Mengukur Kinerja dari Angka Ekspor
Indonesia sesungguhnya sudah menjadi negara yang mengarah ke basis industri. Sumbangan sektor industri pengolahan (migas dan nonmigas) memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto tertinggi dibandingkan dengan sektor lain.
i masa kepemimpinannya, Menteri Perindustrian Fahmi Idris dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengukur kinerjanya melalui angka-angka yang dihasilkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Bagi Fahmi, hanya angka-angka yang menunjukkan maju atau tidaknya negara ini. Tolok ukur keberhasilan diperlihatkannya melalui data BPS tahun 2006. Kontribusi sektor industri terhadap PDB nasional menduduki urutan pertama, yakni 28,05 persen, terdiri dari industri minyak dan gas (migas) 5,2 persen dan nonmigas 22,85 persen.
Sumbangan total ekspor nonmigas tahun 2006 mencapai 79,50 juta dollar AS. Pada periode yang sama tahun 2005, angkanya 66,428 juta dollar AS. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor migas yang hanya 21,18 juta dollar AS (2006) dan 19,23 juta dollar AS (2005).
Sementara itu, salah satu indikator yang kerap digunakan untuk menyoroti kinerja Menteri Perdagangan (Menperdag) adalah peningkatan ekspor. Data BPS menunjukkan, total nilai ekspor secara konsisten terus meningkat sejak tahun 2004. Tahun 2006, total nilai ekspor untuk pertama kalinya menembus 100 miliar dollar AS atau tumbuh 17,55 persen dibandingkan tahun 2005.
Ekspor migas tahun lalu tumbuh 10,17 persen dari 19,2 miliar dollar AS tahun 2005 menjadi 21,18 miliar dollar AS tahun 2006. Sedangkan ekspor nonmigas tumbuh 19,6 persen dari 66,4 miliar dollar AS menjadi 79,5 miliar dollar AS.
Menurut Menperdag, pertumbuhan ekspor bukan semata terjadi karena peningkatan harga komoditas, tetapi juga peningkatan volume ekspor.
Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa peningkatan ekspor produk-produk primer atau berbasis sumber daya alam (SDA) sangat terdongkrak oleh tingginya harga komoditas itu di pasar dunia.
Ekspor karet dan produk karet, misalnya, tumbuh 59,7 persen. Pertumbuhan ekspor tinggi juga dialami minyak sawit (16,9 persen), tembaga (60,4 persen), batu bara (38,6 persen), emas (213 persen), serta kertas dan karton (59,7 persen).
Pertumbuhan ekspor nonmigas yang tinggi diakui Menperdag terutama disebabkan permintaan pasar dunia yang meningkat sehingga harga-harga komoditas pun naik. Di sisi lain, melemahnya permintaan dalam negeri, terutama pada semester I 2006, juga menyebabkan beralihnya penjualan ke pasar ekspor.
Dalam laporan kinerja Departemen Perdagangan awal tahun ini, Menperdag menjelaskan, kapasitas dalam negeri untuk mengisi peluang pasar ekspor memang harus diperbaiki. Perbaikan kapasitas dalam negeri itu antara lain harus dilakukan dengan peningkatan investasi, perbaikan prasarana fisik maupun prasarana lunak, serta pembenahan isu-isu per sektor.
Peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri itu tidak dapat dilakukan oleh otoritas perdagangan. Kerja sama lintas sektoral serta koordinasi dengan pemerintah daerah mutlak dibutuhkan untuk itu.
Terkait dengan peningkatan ekspor, secara internal Departemen Perdagangan melakukan pembenahan fasilitasi perdagangan, yakni prosedur ekspor/ impor serta pemberdayaan eksportir.
Secara eksternal, negosiasi dan diplomasi perdagangan luar negeri gencar dilakukan. Penjajakan peluang pasar ekspor juga dilakukan dengan peningkatan promosi, pameran, dan misi dagang.
Infrastruktur "memble"
Sumbangan sektor industri memang begitu besar. Namun, dari tahun ke tahun kendala yang dihadapi pelaku industri tampaknya semakin berat. Padahal, maju atau tidaknya industri di Indonesia menjadi tanggung jawabnya.
Fahmi tidak menampik begitu banyaknya kendala di sektor industri. Pertumbuhan dan perkembangan industri bisa bagus atau tidak sangat bergantung pada beberapa sektor utama.
Pertama, infrastruktur. Sarana infrastruktur yang paling memprihatinkan di republik ini, menurut Fahmi, adalah ketersediaan gas, listrik, sarana jalan, pelabuhan laut maupun udara, dan telekomunikasi. "Beberapa pabrik hengkang disebabkan oleh kondisi infrastruktur yang tidak bisa diharapkan lagi," kata Fahmi.
Kedua, hambatan berasal dari perbankan. Hambatan lainnya yang sering menekan perkembangan industri adalah penyelundupan walaupun belakangan ini sudah mulai serius ditangani Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi terkait lainnya.
Masalah ketenagakerjaan juga sering kali merisaukan dunia industri. Yang tak kalah pentingnya, menurut Fahmi, hambatan terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum. Dunia usaha sangat merasakan kendala kepastian hukum manakala terjadi persengketaan. Acapkali penyelesaian persengketaan dilakukan jauh dari aturan kepastian hukum.
"Penyelesaian yang terjadi di kalangan dunia usaha, baik persengketaan yang terjadi di lingkungan perusahaan maupun antarperusahaan, justru jauh dari kepastian hukum," kata Fahmi.
Hambatan lainnya adalah perizinan usaha dan tidak sinkronnya kebijakan fiskal. Padahal, kebijakan fiskal yang tepat merupakan insentif bagi masuknya investasi di suatu negara.
Menurut Fahmi, masalah kebijakan fiskal kerap diangkat dalam sidang kabinet. Namun, jika mengacu pada Undang-Undang Penanaman Modal yang peraturan pemerintahnya belum ada, kebijakan-kebijakan fiskal juga belum bisa diterapkan untuk memacu laju pertumbuhan sektor riil.
"Kita harus berpulang pada ketentuan perundangannya. Cukup mendukung atau tidaknya, kita tak bisa sembarangan menerapkannya. Jadi, dibandingkan dengan berbagai negara yang telah menerapkan kebijakan fiskal untuk menarik dan mengembangkan investasi, kebijakan fiskal kita sesungguhnya sudah jauh ketinggalan," ujar Fahmi.
Meski demikian, Fahmi meyakini bahwa prospek industri sesungguhnya tetap bagus. Prospek industri agro dia nilai sudah luar biasa. Misalnya, komoditas cokelat. Di pasar global, kebutuhan cokelat mencapai 4 juta ton per tahun. Sementara kemampuan suplai hanya 3,3 juta ton per tahun.
Melihat tingkat kebutuhannya, peluang meraih pasar dunia sangat terbuka. Belum lagi, kebutuhan industri lainnya, seperti karet dan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Apalagi, jika pelaku industri berkonsentrasi mengembangkan turunan dari hasil sumber daya alam itu.
Fahmi mengaku optimistis target pertumbuhan industri nonmigas sebesar 7,9 persen dapat dicapai. Namun, target pertumbuhan sekali lagi sangat bergantung pada sektor-sektor utama yang selama ini dirasakan sebagai penghambat pertumbuhan industri.
"Sehebat apa pun, masuknya investor ke Indonesia tidak akan terjadi kalau kebutuhan pendukung, seperti gas, listrik, dan sarana jalan yang efisien, tidak tersedia. Faktor kecepatan dan ketepatan yang dibutuhkan investor sangat ditentukan oleh suplai dan kondisi infrastruktur yang ada," kata Fahmi.
Fahmi memandang solusi atas persoalan ketersediaan gas hanya bisa dicapai dengan pencarian sumur-sumur baru dan juga investor yang baru. Selain itu, sistem pendekatan bagi hasil atas kerja sama antara pemerintah dan investor harus diubah.
"Sekarang ini sistem bagi hasilnya masih mengikuti aturan lama, perbandingannya 85 persen untuk pemerintah sedangkan investor cuma 15 persen," ujar Fahmi.
Karena gas sangat dibutuhkan, investor tidak mau memasok ke dalam negeri. Mereka lebih tertarik menjual gas ke luar negeri karena harga ekspor lebih tinggi. Supaya mereka mau melakukan eksplorasi, sistem pendekatan bagi hasilnya harus diubah.
"Setiap permasalahan dan kritikan terhadap kinerja Departemen Perindustrian, saya berupaya mencarikan solusinya. Soal gas, misalnya, saya langsung meminta kepada rekan saya, menteri ESDM, untuk bisa mencari solusinya," kata Fahmi. (OSA/DAY)
No comments:
Post a Comment