Dua Tahun Revitalisasi Pertanian:
Retorika apa Bukan?
Tanggal 11 Juni 2007 hari ini, strategi revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono berusia dua tahun. Bendungan Sutami di Jatiluhur, Jawa Barat, menjadi saksi dicanangkannya ekspektasi kebangkitan pembangunan pertanian Indonesia, dua tahun lalu.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan bahwa revitalisasi pertanian itu satu dari strategi tiga jalur (tripletrack strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Dua jalur lainnya adalah percepatan investasi dan ekspor untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6,5 persen per tahun, serta pembenahan sektor riil untuk menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.
Waktu seakan berjalan begitu cepat, terutama karena tidak banyak perbaikan prestasi pertanian Indonesia. Alih-alih prestasi, selama dua tahun masyarakat lebih banyak disuguhi kontroversi drama kebijakan di sektor pertanian. Misalnya, impor beras yang siklikal dan bergulir ke ranah politik dan kasus hukum, wabah flu burung yang sulit ditanggulangi, dan kelangkaan pupuk yang sulit dicerna akal sehat. Terakhir masalah benih impor, yang seolah sulit untuk dikembangkan di Tanah Air.
Sebenarnya kinerja keberhasilan revitalisasi pertanian sangat jelas, hitam-putih. Strategi ini dikatakan berhasil jika telah mampu melepaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Bagi Indonesia, pembangunan pertanian jelas bukan opsi atau fungsi dari ideologi atau mazhab pemikiran para elitenya, tetapi "wajib hukumnya" untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Beberapa fakta
Beberapa fakta berikut ini dapat dijadikan titik awal mengevaluasi kinerja revitalisasi pertanian selama dua tahun.
Pertama, data resmi pertumbuhan sektor pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS) menurun dari 4,1 persen per tahun pada 2004 menjadi 3,0 persen per tahun pada 2006. Kinerja pertumbuhan pertanian pada kuartal I-2007 yang tercatat negatif seharusnya menjadi bukti empiris yang jelas bahwa revitalisasi pertanian masih belum membawa hasil.
Menurut teori dasar ekonomi pembangunan, proses transformasi struktur perekonomian di Indonesia tampak tidak mulus dan tidak lengkap. Laju penurunan pangsa sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional jauh lebih cepat dibandingkan dengan penurunan pangsa tenaga kerja yang terlibat di sektor pertanian. Data resmi BPS menunjukkan pangsa PDB pertanian telah menurun dari 15,4 persen tahun 2004 menjadi 13,0 persen pada 2006.
Sementara itu, persentase tenaga kerja yang terlibat di sektor pertanian masih konstan pada angka 43,3 persen pada periode yang sama. Bahkan, pangsa tenaga kerja sektor pertanian ini pernah meningkat menjadi 44 persen pada 2005, sesuatu yang bersifat anomali dalam suatu proses transformasi struktur perekonomian. Fakta itu seharusnya mampu menjelaskan strategi revitalisasi pertanian masih belum di jalur yang benar.
Cukup sulit untuk membantah fakta bahwa nilai tambah proses produksi pertanian, yang menjadi basis perhitungan PDB sektor pertanian, memang tidak banyak dinikmati petani secara langsung. Melambungnya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) di pasar dunia sampai di atas 700 dollar AS per ton tidak dinikmati petani sawit karena struktur pasar yang timpang dan tingkah laku pasar yang anomali. Berkah kenaikan harga CPO dunia itu justru menjadi sumber malapetaka, berimbas pada melambungnya harga minyak goreng dalam negeri, yang juga sangat berat bagi petani.
Kedua, angka resmi kemiskinan di Indonesia meningkat dari 36,2 juta orang pada tahun 2004 menjadi 39,1 juta orang tahun 2006. Dari jumlah itu, sebanyak 24,8 juta tinggal di pedesaan. Di samping itu, tingkat kedalaman kemiskinan Indonesia memang sangat memprihatinkan karena lebih banyak diderita masyarakat pedesaan, yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian.
