Bogor, Kompas - Indonesia harus dan bisa berdaulat dalam masalah beras. Indonesia juga tidak perlu bercita-cita jadi pengekspor beras, tetapi harus jadi eksportir beras on the trend. Tidak menjadi masalah mengimpor beras, selama untuk etika perdagangan internasional dan jumlahnya tidak berlebihan.
Demikian antara lain pernyataan Tim Penelitian Padi (TPP) Institut Pertanian Bogor, yang diketuai Profesor Didy Sopandie, di Bogor, Selasa (26/6). Pernyataan institusi resmi IPB itu berkaitan dengan pencanangan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dan impor bibit padi dari RRC.
Profesor Rizal Syarief, anggota TPP serta Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat IPB, menegaskan, Indonesia bisa berdaulat atas padi/beras karena memiliki berbagai varietas pagi unggulan, yang potensi produksinya tinggi dan sesuai dengan iklim di sini. IPB sendiri sudah menghasilkan 15 jenis padi baru, yang tingkat produksinya tinggi, yakni 7,2 ton sampai 8,9 ton per hektar dengan kadar air 14 persen.
"Jadi, kita tidak perlu mengimpor bibit padi dari RRC yang katanya tingkat produksinya tinggi itu, apalagi kalau sampai ketergantungan. Bibit padi dari RRC itu adalah padi hibrida, yang hanya untuk sekali tanam atau produksi. Padi yang dihasilkannya tidak bisa untuk dijadikan bibit kembali," kata Syarief.
Menurut Syarief, kalau mau jadi pengekspor beras, eksporlah jenis-jenis beras unggulan, yakni beras khusus beraroma yang hanya bisa ditanam di Indonesia. Jenis ini, misalnya, beras pandanwangi cianjur, solok, selebes, borneo, atau rojolele klaten.
Sedangkan anggota TPP IPB yang lain, Dr Aris Munandar, mengemukakan, jenis padi-padi itu belum secara resmi dilepas sebagai varietas unggulan karena tahap uji multilokasi di semua wilayah sentra penghasil padi/beras terkendala dana. (RTS)
No comments:
Post a Comment