administrasi perpajakan, karena terkendala oleh Pasal Rahasia Jabatan (Pasal 34 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Jika kasus seperti ini terjadi di sektor swasta, akuntan publik biasanya dengan tegas akan menyatakan mundur sebagai auditor daripada harus mempertaruhkan reputasinya. Masalahnya, BPK sebagai auditor negara dan satu-satunya tidak mungkin mundur dari 'penugasan' tersebut. Dengan demikian, seburuk apapun penyajian laporan keuangan atau sesempit apa pun ruang gerak mereka, tidak ada istilah mundur bagi BPK.
Tetapi ini sama sekali berbeda dengan kasus pejabat yang enggan mundur. Padahal, pejabat bersangkutan sudah terang-terangan menyalahgunakan wewenang.
Pasal Rahasia Jabatan memang akan menjadi batu sandungan. BPK mengancam terus memberikan opini disclaimer bila akses untuk mengaudit penerimaan pajak terus dibatasi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan perlindungan maksimal bagi wajib pajak. Perang pernyataan seperti ini seharusnya memang tidak perlu terjadi.
Bila BPK dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, bersedia duduk bersama, rasanya tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Apalagi bila kita mengingat bagaimana awal mulanya Pasal Rahasia Jabatan ini.
Dalam penjelasan UU KUP 1983 (naskah asli), disebutkan bahwa untuk kepentingan pengamanan keuangan negara yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa yang ditugaskan untuk itu, baik oleh BPK maupun BPKP, menteri keuangan dapat memberikan izin kepada badan-badan tersebut untuk melihat bukti-bukti perpajakan yang terkait dengan kerahasiaan dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang ada hubungannya dengan masalah perpajakan.
Justru tidak normal
Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia Ahmadi Hadibroto tidak mempermasalahkan apa pun opini yang diberikan BPK. Menurut dia, justru aneh dan mengundang tanya banyak orang jika BPK sampai memberikan opini unqualified atas laporan keuangan pemerintah.
"Sejak Indonesia merdeka, aset-aset negara berserakan tidak karuan. Tidak mungkin membenahi aset-aset tersebut hanya dalam waktu tiga tahun. Aneh dan tidak normal justru bila opininya menjadi qualified," katanya kepada Bisnis akhir pekan lalu.
Opini disclaimer memang bukan kiamat. Yang penting adalah bagaimana pemerintah dan BPK sepakat terhadap tahapan-tahapan perbaikan dalam laporan keuangan tersebut. Dengan demikian, dapat ditargetkan pada LKPP tahun berapa pemerintah yakin bisa menyandang gelar WTP (wajar tanpa pengecualian).
BPK sangat paham, pekerjaan pemerintah yang terkait dengan tertib pembukuan ini sangat banyak, termasuk penyempurnaan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) itu sendiri, sehingga lebih operasional. Selain itu, hampir sebagian besar institusi pengguna anggaran atau satuan kerja tidak memiliki tenaga pembukuan yang memadai.
Pemerintah tampaknya harus merekrut lebih banyak lagi tenaga akuntan atau pembukuan. Program sekolah kedinasan, seperti STAN, pantas dibuka di berbagai daerah, yang lulusannya bukan hanya mengisi kantor-kantor pajak.
Usulan BPK agar tenaga akuntan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) didistribusikan untuk membenahi laporan keuangan di semua instansi pemerintah, sebenarnya sangat masuk akal. Namun, usulan tersebut terkesan 'ada udang di balik batu,' karena selama ini BPK gencar mempromosikan pembubaran BPKP.
Pola kerja sama antara BPKP dan Pemerintah Provinsi Gorontalo barang kali bisa lebih dikembangkan. BPKP, dengan demikian, bisa mengambil peran sebagai 'divisi akunting' dalam sebuah perusahaan bernama Pemerintah Republik Indonesia.
Alternatif lain, status direktorat pencatatan dan akuntansi pemerintah dinaikkan menjadi unit eselon satu, sehingga dapat berperan lebih maksimal.
BPK pantas mendapat acungan jempol. Kantor akuntan publik kaliber internasional saja membutuhkan waktu enam bulan untuk mengaudit laporan keuangan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Bayangkan berapa kali lipat size laporan keuangan entitas yang bernama Pemerintah Republik Indonesia ini.
Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, BPK dalam dua bulan mampu melakukan audit atas 689 objek pemeriksaan dengan cakupan nilai Rp1.694 triliun dan US$ 15,14 miliar, atau setara dengan 87,95% realisasi anggaran. Ini merupakan bukti bahwa antara auditor dan auditee telah terjalin saling pengertian dan kerja sama yang baik sesuai dengan bidang tugas masing-masing. (parwito@bisnis.co.id)
No comments:
Post a Comment