Paket Kebijakan Ekonomi, Nyaring Bunyinya
Rizal Ramli
Pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi baru. Artinya, dalam dua tahun terakhir akan ada lima paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah.
Kelima paket itu ialah Paket Insentif 1 Oktober 2005; Paket Kebijakan Infrastruktur Februari 2006; Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Februari 2006; Paket Kebijakan Sektor Keuangan Juli 2006; dan paket kebijakan yang akan dikeluarkan.
Banyaknya paket jelas menguras energi, waktu, dan anggaran guna menyusun, menyosialisasikan, dan menelaah pelaksanaannya. Pertanyaannya, seberapa efektif dampak paket-paket itu terhadap ekonomi nasional?
Hasil telaah paket-paket sebelumnya amat mengejutkan. Dampak paket itu atas perekonomian nyaris tidak signifikan. Penyebab utamanya adalah komponen paket-paket itu amat lemah dan berbagai tindakan yang terkandung di dalamnya tidak sebombastis nama paketnya. Ada beberapa catatan dari paket-paket sebelumnya.
Sangat birokratik
Paket Kebijakan Sektor Keuangan Juli 2006 dan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Februari 2006 ternyata amat administratif dan birokratik, kecuali inisiatif perubahan undang-undang, seperti UU Penanaman Modal dan UU Perpajakan. Bagi kalangan bisnis dan masyarakat, dampak paket itu tidak jelas.
Dibandingkan Paket Deregulasi Finansial Oktober 1988 (Pakto 88), paket-paket yang dikeluarkan pemerintah akhir-akhir ini malah kurang pantas disebut "Paket Kebijakan". Kita tahu, Pakto 88 berdampak luas terhadap ekonomi, struktur, dan kompetisi di sektor finansial.
Sebagian besar kegiatan dalam paket-paket itu merupakan pekerjaan rutin birokrasi yang sudah pernah dilaksanakan. Aneka kegiatan, seperti penyempurnaan peraturan, desain web dan sistem informasi, dialog dengan dunia usaha, melakukan koordinasi antarinstansi, melakukan fungsi pengawasan, sosialisasi peraturan, dan sebagainya amat dominan dalam paket itu. Padahal, aneka kegiatan itu lebih bersifat rutin dan sering dilakukan oleh para pejabat. Bahkan, efektivitas dan manfaat kegiatan-kegiatan itu amat rendah, lebih banyak merupakan ajang penghabisan anggaran dan public relation (PR).
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Februari 2006 dan Paket Kebijakan Sektor Keuangan Juli 2006 lebih merupakan kompilasi kegiatan rutin yang telah, masih, dan akan dilakukan di aras kementerian atau direktorat jenderal teknis. Semangat paket itu berbeda dengan paket "New Deal" yang dikeluarkan Roosevelt tahun 1930-an. Saat itu berbagai kegiatan dalam paket "New Deal" diturunkan dari visi dan strategi yang jelas. Roosevelt menetapkan tiga pilar kebijakan, yaitu relief, recovery, and reform (3Rs). Pilar itu lalu diterjemahkan ke berbagai program, seperti kebijakan makroekonomi yang ekspansif; Civilian Conservation Corps (CCC), yaitu program kerja bagi pemuda penganggur; mendirikan Work Project Administration (WPA), yaitu sejenis lembaga untuk membangun infrastruktur publik yang menyerap jutaan tenaga kerja; dan aneka kegiatan lain yang memiliki sasaran jelas.
Sementara Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Februari 2006 dan Paket Kebijakan Sektor Keuangan Juli 2006 hanya merupakan kompilasi usulan birokrasi, bukan turunan kebijakan yang jelas (bureaucratic-driven, bukan policy-driven).
Tidak ada inisiatif baru yang signifikan untuk meningkatkan investasi, lapangan kerja, atau meningkatkan kinerja dan produktivitas, termasuk UKM. Di manapun, kehadiran paket kebijakan amat identik dengan inisiatif baru atau langkah terobosan. Namun, dari paket-paket yang dikeluarkan pemerintah hingga kini, inisiatif baru dan langkah terobosan nyaris tidak ada.
Pemerintah proaktif
Pendekatan yang mengutamakan iklim usaha adalah pendekatan neoliberal ala Washington Consensus yang berlandaskan prinsip, peran pemerintah harus seminimum mungkin, sekadar menciptakan iklim usaha yang kondusif, selebihnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Negara-negara Asia Timur yang berhasil mengejar ketertinggalan dari Barat percaya, selain mekanisme pasar, pemerintah dapat berperan proaktif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Melihat kenyataan ini, pemerintah tidak memiliki leadership dan kemampuan manajerial untuk bertindak proaktif dan mengenali kondisi konkret di lapangan. Ini berbeda dengan pimpinan ekonomi di negara-negara Asia Timur. Munculnya keputusan itu terutama disebabkan (1) bias cara berpikir neoliberal ala Washington Consensus; dan (2) merupakan cermin ketidakmampuan leadership dan manajerial.
Keputusan itu sama sekali tidak menjawab masalah dan hambatan yang dihadapi sektor riil, seperti infrastruktur, pasokan energi, bahan baku, kebutuhan kredit, pendanaan, dan lainnya.
Juga tidak ada upaya untuk meningkatkan pertumbuhan kredit ke sektor riil dan mengakhiri pertumbuhan semu perbankan. Kita tahu, saat ini net interest margin (NIM) perbankan amat tinggi, sekitar 6,0 persen (tertinggi di dunia). Tetapi, NIM yang tinggi itu bukan karena peningkatan kredit. Ia tumbuh karena bank-bank itu menjadi pasien negara yang masih terus diinfus lewat bunga bank rekap, SBI, dan SUN. Pertumbuhan semu perbankan ini harus segera diakhiri karena mengandung risiko amat besar bagi industri perbankan maupun perekonomian nasional.
Dari evaluasi itu, menjadi jelas, mengapa janji dan program ekonomi SBY-JK yang ambisius tetapi achievable, masih jauh dari sasaran dan target yang ingin dicapai. Maka, tidak aneh, paket-paket itu hanya "nyaring bunyinya, tetapi kosong isinya".
Memang harus diakui, kehadiran paket-paket itu di satu sisi ada baiknya karena bisa menjadi pedoman dan instrumen pengawas birokrat dalam melakukan tugas rutinnya. Upaya mengompilasi kegiatan-kegiatan rutin menjadi bentuk paket juga patut dihargai meski masih jauh dari sebuah paket kebijakan.
No comments:
Post a Comment