Jika revitalisasi pertanian ingin berkontribusi pada penghapusan kemiskinan di pedesaan, investasi di sektor pertanian dan pedesaan menjadi hampir mutlak adanya. Bahkan, investasi pertanian tersebut masih harus dilengkapi langkah lain yang bersifat struktural, karena fenomena kemiskinan di sektor pertanian ini lebih banyak berhubungan dengan struktur dan pola kepemilikan lahan.
Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan jumlah rumah tangga pertanian kini tercatat sekitar 25,4 juta atau meningkat dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993. Jumlah petani gurem atau yang hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang juga ikut meningkat, dari 10,8 juta (52,7 persen) menjadi 13,7 juta (56,5 persen) rumah tangga.
Pemerintah wajib segera merampungkan rencana kebijakan reformasi agraria atau yang dikenal dengan program pembaruan agraria nasional agar manfaatnya dapat segera dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ketiga, produksi pangan, terutama yang bersifat pokok, juga semakin menurun. Data resmi BPS menunjukkan, tahun 2007 ini produksi gabah kering giling (GKG) diperkirakan hanya 53,1 juta ton atau turun sekitar 1,2 jua ton (2,3 persen) apabila produksi tahun 2006 ditetapkan 54,3 juta ton. Ekonom pertanian seakan sepakat dengan faktor konversi 0,58 dari gabah kering giling menjadi beras. Jika 2007 ini musim kemarau lebih hebat dan angka ramalan produksi beras itu benar adanya, maka target tambahan produksi 2 juta ton beras (bukan gabah!) akan menjadi isapan jempol belaka.
Masyarakat yang letih terhadap debat kusir politik hanya berharap agar angka ramalan BPS itu salah sehingga persoalan pangan pokok ini tidak kembali bergulir ke ranah politik yang tidak produktif.
Ketahanan pangan suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh prinsip dasar keseimbangan. Pertumbuhan suplai pangan minimal harus sama atau lebih besar dari laju permintaannya. Dari angka resmi BPS, laju suplai beras, sebagai pangan pokok, dalam lima tahun terakhir hanya 1,05 persen per tahun, sementara laju permintaannya diperkirakan mencapai 4,66 persen per tahun (dihitung dengan rumus klasik Johnston-Mellor: pertumbuhan penduduk 1,3 persen, pertumbuhan ekonomi 5,6 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap beras sekitar 0,6 persen).
Tanpa terobosan kebijakan dalam sisi produksi pangan, tahun ini Indonesia kembali akan mengimpor beras dalam jumlah cukup besar. Sebagai catatan, ukuran flow identitas penawaran dan permintaan ini cukup solid dan tidak menimbulkan kontroversi dibandingkan dengan misalnya ukuran stok jumlah produksi dan estimasi konsumsi beras, yang sangat sensitif terhadap faktor akurasi statistik, perburuan rente, dan kepentingan politik yang kental.
Masih sempat
Pemerintah masih memiliki peluang besar untuk membumikan strategi revitalisasi pertanian agar manfaatnya dapat dirasakan langsung masyarakat. Jajaran pemerintahan, pusat sampai daerah, ditantang untuk lebih mampu menerjemahkan hal abstrak dan berbau akademik dari strategi revitalisasi pertanian dan merealisasikannya.
Apabila Indonesia serius ingin melaksanakan target alokasi lahan pertanian abadi 15 juta hektar sawah dan 15 juta hektar lahan kering, maka pemerintah pusat perlu menjadi dirigen dari orkestra pemerintah daerah yang secara bersama melaksanakan peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pangan dan pertanian strategis lain.
Beberapa langkah memang mulai dijalankan, seperti pengembangan sistem penyuluhan pertanian terpadu dengan melibatkan tenaga terdidik yang tidak hanya fokus pada pangan pokok, tetapi lebih menyeluruh pada subsektor lain di lapangan.
Apabila setiap daerah otonom mampu menjalankan "urusan wajib" dalam hal ketahanan pangan dan menjadi salah satu kriteria keberhasilan kepala daerah, seharusnya tidak dijumpai lagi anak bergizi buruk.
Pada keadaan inilah revitalisasi pertanian pasti bukan retorika belaka karena telah menjadi pengganda pendapatan yang berkontribusi pada pemberantasan kemiskinan. Semoga.
No comments:
Post a Comment