Monday, June 25, 2007

Mengakhiri 'selingkuh'

dokter dan industri farmasi

oleh : Yeni H. Simanjuntak

Kalau akhirnya Anda terpaksa harus pergi ke dokter, tanyakanlah berapa banyak pasien yang dia sarankan penanganan penyakitnya harus lewat meja operasi. Itu perlu ditanyakan karena akan menjadi dasar bagi Anda untuk mengambil keputusan apakah tetap dirawat olehnya atau berpaling ke dokter lain.

Bila dalam setahun hanya 10% dari jumlah pasien yang ditanganinya harus menjalani operasi, maka dokter tersebut pantas mendapatkan kepercayaan Anda. Tapi apabila 25% hingga 50% dari jumlah pasiennya harus ditangani di ruang operasi, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa ada kredit yang tengah 'dilunasi' si dokter untuk 'mengejar setoran'. Nah, bila persentasenya mencapai 80%, dokter itu layak mendapat julukan dangerous doctor, dan segeralah cari dokter lain.

Itu adalah guyonan yang disampaikan Anggota Komisi IX DPR Hakim Sorimuda Pohan dalam acara diskusi mengenai kelangkaan dan mahalnya harga obat beberapa waktu lalu. Guyonan yang disambut tawa semua orang yang hadir di acara itu.

Seperti kentut, praktik-praktik 'haram' dunia kedokteran memang tercium tak sedap tapi tidak kelihatan. Hal paling sederhana dan paling banyak dibahas dalam beberapa waktu terakhir adalah independensi dokter dalam menuliskan resep untuk pasiennya. 'Selingkuh' antara pabrik obat dan dokter-yang sudah pasti merugikan pasien--belakangan mendapatkan sorotan tajam.

Poin-poin etika promosi obat antara GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI):
* Dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu karena dokter bersangutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
* Dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk.
* Dukungan kepada dokter secara individual dalam rangka pendidikan berkelanjutan terbatas pada biaya registrasi, akomodasi, dan transportasi.
* Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium atau uang saku kepada dokter yang menghadiri pendidikan berkelanjutan, kecuali sebagai pembicara atau moderator.
* Donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu.
* Pemberian donasi dari perusahaan farmasi hanya diperolehkan untuk organisasi profesi kedokteran, bukan untuk dokter individual.
* IDI harus memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, terkait dengan sponsorship dari anggota GP Farmasi Indonesia.
Sumber : GP Farmasi

Promosi obat industri farmasi yang tidak etis telah membuat pasien semakin tersakiti. Hadiah untuk sang dokter, harus dibayar si pasien lewat harga obat yang mencekik leher. Pasien tidak punya pilihan karena dokternya sudah terikat 'kontrak' tidak resmi dengan produsen obat.

Kalau memang praktik serupa ini tidak pernah ada, tidak mungkin Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sampai merasa perlu untuk melakukan penandatanganan kesepakatan bersama etika promosi obat pada 12 Juni lalu.

Dalam kesepakatan itu dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu karena dokter bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Masih ada sejumlah poin lainnya yang intinya ingin menegakkan independensi dokter dalam menjalankan tugasnya.

"Kami memang tidak memiliki data mengenai pelanggaran kode etik itu, namun saya yakin pelanggaran itu sangat mungkin terjadi. Jadi kesepakatan ini untuk penegasan," kata Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo.

Menepis bias

Pertengahan Maret lalu, organisasi perusahaan farmasi internasional di Indonesia (IPMG) juga memperketat aturan promosi dan pemasaran obat oleh para anggotanya, lewat revisi terbaru kode etik organisasi itu.

Ketua IPMG Ahmet Genel mengatakan revisi kode etik IPMG itu diadopsi dari revisi terbaru International Federation Pharmaceutical Manufacturers & Association (IFPMA).

Namun, Genel membantah bahwa pengetatan aturan mengenai promosi dan pemasaran obat tersebut didasarkan pada adanya dugaan praktik promosi yang tidak sehat antara perusahaan farmasi dan dokter.

"Ini [kode etik] dibuat bukan atas adanya dugaan telah terjadi praktik tidak sehat antara produsen obat dan dokter. Kami ingin obat-obat yang diproduksi dipasarkan secara etis dan dokter dapat membuat keputusan tanpa bias," ujarnya berupaya meyakinkan.

Perusahaan farmasi yang tergabung dalam IPMG hanya diperbolehkan memberikan hadiah kepada profesi kesehatan dalam rangka acara nasional, budaya, atau keagamaan yang penting, dengan nilai maksimal Rp500.000, tidak boleh lebih.

Sebelumnya, perusahaan farmasi diperkenankan untuk memberikan hadiah senilai Rp500.000 untuk ulang tahun dan hadiah senilai hingga Rp2 juta untuk hadiah pernikahan. Tapi kini, hadiah untuk perayaan ulang tahun dan pernikahan telah diharamkan.

Batasan rupiah untuk membuat pekerjaan dokter tidak berbias juga ditetapkan oleh GP Farmasi, misalnya, lewat suvenir promosi yang harus bernilai wajar yaitu maksimum US$20 dan honorarium pembicara seminar yang tidak boleh melebihi US$300.

Sayangnya, tidak ada batasan rupiah yang ditetapkan apabila perusahaan farmasi ingin memberikan hadiah untuk perayaan tertentu, seperti hari besar keagamaan, kepada dokter.

Masalah independensi pastinya bukan hanya monopoli dokter dan industri farmasi. Dalam Pedoman Perilaku Hakim, seorang hakim juga disebutkan hanya boleh menerima hadiah yang nilainya tidak lebih dari Rp500.000.

Nilai itu disebut-sebut jauh lebih rendah dari standar kode etik hakim internasional yang memperbolehkan hakim menerima hadiah dengan nilai maksimal US$200 atau setara dengan Rp1,8 juta.

Bagaimanapun, upaya menciptakan transparansi kerja berbagai profesi memang layak dihargai. Semoga saja kode etik tadi tidak sekadar disimpan dalam laci meja yang kemudian dilupakan di saat tidak ada yang mengawasi.

Sulit memang. Sebab perselingkuhan memang mencurigakan, tapi sulit dibuktikan. (yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)

No comments: