Tuesday, February 26, 2008

Toleransi JBI Ditiadakan untuk Kurangi Kerusakan



Jakarta, Kompas - Departemen Perhubungan menyatakan akan meniadakan toleransi jumlah berat yang diizinkan atau JBI pada akhir 2008 untuk mengurangi kerusakan jalan.

Pada akhir Maret atau paling lambat April 2008, toleransi JBI juga akan diturunkan hingga 50 persen.

”Kami akan membahas penurunan toleransi JBI antara Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, dan pemerintah daerah. Nanti implementasinya akan didahului sosialisasi karena pasti ada pro- kontra,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan, Iskandar Abubakar, Senin (25/2) di Jakarta, dalam jumpa pers khusus mengenai toleransi JBI.

Saat ini toleransi JBI kendaraan sebesar 60 persen. Artinya, jalan yang dengan desain 10 ton diperbolehkan untuk dilewati truk bermuatan hingga 16 ton. Dalam hitungan teknis toleransi 60 persen, merusak jalan 6,5 kali lebih cepat.

Hari Rabu (13/2), Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto kembali mendesak Departemen Perhubungan untuk meniadakan toleransi JBI bagi truk. Pasalnya, hal itu bisa merusak jalan lebih cepat.

Iskandar mengatakan, peniadaan toleransi JBI tidak dapat dilakukan seketika karena ada konsekuensi berupa pendistribusian muatan, yang berdampak kepada pertambahan jumlah angkutan.

”Ketika Departemen Perhubungan menurunkan toleransi JBI dari 70 persen ke 60 persen (Februari 2007), langsung terjadi pemblokiran jembatan timbang di Jawa Tengah oleh empat truk. Itu contoh adanya pro-kontra. Tetapi, kami menghendaki toleransi terus diturunkan karena melihat potensi kerusakan jalan akibat kelebihan beban,” ujar Iskandar.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Departemen Perhubungan Soeroyo Alimoeso menambahkan, truk-truk angkutan yang sering melanggar toleransi JBI adalah pengangkut semen, pupuk, besi, dan keramik.

”Kami juga meminta pihak-pihak yang ada di jalan untuk tidak memberhentikan truk yang nyata-nyata tanpa kesalahan. Sebab terkadang hal itu (pungli) menimbulkan peningkatan biaya transportasi yang tidak perlu,” ujar Soeroyo.

Standar mutu rendah

Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Agus Taufik mengingatkan, kerusakan jalan tidak semata-mata diakibatkan beban kendaraan yang berlebih. Namun, disebabkan pula oleh rendahnya standar mutu pengerasan jalan dan sistem drainase jalan yang buruk.

Dalam penelitian tahun 2005-2006 di 28 provinsi, kerusakan jalan ternyata 44 persen diakibatkan tidak standarnya mutu pengerasan jalan, 40 persen disebabkan drainase jalan yang buruk, baru sisanya diakibatkan pelanggaran JBI.

”Di ruas pantai utara (pantura) Jawa, mungkin kerusakan jalan sebesar 50 persen disumbang beban kendaraan yang berlebih, baru 50 persennya disumbang konstruksi yang buruk. Tetapi, bagaimana dengan jalan di Indonesia bagian timur, yang meskipun jarang dilewati kendaraan, tetapi dalam enam bulan sudah hancur,” tutur Agus Taufik. (RYO)

Temasek Pilih Melepas BII


Penjualan Akan Dilakukan Sebelum Tahun 2010
Selasa, 26 Februari 2008 | 01:38 WIB

Jakarta, Kompas - Perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura, Temasek Holding, menilai penjualan Bank Internasional Indonesia lebih menguntungkan ketimbang dimerger dengan Bank Danamon.

Pemegang saham pengendali Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia (BII), yakni Fullerton Financial Holding Pte Ltd, yang merupakan afiliasi Temasek, dalam rilisnya Senin (25/2) di Jakarta mengungkapkan, keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi terhadap opsi-opsi yang tersedia.

Fullerton berencana menyelesaikan proses penjualan BII sebelum tenggat, yaitu akhir tahun 2010.

Keputusan Temasek melepas BII adalah respons atas aturan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) yang dirilis Bank Indonesia dua tahun lalu.

BI memberikan tiga opsi bagi pihak yang saat ini menjadi pemegang saham mayoritas di lebih dari satu bank, yakni melepas kepemilikannya di bank lain, memerger bank-bank yang dimilikinya, atau membentuk perusahaan induk.

Dalam rilisnya, Temasek tidak menjelaskan secara rinci alasan bahwa menjual BII lebih menguntungkan ketimbang menggabungkannya dengan Danamon.

Namun, dalam rilis yang disampaikan Temasek pada pertengahan Desember 2007, perusahaan investasi itu menyatakan hanya akan memerger Danamon dan BII jika mendapatkan insentif pajak.

Kenyataannya, Direktorat Pajak pada pertengahan Februari 2008 memastikan tidak akan memberikan keringanan pajak penghasilan atas capital gain bila terjadi pengalihan harta dengan nilai pasar.

Ditjen pajak akan tetap mengenakan PPh 30 persen. Padahal, insentif atas jenis pajak inilah yang sangat diharapkan perbankan.

Pengamat perbankan Iman Sugema menilai keputusan Temasek melepas BII lebih disebabkan oleh prospek yang kurang cerah dari bank terbesar keenam di Indonesia itu.

Per Desember 2007, laba bersih BII sebesar Rp 405 miliar, turun 36 persen dibandingkan 2006 yang senilai Rp 634 miliar. Dana pihak ketiga di BII juga tak bertumbuh, yaitu dari Rp 37,03 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 37 triliun pada akhir 2007.

Turun Rp 10

Pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia kemarin, harga saham BII tercatat Rp 320 per saham, turun Rp 10 dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya.

Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia (BI) Yang Ahmad Rizal menyatakan, belum menerima laporan dari Temasek, sebab saat ini ia sedang berada di Vietnam.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah tidak mempermasalahkan keputusan Temasek yang tidak jadi memerger bank terbesar kelima (Danamon) dan keenam (BII) di Indonesia tersebut, selama ketentuan SPP terpenuhi. ”Keputusan itu tentu berdasarkan perhitungan bisnis mereka,” kata Halim.

Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), BI mendorong terjadinya merger antarbank dengan harapan jumlah bank berkurang.

Tidak terpengaruh

Menurut Manajemen Danamon dan BII, pilihan Temasek itu telah disampaikan kepada mereka.

Presiden Direktur Danamon Sebastian Paredes menjelaskan, pada masa datang pihaknya akan berkonsentrasi penuh pada rencana pertumbuhan organik.

Rencana tersebut mencakup peningkatan dan penguatan jaringan distribusi produk dan pelayanan, termasuk membuka 78 kantor cabang konvensional dan perbankan ritel baru, serta 41 kantor cabang Adira, untuk mendukung pertumbuhan di luar pulau Jawa dan Bali.

Guna mendukung pertumbuhan pendanaan mikro, kata Sebastian, akan dibuka pula 170 titik penjualan Danamon Simpan Pinjam (DSP).

Hal senada disampaikan Presiden Direktur BII Henry Ho. Ia menghargai keputusan Fullerton. ”Ini kepentingan pemegang saham dan tidak memengaruhi operasional BII sehari-hari. BII akan terus melakukan bisnis seperti biasa,” katanya menjelaskan. (FAJ)

Monday, February 25, 2008

Tiada Jalan Lain

Senin, 25 Februari 2008 | 01:22 WIB

A Tony Prasetiantono

Harga minyak benar-benar menembus 100 dollar AS per barrel, dan listrik mulai sering padam pertanda terjadinya krisis energi, solusi apa lagi yang masih tersisa? Menurut saya, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus ekstra berhemat.

Penghematan secara intensif merupakan agenda yang tak lagi bisa ditawar. Hak istimewa sebagai negara yang pernah dikaruniai rezeki minyak bumi sebenarnya sudah lama tak lagi kita miliki. Modal apa lagi yang bisa diandalkan untuk menikmati harga minyak murah dan boros energi? Semua sudah sirna dan kita harus memulai lembar baru kehidupan dengan berhemat, berhemat, dan berhemat. Tidak ada toleransi untuk memboroskan energi seperti dulu. Zaman sudah berubah.

Era minyak usai

Harus disadari, negeri ini bukan lagi penghasil minyak yang produktif. Dengan penduduk 225 juta, ironisnya, produksi minyak (lifting) kita hanya 910.000 barrel per hari. Bandingkan saat jaya pada dasawarsa 1980-an—saat penduduk kita 130 juta—produksi pernah mencapai puncak di level 1,6 juta barrel sehari. Bila dibuat rasio, kondisi sekarang sekitar sepertiga dibanding saat kita menikmati rezeki minyak.

Karena itu, tidak lagi relevan jargon ”Indonesia adalah negara minyak”, atau lebih konyol, ”sebagai negara minyak, adalah wajar jika harga minyak di Indonesia murah”. Pernyataan dan anggapan semacam ini sudah ketinggalan zaman. Benar, hingga kini kita masih menjadi negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), tetapi sebenarnya cuma ”numpang lewat”.

Secara substantif, sudah tak cukup relevan lagi kita hadir di sana. Dengan produksi hanya 910.000 barrel sehari, sementara konsumsi kita minimal 1,3 juta barrel sehari, berarti terjadi defisit setidaknya 400.000 barrel. Dalam kondisi puncak, konsumsi bisa mencapai 1,7 juta barrel sehari. Kalaupun Blok Cepu kelak menghasilkan 150 barrel sehari, kita masih tetap mengalami defisit dalam jumlah besar.

Kita sedikit beruntung memiliki gas, yang bisa mengompensasi defisit perdagangan minyak. Dengan memperhitungkan ekspor gas, neraca perdagangan migas kita masih surplus, meski cuma 75 juta dollar AS pada tahun 2007. Jumlah ini amat kecil mengingat neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) kita pada 2007 secara keseluruhan mencapai 40 miliar dollar AS. Ekspor mencapai rekor 113 miliar dollar AS dan impor 73 miliar dollar AS. Semua ini berkat rezeki kenaikan harga komoditas primer (migas, batu bara, timah, kelapa sawit, karet).

APBN defensif

Akibat defisit konsumsi minyak, keuangan pemerintah (APBN) menjadi amat terbebani. Presiden Yudhoyono sudah menyatakan, jika subsidi minyak terus diberikan tanpa solusi, nilainya akan membesar hingga Rp 250 triliun (Kompas, 22/2/2008). Padahal, volume belanja dalam APBN-P 2008 adalah Rp 926 triliun. Berarti, 27 persen belanja pemerintah hanya dialokasikan untuk menyubsidi BBM. Bagaimana mungkin APBN 2008 bisa menjadi stimulus fiskal jika dananya habis disedot subsidi BBM?

Pemerintah memperkirakan produk domestik bruto (PDB) 2008 akan mencapai Rp 4.288 triliun. Secara konvensional, penyumbang terbesar PDB adalah pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) atau belanja masyarakat yang mencapai 60 persen. Selanjutnya, belanja investasi (investment expenditure) dunia usaha swasta berkontribusi 24 persen, sedangkan belanja pemerintah (government expenditure) sebesar 9 persen. Sisanya, oleh neraca perdagangan internasional (trade balance).

Dengan komposisi semacam ini, APBN tidak lagi bisa diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. APBN hanya bisa berfungsi sebagai alat konsolidasi pertahanan agar kondisi perekonomian tidak kian memburuk. Ibarat tim sepak bola, APBN merupakan barisan defensif. Sedangkan untuk menjalankan strategi ofensif tinggal mengandalkan sektor swasta.

Adakah harapan sektor swasta? Meski sulit, tetap ada. Sebenarnya investasi sedang dalam mood membaik. Tahun 2007, realisasi investasi domestik (PMDN) mencapai Rp 35 triliun, jauh lebih baik dibanding Rp 21 triliun (2006) dan Rp 31 triliun (2005). Investasi asing (PMA) juga sejalan, yakni 10 miliar dollar AS (2007) dibanding enam miliar dollar AS (2006) dan sembilan miliar dollar AS (2005).

Realisasi PMDN dan PMA masih berpeluang meningkat mengingat tahun 2007 mencatat persetujuan (approval) dalam jumlah tinggi, yakni PMDN Rp 189 triliun dan 40 miliar dollar AS. Dengan kerja keras Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sedikit keberuntungan, mestinya sebagian angka persetujuan itu akan terwujud sebagai proyek-proyek yang akan berlanjut (carry over) pada tahun 2008.

Namun, itu baru akan terwujud jika Bank Indonesia (BI) berani memberi insentif, misalnya melanjutkan tren penurunan suku bunga. Kini BI Rate delapan persen, dan BI tampaknya gamang untuk menurunkan menjadi 7,75 persen. Padahal, baik BI maupun pemerintah sama-sama memproyeksikan BI Rate 7,50 persen.

Meski selalu berpotensi menyebabkan inflasi dan pelemahan rupiah, saya yakin penurunan suku bunga masih diperlukan sebagai insentif investasi. Lebih-lebih Fed Rate juga mengisyaratkan lanjutan penurunan suku bunga, dari level tiga persen menjadi 2,50 persen, bahkan 2,25 persen sebelum akhir tahun.

Strategi berhemat

Kita harus berani menempuh tindakan tidak populer, penghematan. Untuk menekan subsidi, pemerintah harus membatasi konsumsi, bukan dengan menetapkan kuota pembelian lima liter per hari dengan sistem kartu, tetapi cara yang lebih sederhana. Tetapkan saja mobil ber CC 1.800 ke atas harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax). Cara ini lebih mudah dijalankan dan jelas logikanya.

Menghadapi krisis energi, kita tidak sendirian. Seluruh dunia dicekam ketakutan yang sama. Energi BBM menjadi komoditas yang mulai tak terbeli (unaffordable). Seluruh dunia harus menempatkan mahalnya harga BBM menjadi musuh bersama (common enemy). Cara yang paling efektif adalah dengan berhemat dan prihatin. Tidak ada cara lain yang bakal efektif. Percuma, misalnya, berteriak-teriak agar China mengerem pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 11,4 persen. Bagaimana mau mengerem jika mereka masih punya tugas besar mengenyahkan pengangguran terbuka yang mencapai 9,5 persen, setara dengan 60 juta orang? Mana mungkin mereka mau?

Perlu disadari, kini dunia sudah berubah total, tidak lagi seperti tahun 1980-an saat rezeki minyak masih berlimpah. Kita tak lagi punya privilege karena era minyak kita sudah lama usai. Solusinya kini, tindakan penghematan. Memang bakal menyakitkan, tetapi tidak ada jalan lain.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

5 Februari 2008 | 01:22 WIB

A Tony Prasetiantono

Harga minyak benar-benar menembus 100 dollar AS per barrel, dan listrik mulai sering padam pertanda terjadinya krisis energi, solusi apa lagi yang masih tersisa? Menurut saya, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus ekstra berhemat.

Penghematan secara intensif merupakan agenda yang tak lagi bisa ditawar. Hak istimewa sebagai negara yang pernah dikaruniai rezeki minyak bumi sebenarnya sudah lama tak lagi kita miliki. Modal apa lagi yang bisa diandalkan untuk menikmati harga minyak murah dan boros energi? Semua sudah sirna dan kita harus memulai lembar baru kehidupan dengan berhemat, berhemat, dan berhemat. Tidak ada toleransi untuk memboroskan energi seperti dulu. Zaman sudah berubah.

Era minyak usai

Harus disadari, negeri ini bukan lagi penghasil minyak yang produktif. Dengan penduduk 225 juta, ironisnya, produksi minyak (lifting) kita hanya 910.000 barrel per hari. Bandingkan saat jaya pada dasawarsa 1980-an—saat penduduk kita 130 juta—produksi pernah mencapai puncak di level 1,6 juta barrel sehari. Bila dibuat rasio, kondisi sekarang sekitar sepertiga dibanding saat kita menikmati rezeki minyak.

Karena itu, tidak lagi relevan jargon ”Indonesia adalah negara minyak”, atau lebih konyol, ”sebagai negara minyak, adalah wajar jika harga minyak di Indonesia murah”. Pernyataan dan anggapan semacam ini sudah ketinggalan zaman. Benar, hingga kini kita masih menjadi negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), tetapi sebenarnya cuma ”numpang lewat”.

Secara substantif, sudah tak cukup relevan lagi kita hadir di sana. Dengan produksi hanya 910.000 barrel sehari, sementara konsumsi kita minimal 1,3 juta barrel sehari, berarti terjadi defisit setidaknya 400.000 barrel. Dalam kondisi puncak, konsumsi bisa mencapai 1,7 juta barrel sehari. Kalaupun Blok Cepu kelak menghasilkan 150 barrel sehari, kita masih tetap mengalami defisit dalam jumlah besar.

