APA KATA MEREKA
Indonesia Masih Perlu Belajar!
Spekulasi mengenai terjadinya krisis ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Di satu sisi, mereka melihat volatilitas arus modal jangka pendek sudah menjadi fenomena yang sulit dibendung pada era globalisasi dan liberalisasi sistem finansial global sekarang ini.
amun, di sisi lain, mereka melihat ada titik lemah di dalam perekonomian sendiri yang memang perlu dibenahi. Pertanyaannya, mampukah Indonesia memetik pembelajaran dari krisis yang lalu?
Berikut komentar mereka:
Kepala Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu
Derasnya aliran modal masuk ke kawasan emerging market di Asia, termasuk di Indonesia, memiliki kisaran yang mirip dengan keadaan sebelum krisis 1998. Secara global risiko tersebut ditambah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan ketidakpastian harga-harga komoditas primer di pasar dunia.
Namun, keadaan ekonomi emerging market Asia hari ini sangat berbeda dengan tahun 1998. Pada kondisi hari ini, telah terjadi perbaikan nyata di berbagai bidang ekonomi dibandingkan pada masa sebelum krisis tahun 1998.
Misalnya, kecukupan cadangan devisa meningkat, kepatuhan aturan prudensial perbankan, kebijakan fiskal yang kuat, pengelolaan utang yang dinamis. Di samping itu, negara-negara ASEAN + 3 juga terus meningkatkan kerja sama keuangannya untuk mendeteksi secara dini, melakukan langkah preventif dan membuat instrumen jaga-jaga.
Terakhir di forum tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) di Kyoto, negara-negara ASEAN + 3 bersepakat untuk meningkatkan kerja sama tersebut dalam bentuk pemantauan dini, multilateralisasi reserve pooling, perluasan pasar obligasi, informasi aliran modal swasta, dan integrasi pasar modal.
Kerja sama tersebut bahkan kini diperluas hingga masalah- masalah perjanjian pajak dan penghindaran pajak berganda serta operasi kepabeanan. Kesemua hal itu merupakan langkah- langkah antisipasi untuk menangkis berbagai gejolak di pasar uang dan pasar modal global.
Negara-negara ASEAN + 3 sepakat bahwa gelombang masalah ketidakseimbangan global tersebut tidak akan dapat diselesaikan oleh masing-masing negara sendiri, tetapi memerlukan kerja sama dan kebersamaan regional.
Pengamat Pasar Modal Lin Che Wei CFA
Pertanyaan apakah Indonesia akan mengalami krisis kedua sebenarnya tidaklah tepat. Sama seperti mencoba bertanya, apakah Indonesia akan menjadi korban tsunami kedua. Tidak ada yang tahu dan dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah Indonesia telah belajar dari krisis dan apakah sekarang ini Indonesia telah mempunyai kebijakan yang dapat meminimalisasi dampak dari krisis. Ini bisa dijawab dengan melihat kemampuan Indonesia dalam melakukan pencegahan krisis (crisis prevention) dan melakukan penyelesaian apabila krisis sampai terjadi (crisis resolution).
Kemampuan Indonesia untuk melakukan pencegahan dari krisis ditentukan oleh tiga hal. Hal itu adalah struktur permodalan dari bisnis, pengawasan dari pengawas pasar modal, dan kemampuan dari pasar untuk mendisiplinkan diri.
Dari struktur permodalan bisnis, kita melihat bahwa pemisahan antara pemilik bank dan debitor sudah lebih baik dibandingkan apabila kita melihat struktur kepemilikan bank.
Meskipun kita melihat ada konglomerat (misalnya Sinar Mas) yang berhasil kembali mendapatkan lisensi untuk memiliki bank, sebagian konglomerat lainnya, seperti Group Salim, Gadjah Tunggal, dan Raja Garuda Mas, tak lagi memainkan peranan yang signifikan dalam kepemilikan bank. Sebagai akibatnya, struktur permodalan dari perbankan maupun kondisi perbankan Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun 1998.
Selain itu, tingkat rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) daripada perbankan Indonesia juga sudah jauh lebih tinggi sehingga kemampuan bank di dalam meredam kemungkinan terjadinya kejutan menjadi jauh lebih baik.
Selain itu, struktur permodalan dari bisnis pun relatif lebih baik karena adanya kecenderungan dari konglomerat untuk berfokus pada core kompetensi mereka. Selain itu, kemampuan konglomerat untuk melakukan ekspansi di luar core bisnis mereka juga sangat terbatas
Kemampuan fungsi pengawasan dari pengawas pasar modal, meskipun sudah mengalami perbaikan cukup signifikan, masih harus lebih ditingkatkan. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya kecanggihan dan makin beragamnya instrumen di pasar modal.
Seiring dengan makin diperketatnya pengawasan pasar modal di dunia (post-Enron Sarbanes-Oxley Act), pengawasan pasar modal di Indonesia juga harus mengejar ketertinggalannya dari standar internasional ini. Hal ini penting untuk mewujudkan kepercayaan pasar terhadap integritas pasar modal di Indonesia.
Disiplin pasar di Indonesia juga sudah makin membaik. Jika sebelum krisis perusahaan-perusahaan dengan mudah dapat melakukan manipulasi di pasar dan melakukan praktik-praktik rekayasa finansial, sekarang sudah tidak lagi terlalu leluasa.
Investor pun menjadi lebih canggih dalam memilah-milah pemberian permodalan kepada kelompok bisnis yang terpercaya dan atau sebaliknya yang dianggap manipulatif. Hal ini terlihat dari makin berkurangnya aktivitas konglomerat-konglomerat ’hitam’ di dalam kegiatan pembiayaan pasar modal.
Hal yang perlu dicatat adalah masih tingginya strategic listing oleh perusahaan publik. Dalam tiga tahun terakhir, hampir 40 persen dari perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa Efek Jakarta merupakan strategic listing.
Di pihak lain, kemampuan Indonesia untuk melakukan resolusi terhadap krisis juga sudah sangat meningkat, baik dengan tersedianya jaring pengaman finansial (financial safety net), dengan makin tangguhnya BI sebagai lender of last resort, maupun dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang merupakan Institusi Deposit Insurance.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie
Dari perilaku bangsa, kita sekarang ini sedang menyaksikan di negara kita adanya semacam complacency (sikap terlalu cepat berpuas diri) dari pada para pemimpin yang menyaksikan stabilnya dan tumbuhnya indikator- indikator ekonomi makro di tengah-tengah banyaknya rakyat miskin dan rakyat yang menganggur.
Pertumbuhan PDB, nilai tukar yang stabil atau bahkan cenderung menguat, peningkatan indeks harga saham gabungan, inflasi yang rendah dan berbagai indikator ekonomi makro yang bagus bisa berjalan bersama- sama dengan kemiskinan dan pengangguran yang luar biasa.
Terutama kalau yang diberlakukan sangat condong pada mekanisme pasar yang primitif tanpa intervensi oleh pemerintah sama sekali. Tidak heran, sejak lama ada sebutan bahwa mekanisme pasar yang fundamentalistis seperti itu akan menghasilkan survival of the fittest (hanya yang terkuat yang bertahan).
Orientasi pada pertumbuhan PDB tanpa memedulikan bagaimana pemerataannya dalam PDB yang tumbuh terus dan mazhab yang beranggapan bahwa the best government is the least government (pemerintahan terbaik adalah yang paling sedikit campur tangan) adalah mazhab yang sangat keji terhadap sesama anak bangsa walaupun sudah lebih dari 60 tahun merdeka.
Sebab, tak mungkin memberdayakan rakyat yang miskin dan sangat miskin, yang kemiskinannya parah dan sudah berlangsung bergenerasi-generasi tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menerima apa pun tanpa protes, tanpa adanya campur tangan oleh pemerintah.
Dari sisi perilaku, mereka yang ada di pucuk paling atas, yang sebenarnya hanya merupakan titik saja dari piramida yang tajam, berperilaku sebagai warga dunia.
Dengan koneksi internasionalnya, bersama-sama dengan pemodal asing, mereka mempunyai kesempatan yang tidak terbatas untuk menggunakan sumber daya apa saja yang terdapat di Indonesia, termasuk sumber daya finansial yang dihimpun dari rakyat Indonesia melalui BEJ, baik dalam bentuk modal ekuiti maupun dalam bentuk modal pinjaman atau obligasi. Mereka inilah kosmopolit tulen sehingga sangat membela globalisasi.
Soal good governance, itu tidak ada di birokrasi pemerintahan. Namun, ini tidak disebabkan tidak cukupnya pegawai negeri. Sebaliknya, jumlah pegawai negeri terlampau banyak. Good governance yang dikaitkan dengan perilaku bangsa yang tidak berubah memang tidak akan berubah ke arah perbaikan selama pendapatan tidak mencukupi, tetapi birokrat diberi kekuasaan. Karena untuk menyambung hidup memang tidak ada cara lain kecuali mengomersialkan kekuasaannya. (tat)
No comments:
Post a Comment