Saturday, June 30, 2007

Dari Ideologi sampai Praksis Kebijakan

Oleh Bustanul Arifin

Sejak harga minyak bumi dunia melambung di atas 70 dollar AS per barrel, wacana energi alternatif yang berasal dari bahan hayati (bioenergi) berkembang sangat pesat.

Hampir seluruh negara di dunia yang memiliki lahan pertanian berusaha melakukan riset untuk merumuskan kebijakan dan merancang rekayasa teknologi dan melaksanakan mimpi bioenergi. Negara penghasil jagung dan tebu mengarahkan kebijakannya pada produksi etanol, sedangkan produsen kelapa sawit dunia fokus kepada bahan bakar diesel atau yang umum dikenal dengan biodiesel.

Indonesia pun tidak ketinggalan melakukan hal yang sama. Beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah menemukan formula dan komposisi bahan bakar nabati yang ideal bagi kondisi bahan baku produksi komoditas pertanian, seperti kelapa sawit, pohon jarak pagar atau jarak kaliki, tebu, jagung, dan ubi kayu.

Banyak pula badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta nasional telah melakukan langkah yang lebih nyata, misalnya merancang beberapa inisiatif untuk mewujudkan teknologi yang berbasis bioenergi.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan dua kebijakan penting tentang energi alternatif ini. Kebijakan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN atau biofuel).

Sebagai suatu peraturan yang bersifat ke dalam, Inpres Nomor 1/2006 itu diberikan kepada 15 pejabat negara: Menteri Koordi- nator (Menko) Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, dan Menteri Perindustrian.

Kemudian, Menteri Perdagangan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Menteri Negara BUMN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, gubernur, dan bupati/wali kota.

Tema instruksi yang dikeluarkan adalah: "mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai bahan bakar lain".

Sempat terdapat diskusi terbuka yang agak ramai bahwa beberapa instansi yang sangat relevan dalam penyediaan dan pemanfaatan BBN ini tidak termasuk yang memperoleh instruksi dari Presiden, misalnya Menteri Pendidikan Nasional yang seharusnya mampu mengembangkan kurikulum tentang energi alternatif.

Menko Kesra, yang seharusnya mampu mengaitkan pengembangan BBN dengan upaya penanggulangan kemiskinan, atau bahkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dapat berperan dalam kebijakan pertanahan atau tata guna lahan yang mendukung pengembangan BBN dan sebagainya.

Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penyediaan atau pengembangan energi alternatif ini tidaklah mudah sebagaimana diuraikan dalam artikel ini.

Tantangan itu bersifat ideologis atau pemikiran ilmiah, terutama persaingan pangan versus energi (atau tepatnya antara kebutuhan manusia vs kebutuhan mesin), kontroversi ramah lingkungan dari bioenergi sampai kepada dimensi praksis kebijakan untuk menyatukan derap langkah segenap instansi pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan yang telah digariskan.

Pangan vs energi

Tantangan ideologis ini mulai terasa sejak setahun terakhir dan semakin nyata pada tahun 2007. Pertumbuhan permintaan biofuel dunia yang sangat besar dan sama sekali di luar dugaan telah melambungkan harga minyak sawit mentah (CPO) dunia dan membuat sengsara konsumen minyak goreng di dalam negeri.

Berdasarkan data terbaru dalam Commodity Market Review Bank Dunia per Juni 2007, harga CPO dunia telah melampaui 772 dollar AS per ton, suatu rekor tertinggi dalam 23 tahun terakhir.

Konsumsi rapeseed di pasar global, substitusi paling dekat CPO sebagai bahan baku biofuel, juga sangat signifikan dalam kenaikan harga CPO di atas 60 persen dibandingkan dengan harga rata-rata 478 dollar AS pada tahun 2006.

Dampak di dalam negeri telah dirasakan masyarakat luas, terutama oleh kelompok miskin, karena harga minyak goreng masih sangat tinggi dan berkisar Rp 9.000 per kilogram walaupun pemerintah telah berusaha menurunkannya.

Sulit terbayangkan apabila harga-harga minyak nabati dunia terus melambung dan pasti memengaruhi struktur pasar dalam negeri di negara-negara berkembang.

Sebenarnya, apabila negara mampu merumuskan aransemen kelembagaan yang lebih beradab, kenaikan harga CPO dunia itu justru dapat memberikan wind- fall profit bagi petani kelapa sawit, bukan menjadi beban seperti sekarang.

Di Eropa, masyarakat yang semula menyambut baik target-target biofuel juga mulai mempertanyakannya secara kritis. Target penyediaan biodiesel telah ditetapkan meningkat secara berkala dari 2 persen pada tahun 2006 menjadi 6 persen pada tahun 2010 dan 20 persen pada tahun 2020.

Tentu saja target-target tersebut telah diikuti dengan tambahan pemberian subsidi sebesar 45 euro per hektar kepada petani untuk memproduksi biofuel. Di Eropa, tanaman yang cocok untuk pengembangan biofuel adalah rapeseed yang mampu mencapai produktivitas 3-3,5 ton per hektar.

Konversi yang umum dilakukan adalah satu ton rapeseed mampu memproduksi 415 kilogram biodiesel sehingga satu hektar lahan mampu menghasilkan 1,45 ton bahan bakar nabati ini.

Singkatnya, kebutuhan areal untuk biofuel (terutama dari rapeseed) di Eropa adalah 26 juta hektar, yang berarti akan nyaris mengubah seluruh areal tanaman pangan menjadi tanaman biofuel. Apabila skenario di atas menjadi kenyataan, berarti penyediaan pangan akan mengalami ancaman yang sangat serius.

Para ahli pertanian di AS juga mulai mempertanyakan argumen "ramah lingkungan" yang diharapkan setelah konsumsi minyak bumi dikurangi dan diganti dengan biofuel.

Apabila dunia saat ini menghadapi pemanasan global karena tingginya emisi karbon dari pemakaian energi oleh industri dan alat transportasi, konversi kepada biofuel pasti bukan jawaban linier yang mampu mengurangi pemanasan global.

Logika sederhananya adalah bahwa dengan "membakar" minyak kelapa sawit, rapeseed, jagung, tebu, atau minyak jarak adalah mengembalikan kembali gas karbon yang dengan susah payah ditambat oleh tumbuhan untuk diubah menjadi buah, batang, atau biji.

Artinya, konversi penggunaan BBM kepada BBN justru dapat berkontribusi lebih besar pada fenomena pemanasan global dan perubahan iklim dunia.

Profesor David Pimentel (Universitas Cornell) dan Profesor Tad Patzek (Universitas California-Berkeley) telah melakukan penelitian mendalam dan sampai pada kesimpulan bahwa produksi jagung untuk keperluan etanol justru memerlukan tambahan 29 persen energi dari BBM dibandingkan dengan potensi biofuel yang dihasilkan.

Demikian pula, untuk memproduksi biomas kayu justru memerlukan tambahan 57 persen energi dari BBM dibandingkan dengan potensi biofuel yang dihasilkannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka debat publik tentang dampak biofuel terhadap nasib penyediaan pangan dan perubahan iklim masih akan terus berkembang ramai. Skeptisme para peneliti pangan dan pejuang lingkungan hidup untuk mengatasi pemanasan global adalah tantangan besar bagi mereka yang bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.

Tantangan praksis kebijakan

Praksis kebijakan pengembangan bioenergi di Indonesia juga mengalami tantangan yang tidak ringan. Berdasarkan target-target yang digariskan dalam "Blueprint Energi Nasional", tahun 2007 ini akan dihasilkan biodiesel sebesar 100 ribu kiloliter, dari 13,2 juta kiloliter kebutuhan solar di dalam negeri.

Sektor pertanian diharapkan mampu menyediakan biodiesel lebih besar dari cetak biru (blueprint) tersebut, yaitu sebesar 132.000 kiloliter, yang berasal dari minyak sawit 125.000 dan jarak pagar 7.000 kiloliter.

Target-target tersebut meningkat secara gradual sampai 785.000 kiloliter biodiesel pada tahun 2010, yang berasal dari minyak sawit 471.000 kiloliter dan 314.000 kiloliter dari jarak pagar.

Beberapa langkah yang dilakukan berbagai instansi pemerintah di tingkat pusat (baca: proyek) pengembangan biofuel juga telah dilakukan. Pencanangan dan peresmian juga dilakukan oleh pejabat, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.

Bahkan, beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah secara eksplisit membuat instruksi untuk memperluas areal kelapa sawit dan jarak pagar.

Apakah praksis kebijakan pengembangan biofuel ini hanya dijadikan justifikasi untuk mengon- versi hutan produksi sebagai penambat karbon utama dan sumber keanekaragaman hayati bagi pelestarian lingkungan hidup, maka sejarahlah yang akan mencatatnya.

Tantangan sumber penyediaan biofuel dari tanaman lain di Indonesia juga tidak kalah beratnya. Produksi gula tahun 2006 baru tercatat 2,3 juta ton, yang tentu saja sangat jauh dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi tahunan yang telah mendekati 4 juta ton.

Terlalu naif apabila produksi gula untuk keperluan pangan yang masih kurang tersebut justru akan dikonversi untuk keperluan energi. Demikian pula, produksi ubi kayu sebesar 20 juta ton masih cukup jauh untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Apalagi ubi kayu dan jarak pagar memang bukan komoditas unggulan karena agronomisnya yang "rakus" hara tanah. Implikasinya adalah peluang pengembangan secara massal pasti sangat terbatas jika tidak disertai perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pertanahan yang memadai.

Namun, pemerintah memang diberi mandat untuk melaksanakan amanat rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjamin keberlanjutan hidupnya. Kata kuncinya adalah kredibilitas dan wibawa lembaga publik untuk secara bijaksana mempertimbangkan untung-rugi dari praksis kebijakan yang diambilnya.

Prof Dr Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila dan Ekonom Senior di Institute for Natural and Regional Resources (INRR), Bogor

No comments: