Monday, June 4, 2007

EPA dan Harapan Investasi Jepang

Oleh : Purwadi Raharjo

Ketua Komisi Dagang dan Investasi Pusat Informasi dan Pelayanan PKS di Jepang

Wakil Presiden baru saja kembali dari kunjungannya ke Jepang untuk membicarakan kelanjutan Economics Partnership Agreement (EPA). Perundingan kerja sama ekonomi Jepang-Indonesia yang sudah dijajaki sejak tahun 2003 ini tampaknya masih akan berjalan dengan alot. Pihak Jepang menginginkan adanya jaminan pasokan ekspor gas alam cair (LNG), padahal produksi gas alam ini akan dialihkan hanya untuk keperluan dalam negeri Indonesia.

Tawaran pemerintah Indonesia agar Jepang melakukan investasi dalam eksplorasi gas alam, malah dijawab dengan tawaran pembuatan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia yang tentunya dengan pelaksana dari Jepang. Kelihatannya Jepang ingin memanfaatkan kesempatan tersebut, sebab selama ini memang ada perusahaan Jepang yang sedang mengincar tender proyek PLTN yang menjadi program jangka panjang Indonesia itu.

Sementara itu, pihak Indonesia berharap kenaikan jumlah investasi dari Jepang di Indonesia bisa tercapai dengan adanya EPA ini. Konon dalam suatu pertemuan dengan Wakil Presiden di Tokyo, para pengusaha Jepang telah setuju untuk meningkatkan investasi. Namun demikian, perlu dipahami bahwa dalam budaya bisnis orang Jepang, kadang pernyataan yang menunjukkan itikad baik demi menyenangkan lawan bicara, belum tentu segera dilaksanakan sampai ada persetujuan hitam di atas putih dengan penjadwalan yang jelas. Apakah para pengusaha Jepang itu benar-benar akan memasukkan sejumlah investasi ke Indonesia setelah EPA ini?

Permasalahan investasi
Kenyataannya, menurut laporan hasil riset yang diterbitkan oleh Mizuho Research Institute bulan Februari 2007 lalu, masih ada beberapa persoalan yang mengganjal terkait dengan iklim investasi sekarang. Menurut JETRO Jakarta Center, persoalan-persoalan tersebut bahkan tidak saja dirasakan oleh perusahaan yang telah melakukan investasi Indonesia. Kini juga sudah menjadi rahasia umum bahwa para perusahaan induk di Jepang dan perusahaan-perusahaan yang belum membuat cabang juga sudah menghadapi problem investasi ini, sehingga mereka memilih negara lain sebagai tujuan investasi atau malah menarik investasi dari Indonesia. Kendala investasi itu adalah, pertama soal perpajakan. Sebagian besar perusahaan Jepang di Indonesia, mengalami permasalahan pajak yang hampir sama disebabkan oleh pemeriksaan pajak yang bertele-tele, selain masalah keterlambatan pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) yang lebih dari setahun. Pengembalian PPN yang lambat dalam jangka waktu lama, berdampak buruk pada cash flow perusahaan, sebab investor harus melakukan investasi tambahan lagi yang tadinya dipandang tidak perlu. Sementara dalam masalah pemeriksaan pajak, selain memakan biaya yang besar untuk satu kali pemeriksaan, kadang ada kasus pemeriksaan ulang pajak tahun sebelumnya padahal sudah selesai ditentukan.

Kedua ialah masalah upah buruh dan sistem ketenagakerjaan. Tuntutan standar upah buruh yang naik seiring dengan tingginya angka inflasi, banyaknya angka kerusuhan buruh, sulitnya aturan PHK buruh, dan pesangon yang relatif tinggi tanpa peduli alasan dari keluar perusahaan, telah menjadi keluhan-keluhan utama para pengusaha Jepang di Indonesia. Parahnya lagi di Indonesia, kenaikan upah buruh tidak bisa dibarengi dengan kenaikan jumlah produksi atau nilai tambah, sehingga daya saing produk di pasar internasional menurun. Hal ini karena dalam perusahaan sulit dibuat iklim untuk meningkatkan keterampilan para pekerja secara serius.

Banyak faktor yang menyebabkan sulitnya pendidikan keterampilan ini, tapi pada dasarnya, menurut laporan ini, terletak pada peraturan penetapan upah minimum dan sistem ketenagakerjaan yang terlalu menekankan perlindungan buruh secara berlebihan. Kondisi seperti ini dianggap terlalu memanjakan para buruh dan menyebabkan tidak tumbuhnya inisiatif untuk bekerja keras.

Itulah sebabnya perubahan regulasi yang menyangkut perburuhan diusulkan agar dibenahi, supaya bisa terjadi peningkatan produksi dan keterampilan tenaga kerja. Namun, kenyataannya perubahan regulasi ini tidaklah mudah karena selalu ada perlawanan dari serikat buruh yang kuat di Indonesia. Pada April 2006, ketika akan diajukan perubahan RUU Ketenagakerjaan pun, terjadi demonstrasi besar-besaran dan perlawanan di pabrik-pabrik. RUU itu pun akhirnya dibatalkan dengan alasan khawatir akan menimbulkan masalah ketidakstabilan sosial. Di samping kedua hal yang telah dijelaskan di atas, laporan tersebut menulis ada beberapa masalah lain seperti: mengalirnya penyelundupan barang dan pemalsuan terutama pada produk pakaian dan barang elektronik. Masalah lainnya adalah perubahan nilai mata uang yang kadang berubah drastis, kecilnya insentif untuk investasi, dan kurangnya infrastruktur.

Yang harus dilakukan
Bagi investor Jepang, sejujurnya Vietnam lebih menarik sebagai negara tujuan investasi meskipun negara ini belum membuar EPA dengan Jepang. Sebenarnya di Vietnam juga ada beberapa persoalan terkait dengan iklim investasi, tapi pemerintah di sana secara aktif melakukan perbaikan. Hasil perbaikannya pun telah dirasakan para investor Jepang.

Bukti dari langkah tersebut bisa dilihat lewat program yang bernama Vietnam-Japan Joint Initiative yang dibuat bersama antara pemerintah kedua negara dan perusahaan Jepang mulai April tahun 2003. Program ini mencanangkan 125 kegiatan yang meliputi pendidikan untuk industri pendukung dan tenaga manusianya, hak cipta, peraturan investasi luar negeri, pajak dan sebagainya. Pada November 2005, menurut hasil monitoring, telah tercapai sebanyak 85 persen atau sebanyak 105 item. Setelah berhasil pada tahap satu ini, sekarang akan menyelesaikan tahap kedua untuk 46 item sisanya sampai akhir 2007.

Di Indonesia sebenarnya hal yang mirip telah dilakukan dengan dibentuknya High Level Public/Private Sector Joint Forum on Investment pada April 2004 dan dikeluarkan Strategic Investment Action Plan (SIAP). Di dalam SIAP terdapat 29 item, dan 118 pasal, berkaitan dengan pajak dan cukai, buruh, infrastruktur, dukungan industri kecil dan menengah serta daya saing industri. Pada November 2006 lalu, memang dilaporkan 70 persen telah ada perkembangan, tapi ternyata kalau dilihat detailnya, banyak yang masih berupa 'dalam perencanaan', 'dalam persiapan', atau 'menunggu tanda tangan', tidak sampai pada perubahan nyata iklim investasi.

Di tengah persaingan untuk mengundang investasi di antara dengan Cina, negara-negara ASEAN dan India, jika pemerintah Indonesia tidak menangkap suara-suara dari industri untuk serius melakukan perbaikan, maka sulit bagi Indonesia untuk bisa dipilih sebagai negara tujuan investasi Jepang. Sebaliknya, jika perbaikan ini benar-benar dirasakan para investor Jepang di Indonesia, bisa jadi tanpa EPA pun akan mengalir investasi dari Jepang. Namun sekarang, sekalipun pemerintah Jepang menyetujui EPA, tampaknya sulit bagi pengusaha-pengusaha Jepang untuk menambah banyak investasi, kecuali mungkin di bidang energi. Di bidang lain, kiranya tidak ada yang mau rugi.

Ikhtisar
- Pembuatan Economics Patnership Agreement tidak lantas membuat para pengusaha di Jepang tertarik untuk langsung menanamkan modalnya di Indonesia.
- Kalangan investor di Jepang masih merasakan banyaknya kendala yang harus dihadapi saat hendak masuk ke Indonesia.
- Vietnam telah menjadi tujuan alternatif yang menarik bagi para investor Jepang .
- Agar investasi Jepang bisa masuk dengan signifikan, Indonesia harus memperbaiki berbagai kebijakan yang terkait investasi.

No comments: