Jangan Jadi Program Mandul
Oleh Sri Hartati Samhadi
Sebagai sebuah program besar nasional yang memberikan harapan cerah untuk bisa membawa bangsa ini keluar dari ancaman krisis bahan bakar minyak dan ketergantungan pada bahan bakar fosil yang kian menipis dan mahal, pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia terkesan terseok-seok, bahkan jalan di tempat.
foria terhadap program ini terlalu cepat menguap akibat pemerintah tidak konsisten dalam mendorong program yang dianggap mampu mengatasi kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja (pro-job creation), dan menyelamatkan lahan kritis/nonproduktif menjadi lahan produktif itu.
Di beberapa daerah, tidak sedikit petani yang patah arang, tidak mau lagi menanam pohon jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai bahan baku etanol, karena tidak adanya kepastian pembelian atau jaminan harga dari pemerintah atas biji jarak atau minyak jarak yang dihasilkannya. Jaminan pembelian yang pernah disampaikan 29 BUMN, faktanya belum berjalan di lapangan.
Usaha penanaman yang dilakukan juga terkesan serampangan, tanpa mengikuti kaidah-kaidah budidaya yang baik, karena minimnya pemahaman masyarakat akan teknis budidaya, mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pengolahan pascapanen.
Terbujuk oleh iming-iming menanam pohon jarak seperti menanam pohon uang, tidak sedikit petani yang mengonversi lahan produktifnya menjadi lahan jarak, tetapi kemudian tidak bisa dijual karena tak ada yang menampung atau rendahnya harga yang ditawarkan pabrik.
Di sejumlah daerah, seperti Papua, karena semangat menggalakkan penggunaan biofuel, pemerintah cenderung mengabaikan prinsip pengembangan lahan yang berkesinambungan.
Sejumlah anggota DPR sempat melontarkan kekhawatiran mengenai kemungkinan adanya upaya-upaya membabat hutan dengan dalih mengembangkan kebun sawit untuk keperluan pengembangan biofuel, karena izin penguasaan lahan yang diberikan kepada para investor terkesan tidak masuk akal.
Berdasarkan ketentuan, izin konsesi untuk sawit maksimal 300.000 hektar, tetapi sejumlah perusahaan dengan gampang bisa mengantongi izin konsesi hingga 1 juta hektar.
Di sisi hilirnya, industri pengolahan juga tak berkembang secepat yang diharapkan akibat terkendala belum adanya teknis budidaya yang memenuhi standar usaha perkebunan atau karena harga biofuel yang tak kompetitif dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil.
Untuk biodiesel yang berbahan baku minyak sawit (CPO), industri juga kesulitan mendapatkan bahan baku karena tingginya permintaan akan CPO di pasar global membuat harga melonjak dan produsen memilih ekspor.
Pertamina sendiri enggan menjual biofuel karena alasan yang sama (menjual biofuel tidak menguntungkan), kecuali pemerintah mau memberi subsidi. Konsumen yang sebelumnya antusias menyambut bahan bakar yang ramah terhadap mesin dan lingkungan ini pun akhirnya juga kecewa karena biofuel sulit didapat di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) Didiek Hadjar Gunadi melihat program bahan bakar nabati (BBN) tidak berkembang seperti yang diharapkan. Hal ini, menurut dia, antara lain karena tidak adanya pemikiran yang holistik dari pihak pemerintah dalam menyusun strategi dan mengidentifikasi faktor-faktor kuncinya.
Pemikiran awal yang dikembangkan dinilai Didiek terlalu meremehkan kompleksitas masalah yang dihadapi, khususnya di sektor hulu. "Ini menyangkut tanaman yang memerlukan waktu penyiapannya. Untuk tanaman dengan nilai komersial seperti bahan baku biofuel, waktu yang dibutuhkan bisa cukup panjang, 3-5 tahun, untuk menghasilkan varietas efisien," ujarnya.
Ditambahkan, menanam dan tumbuh itu soal biasa, sedangkan tanam-tumbuh-produksi yang ekonomis itu cerita lain. Ini sejak awal tak dipahami oleh penggerak kebijakan BBN yang hanya mengacu pada aspek hilir dan kemanfaatan produk akhirnya.
Pengamat perminyakan, Kurtubi, sependapat bahwa program BBN sudah melenceng dari rencana. Tim Nasional BBN yang dibentuk, dia nilai tidak jalan.
Salah satu yang dia soroti adalah lemahnya komitmen pemerintah. Semestinya, menurut dia, sebagai industri yang masih bayi (infant), pemerintah konsisten mendorong terlaksananya program ini. Faktanya, Pertamina dibiarkan "rugi" menjual biodiesel tanpa ada komitmen pemerintah untuk membantu.
Pengalaman di negara lain, termasuk di negara-negara maju, intervensi pemerintah sangat menonjol pada awal pencanangan program BBN.
Di AS, dalam rangka menggalakkan konsumsi biofuel, Presiden Jimmy Carter pada awal peluncuran program etanol tahun 1978 memberlakukan Undang-Undang Pajak Energi (Ener- gy Tax Act) yang memberikan potongan pajak bagi produsen alkohol dan pengguna biofuel. Jumlah diskon pajak yang diberikan, menurut Rama Prihandana (Dari Energi Fosil Menuju Energi Hijau) mencapai 1,4 miliar dollar AS per tahun.
Insentif lain yang juga diberikan adalah penjaminan kredit untuk pembangunan pabrik etanol. Pada tahun 1986, produsen etanol bahkan mendapat bahan baku jagung gratis.
Uni Eropa (UE) juga memberlakukan insentif potongan pajak serupa, bahkan penghapusan pajak. Hal serupa dilakukan Brasil yang kini menjadi produsen etanol terbesar di dunia dan negara-negara lain, seperti India, China, dan Thailand. Intervensi pemerintah dalam bentuk potongan pajak atau subsidi ini, menurut Rama, diperlukan agar harga biofuel bisa bersaing dengan bahan bakar fosil.
Tak serius
Kesan pemerintah tidak cukup serius juga dilontarkan oleh sejumlah kalangan. Kepala Bidang Teknologi Etanol dan Derivatif Balai Besar Teknologi Pati (PB2TP) Lampung M Arif Yudiarto mengutarakan, jika pemerintah memang serius menggalakkan pemakaian etanol, pemerintah bisa secara bertahap meningkatkan kadar campuran biofuel dalam bahan bakar fosil.
"Misalnya, dengan BE10 (pencampuran 90 persen premium dan 10 persen bioetanol) supaya lebih hemat. Dengan mengurangi 10 persen dari konsumsi BBM premium saat ini, campuran 10 persen etanol bisa diambilkan dari produksi yang ada," ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh General Manager PT Madusari Lampung Indah Tito Tambayong. Menurut dia, pemerintah harus berpikir serius mengenai harga pembelian yang akan diterapkan kepada pabrikan etanol agar pabrikan lebih mendahulukan kebutuhan dalam negeri.
Perusahaan yang dikelolanya, menurut dia, sudah mempertimbangkan mengekspor etanol yang diproduksi ketimbang menjual di dalam negeri jika pemerintah tak serius menggarap BBN.
Menurut Tito, dengan harga minyak mentah dunia yang sekitar 60-65 dollar AS per barrel saat ini, semestinya pemerintah segera mengeluarkan instruksi mengenai pengurangan konsumsi BBM sebagai dukungan politis bagi pengembangan biofuel.
Kampanye kurang
Ketua Timnas BBN Al Hilal Hamdi mengakui, produk biofuel masih sulit didapat di pasaran kendati program telah mulai berjalan beberapa tahun lalu. Salah satu alasannya, menurut dia, karena kampanye penggunaan bahan bakar ramah lingkungan oleh Pertamina sangat kurang.
Menurut Hilal, sebenarnya tidak ada alasan bagi Pertamina merugi dengan menjual biofuel. Sasaran pengguna biofuel adalah masyarakat di kota-kota besar. "Kalau kampanyenya bagus kan orang jadi berpikir, untuk lingkungan yang lebih bersih, langit yang lebih biru, dan menghidupkan petani di pedesaan, kenapa tidak?" ujarnya.
Di luar lemahnya kampanye Pertamina, Hilal mengakui masih ada sejumlah kendala dalam pengimplementasian program biofuel. Pertama, tidak adanya aturan yang mewajibkan (mandatory) perusahaan-perusahaan niaga migas menjual biofuel. Di negara lain, seperti Thailand dan Filipina, aturan itu sudah ada.
Kedua, belum ada ketentuan mengenai batasan berapa produksi yang boleh diekspor atau harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) dalam rangka menstabilkan pasokan energi di dalam negeri.
Ketiga, antisipasi atau persiapan menghadapi krisis atau keadaan darurat energi. "Kalau ada darurat energi, langkah apa yang dilakukan dan siapa yang menyatakan? Selama ini belum ada cantolannya," ujarnya.
Menurut Hilal, pemerintah juga perlu membuat kebijakan khusus, seperti insentif bebas bea masuk atau bebas three in one bagi pengendara mobil hemat energi, sehingga orang berlomba-lomba menggunakan kendaraan hemat energi.
Berbagai langkah itu mendesak dilakukan me- ngingat ketergantungan yang sangat tinggi pada bahan bakar fosil, mencapai sekitar 63 persen dari seluruh konsumsi energi nasional.
Sementara potensi pengembangan bahan bakar alternatif, seperti biofuel, terbuka luas, antara lain karena ketersediaan bahan baku dan pertimbangan bahwa biofuel adalah bahan bakar terbarukan dan pengusahaannya bersifat padat karya.
Berkaca dari pengalaman berbagai program nasional yang dicanangkan secara gegap gempita di awal tetapi kemudian melempem di belakang, untuk bisa berhasil proyek BNN perlu komitmen tegas dari semua pihak. Penyakit pemerintahan sekarang ini, kegagalan suatu pro- gram ditutup dengan meluncurkan program baru. Jangan sampai BNN menjadi program mandul lainnya di lapangan. (IRN/HLN)
No comments:
Post a Comment