Kita sedikit beruntung memiliki gas, yang bisa mengompensasi defisit perdagangan minyak. Dengan memperhitungkan ekspor gas, neraca perdagangan migas kita masih surplus, meski cuma 75 juta dollar AS pada tahun 2007. Jumlah ini amat kecil mengingat neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) kita pada 2007 secara keseluruhan mencapai 40 miliar dollar AS. Ekspor mencapai rekor 113 miliar dollar AS dan impor 73 miliar dollar AS. Semua ini berkat rezeki kenaikan harga komoditas primer (migas, batu bara, timah, kelapa sawit, karet).

APBN defensif

Akibat defisit konsumsi minyak, keuangan pemerintah (APBN) menjadi amat terbebani. Presiden Yudhoyono sudah menyatakan, jika subsidi minyak terus diberikan tanpa solusi, nilainya akan membesar hingga Rp 250 triliun (Kompas, 22/2/2008). Padahal, volume belanja dalam APBN-P 2008 adalah Rp 926 triliun. Berarti, 27 persen belanja pemerintah hanya dialokasikan untuk menyubsidi BBM. Bagaimana mungkin APBN 2008 bisa menjadi stimulus fiskal jika dananya habis disedot subsidi BBM?

Pemerintah memperkirakan produk domestik bruto (PDB) 2008 akan mencapai Rp 4.288 triliun. Secara konvensional, penyumbang terbesar PDB adalah pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) atau belanja masyarakat yang mencapai 60 persen. Selanjutnya, belanja investasi (investment expenditure) dunia usaha swasta berkontribusi 24 persen, sedangkan belanja pemerintah (government expenditure) sebesar 9 persen. Sisanya, oleh neraca perdagangan internasional (trade balance).

Dengan komposisi semacam ini, APBN tidak lagi bisa diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. APBN hanya bisa berfungsi sebagai alat konsolidasi pertahanan agar kondisi perekonomian tidak kian memburuk. Ibarat tim sepak bola, APBN merupakan barisan defensif. Sedangkan untuk menjalankan strategi ofensif tinggal mengandalkan sektor swasta.

Adakah harapan sektor swasta? Meski sulit, tetap ada. Sebenarnya investasi sedang dalam mood membaik. Tahun 2007, realisasi investasi domestik (PMDN) mencapai Rp 35 triliun, jauh lebih baik dibanding Rp 21 triliun (2006) dan Rp 31 triliun (2005). Investasi asing (PMA) juga sejalan, yakni 10 miliar dollar AS (2007) dibanding enam miliar dollar AS (2006) dan sembilan miliar dollar AS (2005).

Realisasi PMDN dan PMA masih berpeluang meningkat mengingat tahun 2007 mencatat persetujuan (approval) dalam jumlah tinggi, yakni PMDN Rp 189 triliun dan 40 miliar dollar AS. Dengan kerja keras Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sedikit keberuntungan, mestinya sebagian angka persetujuan itu akan terwujud sebagai proyek-proyek yang akan berlanjut (carry over) pada tahun 2008.

Namun, itu baru akan terwujud jika Bank Indonesia (BI) berani memberi insentif, misalnya melanjutkan tren penurunan suku bunga. Kini BI Rate delapan persen, dan BI tampaknya gamang untuk menurunkan menjadi 7,75 persen. Padahal, baik BI maupun pemerintah sama-sama memproyeksikan BI Rate 7,50 persen.

Meski selalu berpotensi menyebabkan inflasi dan pelemahan rupiah, saya yakin penurunan suku bunga masih diperlukan sebagai insentif investasi. Lebih-lebih Fed Rate juga mengisyaratkan lanjutan penurunan suku bunga, dari level tiga persen menjadi 2,50 persen, bahkan 2,25 persen sebelum akhir tahun.

Strategi berhemat

Kita harus berani menempuh tindakan tidak populer, penghematan. Untuk menekan subsidi, pemerintah harus membatasi konsumsi, bukan dengan menetapkan kuota pembelian lima liter per hari dengan sistem kartu, tetapi cara yang lebih sederhana. Tetapkan saja mobil ber CC 1.800 ke atas harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax). Cara ini lebih mudah dijalankan dan jelas logikanya.

Menghadapi krisis energi, kita tidak sendirian. Seluruh dunia dicekam ketakutan yang sama. Energi BBM menjadi komoditas yang mulai tak terbeli (unaffordable). Seluruh dunia harus menempatkan mahalnya harga BBM menjadi musuh bersama (common enemy). Cara yang paling efektif adalah dengan berhemat dan prihatin. Tidak ada cara lain yang bakal efektif. Percuma, misalnya, berteriak-teriak agar China mengerem pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 11,4 persen. Bagaimana mau mengerem jika mereka masih punya tugas besar mengenyahkan pengangguran terbuka yang mencapai 9,5 persen, setara dengan 60 juta orang? Mana mungkin mereka mau?

Perlu disadari, kini dunia sudah berubah total, tidak lagi seperti tahun 1980-an saat rezeki minyak masih berlimpah. Kita tak lagi punya privilege karena era minyak kita sudah lama usai. Solusinya kini, tindakan penghematan. Memang bakal menyakitkan, tetapi tidak ada jalan lain.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Darurat Listrik, Teror PLN


Senin, 25 Februari 2008 | 01:20 WIB

Effnu Subiyanto

"Teror" psikologis PLN tampaknya belum akan reda. Dengan alasan gelombang laut yang tinggi membuat kapal-kapal pengangkut batu bara tidak bisa merapat, seluruh jaringan interkoneksi Jawa-Bali dinyatakan dalam kondisi darurat.

Defisit daya listrik saat beban puncak mencapai 1.000 MW, padahal yang berhasil diproduksi PLN hanya 15.000 MW dari kebutuhan 16.000 MW. Jika defisit berlanjut hingga 1.500 MW, pemerintah akan menerapkan status darurat nasional listrik diikuti dengan pemadaman bergilir mulai Kamis (21/2/2008).

Pada awal Desember 2007, PLN juga mengeluarkan red notice terkait meningkatnya konsumsi listrik DKI Jakarta sebesar 300 MW. PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok tidak mampu mengatasi kenaikan beban dan terancam overload. Mendekati akhir 2007, PLTU Tg Jati B berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan batu bara. Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN Ali Herman Ibrahim menjadi korban dicopot dari jabatan sejak 3 Januari 2008 lalu dipermanenkan dalam RUPSLB 8 Januari 2008.

Warning berkali-kali yang dikeluarkan PLN mengagetkan semua pihak. Karena sebagai penyedia tunggal energi listrik, tidak memiliki kompetitor, mengusung kebijakan PSO, PLN diharapkan memberi pelayanan terbaik kepada bangsa. Powerful-nya PLN bahkan membuat APBN bertekuk lutut dengan menggelontor subsidi Rp 42 triliun dari rencana Rp 29,8 triliun tahun ini, sebagai perbandingan anggaran TNI untuk pertahanan hanya Rp 36,4 triliun.

Namun, PLN ternyata mencederai kepercayaan rakyat. Amanah itu tidak berhasil diemban dengan baik. Kelengahan antisipasi PLN menghadapi perubahan iklim, menjadi titik utama masalah ini. Artinya, selama dekade ini, PLN belum melakukan evaluasi business plan menghadapi hal-hal force majeur. Implementasi manajemen risiko, sama sekali tidak dijalankan karena mengandalkan captive market 50 juta pelanggan tanpa bersusah payah. PLN dininabobokan dengan subsidi, regulasi, dan PSO. Kendati selalu merugi (Rp 1,3 triliun tahun 2007), publik segan mempertanyakan, bahkan eksekutif dibagikan tantiem setiap tahun sebagai bonus.

Rasio elektrifikasi

Energi listrik diyakini memiliki daya dukung fundamental terhadap pertumbuhan ekonomi. Melihat statistik, negara yang memiliki konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara dengan ekonomi kuat. Malaysia, misalnya, konsumsi listriknya 600 watt per orang, Jepang mencapai 1.874 watt per orang. Indonesia dengan rasio elektrifikasi 61 persen hanya mampu mengonsumsi listrik 108 watt per orang. Menariknya, ketika konsumsi listrik akan bergerak naik, PLN tidak mampu mengimbanginya.

Darurat listrik adalah pukulan telak PLN karena memiliki megaproyek 10.000 MW berbahan bakar utama batu bara. Pada tahun 2010, PLN harus mengoperasikan 39 PLTU baru yang akan mengonsumsi batu bara 50 juta ton per tahun. Jumlah ini luar biasa karena dalam sebulan minimal empat juta ton batu bara datang, dengan menggunakan tongkang ukuran 10.000 ton, akan hilir mudik 400 kapal dan dalam sehari akan merapat 13 kapal. Kompleksitasnya akan rumit dan harus sudah disiapkan secepatnya, kelangkaan batu bara sekarang adalah test-case sederhana.

