Thursday, June 14, 2007

TAJUK RENCANA

Jangan Politik untuk Ekonomi

Semakin jauh mengikuti aliran uang Departemen Kelautan dan Perikanan, semakin sedih hati kita ini. Beginikah politik kita akan seterusnya dibangun?

Masih kuat praktik yang menggunakan kekuatan politik untuk mengganggu ekonomi. Padahal, itu menghambat upaya pemulihan. Kita tidak akan pernah bisa bangkit dari keterpurukan dan menyelesaikan masalah ekonomi bangsa ini apabila pendekatannya tidak atas dasar cara ekonomi. Penyelesaian ekonomi dengan pendekatan politik justru akan menjauhkan kita pada pembenahan ekonomi karena terlalu banyak kepentingan yang masuk di dalamnya.

Padahal, dalam ekonomi, efisiensi merupakan syarat mutlak. Seperti halnya perusahaan, negara tidak akan bisa kompetitif dan memenangi persaingan apabila tidak ditopang oleh efisiensi yang tinggi.

Mendekati Pemilihan Umum 2009 kita mulai dengar juga keluhan dari direksi badan usaha milik negara yang didekati partai-partai politik. Entah motifnya pribadi atau memang untuk kepentingan partai, direksi BUMN dimintai untuk mendukung partai dalam mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2009. Permintaan itu diikuti dengan ancaman secara halus bahwa secara politik mereka yang tidak menunjukkan keberpihakan akan bisa tergusur dari kursinya.

Terus terang kita sedih mendengar kenyataan seperti itu. Masalahnya, ketika sembilan tahun lalu kita melancarkan reformasi, tujuan utama adalah untuk meninggalkan praktik-praktik seperti itu. Ternyata sistem boleh berganti, perilakunya masih tetap saja.

Semakin sedih lagi ketika politik ditumpangi oleh kepentingan ekonomi kelompok. Hanya demi mencapai tujuan tertentu, politik dipakai untuk menakut-nakuti. Apalagi jika hal itu ditujukan kepada perusahaan asing. Sikap yang tidak bersahabat seperti itu akan semakin memurukkan citra negara kita sebagai tempat yang pantas untuk didatangi dan ditanami modal.

Padahal, berulang kali kita sendiri mengatakan perlu adanya investasi. Kita membutuhkan adanya penanaman modal sekitar Rp 1.000 triliun setiap tahun untuk mendorong ekonomi bertumbuh dengan 7 persen. Bagaimana kita bisa berharap ada investasi masuk apabila tidak pernah bersahabat dengan dunia usaha?

Kita sama-sama menyadari bahwa peran pembangunan tidak bisa lagi hanya bertumpu kepada pemerintah. Tidak kalah pentingnya peran swasta dan bahkan di banyak negara sekarang ini swasta menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Dalam dunia yang semakin terbuka, kita tidak hidup sendiri. Negeri-negeri yang dulu tertutup, seperti China atau Vietnam, kini telah membuka diri dan bahkan lebih terbuka dari kita. Tidak usah heran apabila investasi mengalir deras ke sana dan sekarang negara-negara itu menikmati pertumbuhan yang luar biasa.

Kita tidak boleh terlena dengan julukan negara kaya dan demokratisasi yang berkembang pesat. Semua itu tidak akan ada artinya apabila tidak bisa memakmurkan kehidupan seluruh bangsa. Kita lihat begitu banyak yang hidup dalam kemiskinan dan pengangguran.

Perdagangan Bebas dan Adil

untutan perdagangan bebas tetapi adil kembali diwacanakan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengecam Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.

Putin menilai WTO sudah kuno, tidak demokratis, tidak fleksibel, dan lebih menguntungkan negara-negara maju yang cenderung proteksionis. Sejauh ini pula sudah muncul wacana, perdagangan bebas (free trade) memang penting, tetapi tidak kalah pentingnya perdagangan yang adil (fair trade).

Tanpa berkeadilan, WTO hanya akan menguntungkan negara-negara maju sebagaimana disorot Presiden Putin. Itu pula alasan Putin mengusulkan pembentukan kerja sama perdagangan alternatif, yang lebih menjamin kepentingan negara-negara berkembang.

Presiden Rusia juga menyerukan pembaruan tatanan ekonomi dunia, antara lain dengan memberikan peran kepada mata uang regional lainnya agar tidak didominasi hanya oleh euro (Uni Eropa) dan dollar AS.

Resonansi gugatan dan kecaman Putin termasuk tinggi karena disampaikan dalam Forum Ekonomi Internasional di St Petersburg, Rusia, akhir pekan lalu.

Secara konkret Putin mengusulkan pembentukan organisasi perdagangan Eropa-Asia sebagai salah satu alternatif terhadap WTO. Terlepas dari persoalan Rusia belum bergabung dalam WTO, gugatan Putin secara obyektif menggambarkan problematik yang dihadapi WTO. Semula WTO hendak dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2005 sesuai dengan keputusan Putaran Doha, Qatar, tahun 2001.

Namun, rencana itu tidak dapat ditepati karena silang pendapat yang keras soal subsidi pertanian, terutama antara kubu negara maju dan kelompok negara berkembang. Pertikaian itu mulai mencuat ke permukaan pada pertemuan di Cancun, Meksiko, tahun 2003.

Kelompok negara maju terus menuntut pencabutan segala bentuk proteksi di negara berkembang, termasuk subsidi pertanian. Sebaliknya, sistem proteksi dan subsidi pertanian di negara maju sendiri tetap dipertahankan dengan alasan sistem itu sulit dicabut karena sudah lama dipraktikkan.

Tuntutan kubu negara maju itu dilihat sebagai bentuk ketidakadilan oleh kubu negara berkembang. Produk pertanian sebagai andalan utama negara berkembang menjadi sulit masuk ke pasar negara maju karena dihadang sistem proteksi.

Sebaliknya produk pertanian negara-negara maju, yang sudah mendominasi perdagangan produk teknologi canggih, dengan mudah masuk ke pasar negara berkembang yang tidak diproteksi. Kesenjangan ekonomi dunia pun dipastikan semakin melebar.

No comments: