Saturday, June 2, 2007

PELARIAN MODAL
IMF: Harus Diantisipasi

Seperti halnya para menteri ekonomi Indonesia dan para pemimpin Bank Indonesia, Senior Resident Representative Dana Moneter Internasional (IMF) Stephen Schwartz juga berpendapat sangat kecil kemungkinan perekonomian Indonesia jatuh kembali ke dalam krisis finansial sekarang ini.

Arus modal masuk dan keluar dalam jumlah besar dan mendadak yang sangat dipengaruhi oleh perubahan sentimen pasar ini, menurut dia, sudah menjadi suatu kenyataan hidup yang harus diterima dan diantisipasi oleh Indonesia yang menurut dia selama ini sangat diuntungkan oleh integrasi perdagangan dan liberalisasi modal internasional.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Stephen Schwartz di kantor perwakilan IMF di Jakarta, Selasa (29/5).

Seberapa rentan Indonesia untuk terpuruk kembali ke dalam krisis kalau melihat beberapa kemiripan situasi sekarang dengan menjelang krisis 1997?

Beberapa menteri keuangan pada pertemuan di Kyoto memang mengungkapkan keprihatinan terhadap situasi arus modal yang menunjukkan gejala mirip sebelum krisis 1997. Beberapa negara Asia, karena prospek pertumbuhan yang kuat, mengalami arus modal masuk yang sangat besar, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, arus modal mulai masuk sejak akhir 2005, yaitu setelah kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan suku bunga, serta terbentuknya tim ekonomi kabinet baru, yang juga meningkatkan kepercayaan pasar.

Situasi global sendiri saat itu ditandai oleh pasar modal yang sangat likuid, di mana investor memburu pendapatan dan keuntungan yang tinggi. Dengan suku bunga yang rendah di Jepang, Eropa, dan juga AS, mereka melihatsejumlah negara, seperti Indonesia, sangat menarik.

Ditambah lagi dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang bagus dan manajemen makroekonomi yang kuat. Investasi langsung asing (FDI) sebenarnya juga meningkat, tetapi jauh lebih lambat dari investasi portofolio.

Arus modal masuk dalam jumlah besar ini merupakan tantangan bagi kebijakan moneter, sebab selalu ada risiko jika uang menyerbu secara cepat, maka ia juga bisa keluar secara cepat. BI dan pemerintah harus siap menghadapi hal seperti ini.

Kami percaya, ekonomi Indonesia dan juga beberapa perekonomian Asia lain sekarang ini dalam kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan sebelum krisis. Jadi meski ada penarikan dana, kemungkinan krisis tetap tidak terjadi.

Keyakinan itu didasarkan pada apa?

Pertama, di seluruh penjuru Asia, cadangan devisa sekarang sangat tinggi. Di Indonesia, mencapai 50 miliar dollar AS lebih, tertinggi dalam sejarah, meski Indonesia baru membayar lebih cepat utang ke IMF.

Cadangan devisa ini bisa dipakai untuk membantu meredam dampak terhadap nilai tukar dan ekonomi jika terjadi pembalikan arus modal secara mendadak. Cadangan devisa di negara Asia lain, seperti China, Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura, bahkan lebih tinggi lagi, dan semua ini cukup untuk mencegah jatuh (big collapse)-nya nilai tukar.

Faktor lain adalah sistem nilai tukar yang fleksibel yang diberlakukan oleh banyak negara di kawasan ini. Menjelang krisis dulu, sebagian besar negara menerapkan sistem nilai tukar yang sangat kaku (rigid). Indonesia waktu itu menerapkan crawling peg, di mana pergerakan nilai tukar dibatasi pada kisaran band yang sempit dengan nilai tukar dimungkinkan mengalami depresiasi bertahap.

Kini Indonesia menerapkan managed float (mengambang terkendali), di mana dimungkinkan BI melakukan intervensi guna mencegah nilai tukar rupiah berfluktuasi terlalu tajam, tetapi tetap menyerahkan pada pasar untuk menentukan nilai tukar.

Sistem ini membuat lebih mudah bagi BI me-manage nilai tukar, dan kalau sampai terjadi arus modal keluar, akan terjadi depresiasi, tetapi BI tak perlu menggunakan seluruh cadangan devisa untuk menopang nilai tukar.

Pada krisis 1997/1998, banyak bank sentral yang dipaksa menguras cadangan devisanya untuk menyelamatkan nilai tukar mata uangnya sampai mereka harus mengemis paket bantuan IMF, termasuk Korea dan Indonesia.

Selain cadangan devisa dan sistem nilai tukar yang fleksibel, faktor ketiga adalah membaiknya kerangka kerja pengawasan perbankan. Sebelum krisis 1997, ada arus modal masuk dalam jumlah besar ke sistem perbankan Asia.

Dengan pengawasan bank yang sangat lemah, tak sedikit pinjaman bank ini yang mengalir ke sektor yang sangat tak produktif dalam perekonomian, seperti sektor properti yang spekulatif.

BI dan otoritas pengawas lainnya di seluruh Asia sekarang ini menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Bukan hanya melalui perbaikan pengawasan, tetapi juga memperkuat aturan kehati- hatian sehingga sistem perbankan juga lebih kuat.

Keempat, neraca keuangan sektor korporasi sekarang ini juga jauh membaik, dengan adanya penerapan standar akuntansi dan transparansi yang lebih baik.

Terakhir, ketersediaan data. Sebelum krisis 1997/1998, banyak negara tak memublikasikan data secara timely-bases. Sebagai contoh, menjelang krisis 1997 di Thailand publik tidak tahu berapa cadangan devisa bank sentral sehingga ketika akhirnya mereka tahu, reaksi pasar juga sangat mendadak.

Sekarang, jika Anda melihat website BI dan sumber lain, termasuk IMF, semua data tersedia, sehingga pasar bisa bereaksi lebih awal jika dirasa ada masalah.

Intinya, Indonesia dengan perekonomian yang terbuka memang rentan terhadap pergerakan modal Arus modal masuk bisa sangat besar dan sangat volatile. Itu tantangan buat para pembuat kebijakan.

Sampai di mana batas Indonesia mampu menampung serbuan deras arus modal jangka pendek? Apalagi arus modal jangka pendek ini diperkirakan belum mencapai puncaknya dan masih akan tetap kencang, mungkin hingga 2008?

Trennya memang masih akan berlanjut. Kita tak tahu sampai kapan itu akan berlanjut. Tergantung perubahan persepsi investor. Arus modal akan sedikit mengalami pengereman dengan menurunnya suku bunga, karena sejak tahun lalu BI menurunkan suku bunga dengan BI Rate kini 8,75 persen, turun dari 12,75 persen pada akhir tahun 2005.

Menurut kami, BI perlu me-manage situasi sekarang ini melalui tiga cara. Pertama, dengan membiarkan mata uang mengalami apresiasi jika pasar memang bergerak ke sana.

Kedua, jika tendensi apresiasi nilai tukar berlanjut, ini akan berpengaruh positif ke inflasi. Menguatnya rupiah akan membantu menekan export cost dan inflasi. Ini selanjutnya akan memberikan ruang lebih lebar lagi untuk terjadinya penurunan suku bunga. Ketiga, melalui sedikit intervensi di pasar untuk menekan volatilitas.

Itu semua tantangan bagi bank sentral, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga emerging market lain yang juga menghadapi masalah yang sama.

Selain me-manage arus modal masuk seperti yang saya sebutkan tadi, Indonesia juga perlu terus memperkuat fundamental dan menjaga stabilitas makroekonomi dengan menjaga defisit anggaran dalam kisaran yang aman.

Selain itu, memperbaiki kebijakan untuk mendorong prospek pertumbuhan ekonomi, memperkuat sistem perbankan dan sektor korporasi, serta terus memperkuat cadangan devisa.

Di beberapa negara lain, cadangan devisa terlalu tinggi, dengan China di atas 1 triliun dollar AS. Untuk Indonesia, sedikit di atas 50 miliar dollar AS cukup reasonable. Tetapi, jika BI ingin memperkuat lagi cadangan devisa sebagai tambahan penahan terhadap kemungkinan penarikan modal, sekarang ini saat yang tepat untuk melakukan itu sehingga jika ada penarikan modal, Indonesia sudah lebih kuat.

Mengenai keinginan pemerintah agar arus modal di pasar uang juga menggerakkan sektor riil?

Memang yang kita inginkan adalah semakin banyak arus modal portofolio yang mengalir ke FDI. Ini tantangan besar bagi reformasi iklim investasi. Pemerintah harus membuat kemajuan dalam hal Undang-Undang (UU) Investasi, UU Pajak, dan isu perburuhan.

Sejumlah besar dana jangka pendek di pasar uang juga mengalir ke SBI. Apakah ini tidak berisiko, apalagi dengan volume SBI dan uang beredar yang sudah menggelembung sedemikian besar?

Pengamatan kami, bahkan selama periode terjadinya pembalikan arus modal secara mendadak di emerging market pun, investor cenderung menaruh dananya di pasar saham dan pasar obligasi. Tentu saja agak volatile, tetapi tampaknya banyak dari investor ini yang juga melihat ke horizon yang lebih panjang.

SBI, karena sebagian besar berjangka hanya sebulan, cenderung volatile sehingga Anda benar, jika terjadi perubahan persepsi investor, dana di SBI yang pertama akan ditarik.

Beberapa negara lain berusaha menerapkan kontrol devisa (capital control), seperti yang dilakukan Thailand pada Desember 2006 atau Malaysia pada krisis 1997. Thailand melakukan itu karena menghadapi masalah yang sama, yakni serbuan arus modal masuk dalam jumlah besar dan penguatan nilai tukar mata uang yang terlalu cepat.

Tetapi, persepsi pasar terhadap langkah Thailand ini sangat negatif. Akibatnya, pasar saham kolaps. Sekarang, selain karena faktor politik, perekonomian Thailand mengalami perlambatan.

Negara-negara lain harus melihat pelajaran dari Thailand ini bahwa kalau mereka mau menerapkan kontrol devisa, itu harus dilakukan dengan hati-hati sekali karena bisa berdampak sangat buruk pada sentimen pasar.

Tetapi, yang terpenting adalah pemain pasar sekarang ini sangat cerdik. Mereka tahu bagaimana menyiasati kontrol modal seperti itu. Uang akan selalu menemukan jalannya sendiri. Jadi, sangat sulit untuk menghentikan aliran modal seperti ini.

Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah negara seperti Indonesia selama ini sangat diuntungkan oleh integrasi ke perdagangan global dan pasar modal internasional. Jadi, mau tidak mau Anda juga harus bisa hidup dengan volatilitas seperti itu. Karena sudah kenyataan hidup. Modal mengalir seperti gelombang pasang besar, kemudian keluar.

Jika Anda menutup diri (dengan menerapkan kontrol modal) dan ini tentu saja salah satu opsi yang bisa dilakukan, itu sama saja seperti mengingkari manfaat dari integrasi global yang sangat membantu perekonomian Indonesia dan negara lain selama ini.

Jadi, kesimpulannya krisis tidak akan terjadi? Seberapa besar probabilitasnya?

Saya tak tahu probabilitasnya, tetapi sangat, sangat kecil. Yang harus diingat, pada saat bersamaan, semua emerging markets rentan menghadapi perubahan sentimen pasar yang tajam.

Dan dengan pergerakan modal global dewasa ini, jika terjadi shock di salah satu bagian dunia, itu bisa dengan cepat menular ke bagian dunia lainnya. Jadi, pembuat kebijakan harus mampu memanfaatkan waktu yang baik ini untuk memperkuat diri.

(sri hartati samhadi)

No comments: