Monday, June 4, 2007

Valuasi, Sakralkah?

Orias Petrus Moedak

Valuasi dalam transaksi keuangan digunakan sebagai referensi untuk menghitung potensi besaran dana yang akan diterima sesuai besarnya instrumen yang akan diterbitkan. Namun, kerap kita mendengar valuasi dipakai juga secara berlebihan untuk memperhitungkan potensi keuntungan ataupun kerugian yang mungkin timbul.

Penggunaan valuasi untuk tujuan perhitungan untung rugi kadang dipergunakan lebih dari semestinya. Seperti halnya "pasal-pasal karet" sehingga dapat dipelintir untuk menguntungkan atau merugikan berbagai pihak sesuai tujuan si pemakai.

Apalagi kalau valuasi ikut dibicarakan politisi tanpa pemahaman yang benar. Dengan mudah dapat dimanfaatkan pemain di pasar modal untuk keuntungan sendiri.

Penggunaan alat yang baik ini untuk tujuan yang tidak benar berdampak merusak luar biasa, tetapi tidak akan terasa oleh awam. Bagi calon emiten, perlu memerhatikan dengan baik makna dari sebuah valuasi dan batasan-batasan dalam penggunaannya sehingga tidak disalah artikan meski juga tidak diabaikan sama sekali.

Di tengah meningkatnya kinerja pasar modal, banyak perusahaan yang berminat melakukan penawaran umum perdana untuk saham maupun obligasi. Dalam transaksi emisi sekunder, valuasi bukan suatu hal yang signifikan karena harga instrumen yang diperdagangkan sudah memiliki referensi di pasar sehingga pembandingnya jelas. Dalam emisi perdana, valuasi menjadi penting karena memengaruhi perolehan dana maupun besaran beban (untuk obligasi: berupa tingkat bunga) yang harus dikeluarkan di kemudian hari.

Setiap transaksi keuangan akhirnya didasarkan pada nilai-nilai subyektif dari pembeli dan penjual. Masing-masing percaya mendapat keuntungan dari transaksi tersebut.

Aswath Damodaran dalam bukunya Damodaran on Valuation mengungkapkan beberapa mitos dalam valuasi yang kelihatannya masih dipercaya, bahkan pemain di pasar modal.

Valuasi dianggap sebagai sesuatu yang obyektif, padahal sarat dengan pertimbangan subyektif dari si pembuatnya. Banyak ruang input yang terbuka untuk hal-hal subyektif. Asumsi yang digunakan memengaruhi obyektivitas dari valuasi. Misalnya, penilaian aset bermasalah pada masa krisis yang didasarkan pada asumsi adanya perbaikan atau recovery dalam perekonomian Indonesia.

Nilai aset akan menjadi berbeda jika aset tersebut dinilai dengan asumsi bahwa krisis akan terus berlanjut. Persoalannya menjadi rumit dan terbuka untuk perdebatan karena ada faktor subyektif dalam penggunaan asumsi tentang besaran economic recovery, misalnya tingkat suku bunga, kurs rupiah, dan inflasi.

Setiap analis punya alasan sendiri untuk penggunaan sebuah asumsi. Alasan-alasan tersebut bisa saja benar pada saat alasan itu digunakan, tetapi dapat dianggap keliru apabila dilihat kembali saat kondisi telah berubah. Lebih celaka kalau sesuatu yang sangat rapuh untuk dijadikan pegangan ini dipakai sebagai dasar menjatuhkan lawan bisnis dan politik.

Penegak hukum harus pandai-pandai menggunakan hasil valuasi dengan saksama memerhatikan asumsi yang digunakan dan dasar penggunaannya.

Ada mitos lain yang menganggap valuasi sebagai suatu perhitungan yang sifatnya abadi, tanpa batas waktu. Padahal, ia sangat dipengaruhi waktu dan kondisi saat asumsi-asumsi dipergunakan. Ibarat makanan, sebuah laporan valuasi sangat cepat kedaluwarsa, tergantung pemahaman dan informasi yang tersedia tentang obyek valuasi serta besarnya perubahan kondisi ekonomi dan keadaan obyek valuasi. Tidak heran, penggunaan laporan valuasi yang kedaluwarsa dapat merugikan atau menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Penjualan aset penting dengan dasar valuasi yang kedaluwarsa adalah tindakan keliru.

Mitos lain menganggap sebuah valuasi memberikan estimasi nilai akurat. Pandangan ini juga tidak benar karena sebuah valuasi, meskipun sifatnya matematis, berisi asumsi-asumsi tentang masa depan perusahaan dan keadaan perekonomian yang penuh ketidakpastian. Catatan tentang asumsi harus diperhatikan sebagai suatu kesatuan utuh yang menghasilkan nilai akhir. Nilai akan berubah bila asumsi berubah.

Pandangan lain menganggap semakin kuantitatif sebuah model valuasi, kian baik hasil valuasinya. Ini juga patut dipertanyakan. Kualitas laporan valuasi ditentukan pemahaman yang mendalam atas perusahaan atau obyek valuasi. Pemahaman hanya bisa diperoleh apabila menginvestasikan cukup waktu dengan riset memadai atas obyek valuasi. Memberikan valuasi tanpa informasi memadai ibarat bermain tebak manggis atau membeli kucing dalam karung.

Ada juga anggapan bahwa harga yang terbentuk di pasar tidak benar, perhitungan dalam proses valuasilah yang benar. Sebenarnya kita harus beranjak dari anggapan bahwa pasar benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya oleh para analis dan pembuat valuasi.

Kasus PT PGN, misalnya, harga pasarnya benar sesuai informasi yang tersedia. Namun, ketika informasi yang tersedia di pasar menjadi lengkap, pasar akan menyesuaikan harganya. Demikian pula analis, menyesuaikan perhitungannya.

Fokus pada hasil valuasi tanpa memerhatikan prosesnya juga merupakan cara keliru untuk membaca sebuah laporan valuasi. melalui proses yang benar dapat diungkapkan banyak hal yang terkait nilai obyek valuasi.

Belakangan timbul kebiasaan baru meminta komitmen calon penjamin pelaksana emisi tentang valuasi yang dapat diberikan untuk emisi saham maupun obligasi. Proses memberikan komitmen di depan tanpa pemahaman mendalam atas perusahaan atau obyek valuasi membuka potensi kerugian bagi emiten. Kerugian akan terjadi bagi emiten jika saat transaksi terjadi kondisi telah berubah sehingga nilai valuasi sebenarnya bisa lebih tinggi dari komitmen awal.

Kerugian juga bisa terjadi karena pasar sudah terlebih dahulu mengetahui nilai komitmen awal dari penjamin pelaksana emisi sehingga harapan untuk pasar membayar lebih menjadi tipis, bahkan boleh dikatakan hilang sama sekali.

Keadaan perekonomian yang membaik tentu akan berdampak positif bagi nilai perusahaan. Itu meningkatkan potensi penerimaan bagi emiten. Artinya, komitmen valuasi awal menjadi tidak relevan sama sekali dengan nilai sebenarnya dari emiten.

Siapa keliru?

Dalam ekonomi dikenal istilah fallacy of misprecision atau kesalahan menggunakan suatu ukuran dengan menganggap presisi ukuran tersebut melebihi dari yang sebenarnya. Kesalahan pemakaian ukuran seperti itu belakangan terjadi pada valuasi. Penerapan valuasi untuk estimasi nilai penerimaan dari suatu kegiatan pencarian dana di pasar modal tidak sepenuhnya benar. Itu karena hasil valuasi tidak serta-merta menjadi dasar bagi investor untuk bertransaksi.

Betapa pun "bagusnya" dan "benarnya" sebuah valuasi, harga akhir tidak ditentukan valuasi tersebut melainkan pada kesediaan investor untuk membayar. Investor membeli karena ada potensi keuntungan yang diharapkan. Atas dasar inilah biasanya diberikan diskon, kalau dalam penawaran umum perdana saham dikenal sebagai "IPO discount". Besarannya beragam sesuai kondisi pasar.

Pada transaksi sekunder saham yang sudah diperdagangkan di bursa, besaran diskon diperhitungkan dari harga yang terbentuk di bursa. Penawaran saham tanpa diskon akan membuat pembeli memilih membeli di bursa yang harganya lebih rendah, bukan dari penawaran pemegang saham.

Kalau demikian praktiknya, bagaimana komitmen valuasi yang dilakukan sebelum ada proses valuasi yang cukup? Ini jadi simalakama bagi pemberi komitmen dan penerima komitmen. Pengikatan diri pada sesuatu yang sangat labil, rapuh, dan yang mudah berubah sesuai keadaan ekonomi (belakangan ini sangat cepat berubah) berarti membuka diri pada proses-proses pengevaluasian (pemeriksaan) di kemudian hari.

Praktik-praktik tebak manggis ini tidak hanya terjadi pada IPO saham, tetapi juga dalam penerbitan obligasi berupa pengikatan diri pada tingkat bunga tertentu dengan referensi pada sovereign risk seperti tingkat bunga Surat Utang Negara atau Sertifikat Bank Indonesia. Jika akhirnya pelaksanaan penerbitan obligasi dengan tingkat bunga yang berbeda dengan komitmen awal karena kondisi sudah berbeda maka akan memberi dampak merugikan bagi emiten di saat tingkat bunga turun dan menguntungkan saat tingkat bunga naik.

Di lain pihak, bagi penjamin pelaksana emisi, kondisi ini juga tidak menguntungkan, terutama jika proses pemilihannya ditelusuri kembali di mana mungkin saja ada pihak yang tidak diikutsertakan lagi (baca: kalah dalam seleksi) karena dianggap mengajukan tingkat bunga yang kurang menarik. Padahal, pada akhirnya transaksi dilakukan pada tingkat bunga yang bagi emiten justru lebih merugikan lagi. Jadi, sebaiknya stop mengikat diri pada sesuatu yang mudah berubah-ubah. Gunakan alat yang baik ini sesuai tujuannya.

Dengan pengertian yang baik tentang valuasi sebagai alat yang layaknya digunakan hanya sebagai referensi akan membawa kita pada praktik bisnis yang lebih sehat. Pasar memiliki caranya sendiri menentukan nilai (value) dari sebuah instrumen. Kisaran harga atau tingkat bunga yang ditawarkan ke pasar bukanlah harga mati. Pasar dapat membayar lebih mahal, tetapi pasar juga mungkin hanya rela membayar lebih murah. Apakah ini salah valuasi? Tidak. Ini salah mengikat diri.

Orias Petrus Moedak Direktur Pelaksana PT Danareksa Sekuritas

No comments: