Saturday, June 2, 2007

MEREKA YANG TER-PHK
Dari Lapak hingga Tetap Berdasi

Bak membalik telapak tangan, kehidupan yang dijalaninya berubah drastis. Dari seorang pegawai bank yang berdasi, wangi, bersih, dan rapi hingga menjadi pedagang pasar yang lebih dekat ke kesan kotor, dekil, dan bau. Kehidupan memang tidak pernah pasti. Bagai roda yang berputar, ia pun terus berubah....

Sorot matanya tajam menghunjam. Sesekali ia "menurunkan" kadar ketajaman itu dengan seulas senyum. Melihat penampilannya kini, tak satu pun menduga ia lulusan teknik sipil dan mantan seorang pegawai bank dengan kedudukan cukup tinggi.

Ditemui di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Manggarai, Jakarta, Purba, begitu ia biasa disapa, mengaku saat ini sedang bekerja di sebuah kontraktor yang sedang membangun jaringan base transceiver station (BTS) telepon seluler. Ia menjabat kepala gudang. "Memang tidak pernah ada yang menduga saya dulu pegawai bank," katanya sambil tersenyum.

Ia adalah mantan pegawai sebuah bank dengan kedudukan sebagai officer unit control, lengkap dengan sebuah mobil dinas dan seorang sopir. Namun, tahun 2003, kehidupannya berubah total. Ketika pemerintah memberlakukan kebijakan likuidasi di bidang perbankan, Purba dan 950 karyawan lain dihadapkan pada kenyataan yang sama sekali bukan sebuah pilihan menyenangkan, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ia dan kawan-kawan mengalami PHK gelombang ketiga atau yang terakhir dari total sekitar 2.000 karyawan yang ter-PHK. Pil pahit pun harus ia telan ketika pemerintah meminta bank tempatnya bekerja untuk merger. "Sejak itu memang saya merasa tidak lebih baik," ujar ayah tiga anak itu.

Setelah menerima surat PHK, ia mencoba berbagai usaha lain. Selama setahun pertama, Purba memilih menjadi pedagang kelapa di pasar Bekasi. Lahan ini dipilih karena sebenarnya ia telah cukup lama bersentuhan dengan "bisnis" semacam ini.

Hampir setiap hari ia bolak-balik Jakarta-Lampung untuk mengambil kelapa. "Saya sendiri yang membawa truknya," katanya. Setiap minggu, ia bisa menjual satu hingga dua truk kelapa. Namun, upaya ini ternyata hanya bertahan satu tahun. Ia dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang jauh berbeda dengan harapan. "Sulit menemukan orang yang bisa dipercaya," kata Purba memberikan alasan.

Ia pun banting setir. Ia "merekrut" beberapa tunawisma di sekitarnya untuk membantu berjualan teh botol di pasar dan lampu merah. Hanya, usaha ini pun tidak bertahan lama. Ia bahkan sempat kuliah lagi di fakultas filsafat. Namun, rupanya dewi keberuntungan belum berpihak kepadanya.

Fokus

"Yang penting bisa >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<," kata Eko Murdianto. Tak jauh berbeda dengan Purba, ia pun korban kebijakan merger dan likuidasi di sektor perbankan. Hanya, mungkin Eko sedikit lebih beruntung. Lahan yang dipilihnya lebih memberikan hasil. Sejak menerima surat PHK, ia kemudian fokus pada bisnis >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<. Dan ia memilih bidang sewa-menyewa VCD. Kini, beromzet Rp 150.000 hingga Rp 1 juta per hari.

"Bisnis >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602h 9738m,0<>w 9738m<>f 601

Dengan upaya ini, Eko yang menyunting seorang putri Jepang tetap bisa memenuhi janji kepada sang mertua untuk membawa "pulang" putrinya setiap tahun ke Jepang. "Waktu menyunting, saya berjanji kepada mertua saya untuk membawa pulang putrinya ke Jepang setiap tahun. Janji adalah janji," ujarnya.

Sementara itu, Dedi Nurfalaq mengaku merasa lebih "bebas" setelah PHK. >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602<"Over all designtimesp=28956>h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<, saya baik, tetap >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<. Tetap punya pekerjaan dengan kondisi yang baik, bahkan sekarang bisa memberi dampak positif yang lebih luas," katanya. Setelah terkena PHK tahun 2003, Dedi bergabung dengan sebuah konsultan, kini berkedudukan sebagai programme manager.

Kurang berpihak

Pengalaman PHK membawa mereka pada satu pembelajaran pada kehidupan baru. Dedi Nurfalaq menggarisbawahi kurangnya keberpihakan pemerintah kepada warga dan lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal. Hal itu diperkuat Eko Murdianto.

"Pada intinya, memang karyawan sama sekali tidak punya hak. Kita enggak bisa nuntut sesuatu. Yang namanya bisnis memang tidak bisa menggunakan hati nurani," ujarnya. Eko sendiri akhirnya berdamai dengan kebijakan PHK. "Sebagai karyawan, kalau perusahaan dipandang tidak menguntungkan, ia kan bisa mundur dan pindah ke perusahaan lain yang lebih baik. Nah, saya kira perusahaan pun berhak melakukan hal seperti itu," tuturnya.

Dalam kaitan ini, Dedi Nurfalaq melihat kenyataan pemerintah masih lebih mementingkan pemilik modal. Artinya, di satu sisi pemerintah belum mampu menciptakan lapangan kerja atau bidang yang menyerap tenaga kerja, tetapi di sisi lain justru membuka keran PHK. "Memang ini dimaksudkan untuk memacu produktivitas kerja dan mencapai performa yang baik. Tetapi, saya kira telah terjadi kesalahan analisis psikologis pada tenaga kerja Indonesia. Bagaimana kita bisa bekerja dengan baik ketika jaminan >h 9737m,0<>w 9737m<>f 602h 9738m,0<>w 9738m<>f 601<-nya tidak ada," ujarnya.

Dengan kata lain, produktivitas justru tidak akan tercapai ketika keputusan PHK justru menjadi sebuah mimpi buruk yang terus menghantui. "Saya yakin, bisnis masih bisa dijalankan dengan lebih beretika," tegasnya. Seperti dikatakan Purba, semua itu akan lebih baik ketika dijalankan dalam suasana dialogis dengan melepaskan arogansi masing-masing.

"Sebagai pekerja, janganlah kita arogan. Sebaliknya, perusahaan juga harus jujur, terbuka, dan faktual. Jangan hanya terus mengatakan rugi tanpa menunjukkan data faktual," ujarnya.

Memang, hidup tidak pernah pasti. Namun, ada satu yang pasti, roda terus berputar. Tak selamanya ia di atas dan tak selamanya ia di bawah.

(RIEn kuntari)

No comments: