Penyehatan BUMN, bak perdebatan mana yang lebih dulu, telor atau ayam? Entah dari mana memulainya. Banyak diskusi dan seminar yang telah digelar. Namun seolah berhenti pada tataran wacana. Walau bukan berarti tidak ada jalan menuju profesionalitas BUMN.
Fatwa Mahkamah Agung (MA) No WKMA/Yud/20/VIII/2006, tanggal 16 Agustus 2006, bisa menjadi entry point. Meski awalnya fatwa ini merupakan respons terhadap surat Menkeu No S-324/MK.01/2006, tanggal 26 Juli 2006. Sejatinya surat ini mengenai revisi PP No. 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Fatwa itu berisi pemisahan aset milik perusahaan negara dengan aset negara. Tentu saja ini disambut gembira kalangan perbankan BUMN. Penyelesaian kredit macet menuai titik terang. Revisi terhadap PP pun segera disusun pemerintah.
Di sisi lain, bila sebelumnya kalangan perbankan khawatir mengucurkan likuiditas karena takut kalau macet dianggap merugikan negara, kini ada tambahan payung hukum untuk menerapkan prinsip perbankan secara independen. Tentu saja dampaknya bisa mendorong pertumbuhan sektor riil. Ternyata fatwa itu tak sekadar melandasi penertiban kredit macet. Langkah cepat lainnya diambil Kementerian Nagara BUMN. Seperti yang dilaporkan Republika (26/8), Menneg BUMN mengeluarkan surat edaran hanya beberapa hari setelah fatwa MA dikeluarkan.
Surat edaran itu meminta agar direksi BUMN menginventarisasi aset perusahaanya masing-masing, dengan deadline Desember tahun ini. Ancaman penyitaan dan penyelesaian secara hukum pun diberikan terhadap aset yang telah berpindah tangan.
Menurut Sekretaris Menneg BUMN, Said Didu (Republika, 26/8), aset milik negara yang dikelola BUMN tidak terdata secara efektif, baik berupa rumah dinas, kendaraan dinas, tanah, gedung perkantoran, dan pabrik. Kas APBN pun terbebani, karena pemerintah tetap harus membayar pajak, sementara aset tersebut telah berpindah kepemilikan.
Terlepas dari kepentingan lain, fatwa MA dan surat edaran itu patut mendapat dukungan. Bila penerapan good corporate governance (GCG) di BUMN yang menjadi tujuan, tentu tak cukup hanya berhenti pada langkah inventarisasi. Dalam GCG setidaknya mengandung lima nilai utama: accountability, responsibility, transparency, fairness, dan independency (Daniri, 2005).
Prinsip accountability memberikan kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban yang membuat perusahaan berjalan efektif. Dengan adanya fatwa MA, posisi aset menjadi jelas. Pemisahan ini juga mencerminkan kejelasan fungsi, struktur, dan -- yang lebih penting -- pertanggungjawaban pengelolaan aset.
Pada titik inilah inventarisasi aset harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Bukan sekadar laporan di atas kertas. Bila diperlukan mekanisme hukum bisa dijalankan.
Persoalannya di tengah mengikisnya kepercayaan terhadap penegakan hukum, akankah prinsip responsibility bisa dijalankan secara maksimal. Karena prinsip ini mengharuskan pertanggungjawab bukan hanya pada status akhir aset, tapi juga proses kepemilikan atau perpindahan tangan, apakah sesuai dengan aturan yang berlaku?
Di sini, penerapan prinsip lainnya, terutama transparency dan fairness, menjadi keharusan. Inventarisasi aset harus dijalankan secara transparan, baik secara proses maupun hasil akhirnya. Sehingga publik dan seluruh stakeholder bisa mengawasi pengolaan aset di masa depan. Namun pada saat proses inventarisasi dilakukan, pengawasan oleh publik perlu intermediasi. Karena sulit bagi publik untuk meneliti semua arsip dari 158 perusahaan BUMN secara bersamaan. Nah, untuk menjamin fairness dalam inventarisasi ini pemerintah harus menetapkan dan menentukan sistem pengawasan yang independen.
Bukan mustahil dalam proses inventarisasi terjadi manipulasi dan kongkalingkong di antara direksi BUMN dengan unsur lainnya. Ini bukan berarti sebagai sebuah prasangka buruk, namun sebagai upaya preventif. Selain inventarisasi, fatwa MA juga menegaskan payung hukum keindepenan perusahaan BUMN. Artinya jalan menuju GCG juga bisa dimulai dari prinsip independency. Fatwa ini menegaskan pengelolaan perusahaan BUMN seharusnya lepas dari intervensi pemerintah.
Inventarisasi aset yang sedang dilakukan harus dimaknai sebagai pengawasan, bukan sebagai campur tangan (intervensi) pengelolaan aset, baik oleh pengelola perusahaan maupun Kementerian Negara BUMN (sebagai wakil pemerintah).
Demikian pula dengan penyelesaian kredit macet di bank BUMN. Pemerintah tak perlu buru-buru memvonis sebagai tindakan merugikan negara bila terjadi kredit macet. Toh, fatwa MA memberikan kejelasan bahwa piutang perusahaan BUMN, bukan piutang negara. Sehingga tak perlu langsung ditangani dengan UU Antikorupsi.
Biarkanlah mekanisme hukum perbankan dan perseroan yang menyelesaikan terlebih dulu bila terjadi kredit macet. Baru bila ada unsur pidana atau korupsi dalam proses pencairan atau pelaksanaan kredit, instrumen KUHP atau UU Antikorupsi digunakan.
Sebagai penutup, bisa dikatakan bahwa fatwa MA hanyalah jalan masuk. Untuk menuju BUMN yang sehat, diperlukan penerapan prisip-prinsip GCG secara serius dan konsisten. Artinya, inventarisasi aset BUMN yang kini sedang dilakukan pemerintah masih memerlukan upaya lanjutan.
No comments:
Post a Comment