PLTN

Berulangnya krisis batu bara mewacanakan pembangunan PLTN sebagai solusi. PLTN memang tidak memerlukan batu bara, tetapi uranium dan jumlahnya tidak berkapal-kapal seperti batu bara. Boleh jadi kelangkaan batu bara berkorelasi dengan rencana pendirian PLTN untuk mendapatkan legitimasi.

Padahal, bahan uranium-235 juga memiliki level risiko tidak kalah tinggi, belum radiasinya. Riset MIT (Massachussets Institute of Technology) dan World Nuclear Association 2006, PLTN seluruh dunia saat ini mengonsumsi uranium-235 mencapai 64.000 ton per tahun.

Baru-baru ini produsen uranium-235 terbesar dunia, yakni Australia dan Kazakhstan, menaikkan harga hingga 74,4 persen karena tingginya permintaan. Data Tullet Prebon Pk menyebutkan, harga uranium-235 semula 78 dollar AS per pound di pasar internasional, kini 136 dollar AS per pound. Dengan mengoperasikan PLTN biaya operasional PLN akan lebih mahal dibanding PLTU. Di sisi lain, menurut riset itu, bahan uranium-235 juga akan habis 30 tahun ke depan meski pertumbuhan konsumsi listrik 2,5 persen per tahun.

Dari kejadian darurat ini, perlu diperhatikan akar masalah, PLN sebaiknya memperluas kapasitas penyimpanan batu bara. Jika hari-hari normal kapasitas penyimpanan 1-1,5 bulan operasi, menghadapi musim badai laut tidak ada salahnya meningkatkan stok batu bara untuk empat bulan operasi.

Effnu Subiyanto Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta; Staf di PT Semen Gresik Tbk


Iklan Rokok Dilawan


Diupayakan Pemasangan Gambar
Senin, 25 Februari 2008 | 00:57 WIB

Jakarta, Kompas - Yayasan Kanker Indonesia dengan bantuan Southeast of Asia Tobacco Control Alliance terus memperjuangkan pemasangan gambar-gambar ”mengerikan” akibat merokok pada kemasan rokok. Upaya ini ditujukan untuk menandingi iklan rokok yang sangat gencar kepada semua kalangan.

”Iklan rokok menjadi daya tarik utama anak-anak mencoba merokok. Kini persentase anak yang merokok sekitar 24-33 persen dari populasi,” kata Koordinator Penanggulangan Tembakau pada Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Soeminar Siregar dalam Sarasehan Pemantapan Program Bebas Rokok di Lingkungan Sekolah, Sabtu (23/2) di Jakarta. Kegiatan tersebut dilaksanakan terkait peringatan Hari Kanker Sedunia 2008 dengan tema ”Udara Bebas Asap Rokok bagi Anak Indonesia”.

Menurut Soeminar, sebanyak 90 persen pasien kanker yang meninggal sebelumnya berperilaku merokok. Merokok dengan kandungan nikotin sebagai racun alkaloid di dalam tembakau dinyatakan bersifat adiktif atau menyebabkan ketagihan. Dalam jangka panjang, nikotin menekan kemampuan otak untuk terus merasakan kenikmatan dengan kadar yang semakin tinggi.

Dari hasil pengumpulan pendapat masyarakat, menurut Soeminar, saat ini diperoleh empat kriteria gambar mengerikan akibat merokok untuk diperjuangkan agar dicantumkan pada setiap kemasan rokok, yaitu gambar tubuh perokok yang rusak, gambar paru-paru antara yang rusak dan yang sehat, gambar kanker pada mulut, dan gambar yang menunjukkan penyakit impotensi pada laki-laki.

”Namun, usulan pemasangan gambar-gambar yang mengingatkan bahaya merokok ini masih mendapat tentangan dari sejumlah kalangan termasuk pemerintah,” kata Soeminar. Padahal, dengan pemasangan gambar ini diharapkan anak-anak akan berpikir ulang jika akan mencoba-coba merokok.

Larangan membeli

Usulan lain kepada pemerintah yang juga belum disetujui, lanjut Soeminar, adalah pelarangan usia anak di bawah 18 tahun untuk membeli atau menjual rokok.

Kategori usia anak 14-15 tahun yang merokok saat ini tercatat 24 persen dan pada usia 17-18 tahun sebesar 33 persen. Namun, ditegaskan Soeminar, Indonesia termasuk peringkat tertinggi di dunia untuk kategori usia anak 5-9 tahun yang merokok.

Data pada tiga tahun yang lalu, persentase anak usia 5-9 tahun yang merokok 0,4 persen. ”Tetapi, sekarang jumlahnya melonjak menjadi 1,4 persen dari total populasi anak-anak usia itu,” ujarnya.

Karena tingginya jumlah perokok pada anak-anak, lanjut Soeminar, pemerintah didorong supaya lebih serius menangani pertambahan jumlah anak-anak yang merokok.

Pada sarasehan tersebut, Yulma, seorang pengajar SMPN 19 Jakarta, mengatakan, sekolahnya sejak 31 Oktober 1990 dinyatakan bebas rokok dan dikuatkan dengan surat keputusan Gubernur DKI. Dari keputusan tersebut kemudian digalakkan program Guru-guru Menjadi Panutan Tidak Merokok (GMPTM).

Sunarno dari SMAN 68 Jakarta mengatakan, untuk mengurangi dampak iklan rokok, sekolahnya mengeluarkan larangan perusahaan rokok menjadi sponsor kegiatan siswa. (NAW)

Perdagangan


Konsep Waralaba Belum Dipahami
Senin, 25 Februari 2008 | 00:55 WIB

Bandung, Kompas - Konsep bisnis waralaba atau franchise belum sepenuhnya dipahami oleh para pelaku usaha di bidang ini. Saat ini masih ada kerancuan antara franchise dan peluang bisnis atau business opportunity.

Akibatnya, pemilik usaha berani mengklaim usahanya sebagai waralaba, padahal belum siap baik dari segi manajemen maupun modal. Ketidaktahuan dan ketidaksiapan ini dapat membuat pemberi waralaba maupun penerima waralaba merugi.

Kondisi ini dikhawatirkan dapat merusak citra bisnis waralaba karena masyarakat tak lagi percaya untuk berinvestasi di bidang ini. Hal ini diungkapkan General Manager Consultant Agency The Bridge Andrianus Widjaja dalam ”Info Franchise Expo: Empowering National Franchise” di Bandung, Minggu (24/2).

Selama menjadi konsultan bisnis waralaba selama lima tahun, Andrianus menyatakan lebih dari 50 persen kliennya belum memahami konsep waralaba.

”Franchise dan kesempatan bisnis masih dianggap sama. Padahal, kesempatan bisnis tidak mempunyai aturan seketat franchise dan tidak ada royalti fee,” ujar Andrianus.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengatakan, bisnis waralaba dapat membuka banyak lapangan kerja, khususnya bagi pekerja berpendidikan menengah ke bawah.

Anang mengharapkan Undang-Undang No 42/2007 tentang Waralaba dapat memperjelas konsep soal waralaba. Dalam UU itu, persyaratan untuk menjadi usaha waralaba sudah tercantum, dan setiap usaha waralaba diwajibkan memiliki surat tanda pendaftaran waralaba.

Persyaratan itu adalah adanya ciri khas, terbukti dapat memberikan keuntungan, memiliki standar pelayanan, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkelanjutan, serta hak kekayaan intelektual yang sudah didaftarkan.

Selain itu, AFI juga berusaha terus mengadakan pameran dan seminar waralaba untuk menggiatkan bisnis ini di berbagai daerah. Anang memperkirakan pertumbuhan bisnis waralaba tahun ini sebesar 20 persen.

Dari 390 unit peluang bisnis yang ada, sebanyak 90 unit diperkirakan akan beralih menjadi waralaba pada tahun ini. (A04)

Porsi Kredit UMKM Menurun


Perbankan Agresif Menyalurkan
Kredit untuk Korporasi
Senin, 25 Februari 2008 | 01:23 WIB

Jakarta, Kompas - Porsi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM terhadap total kredit perbankan nasional terus menurun sepanjang tahun 2007. Fenomena ini terjadi karena tahun lalu perbankan lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor korporasi yang berskala besar.

Kredit korporasi meliputi pembiayaan untuk proyek infrastruktur, energi, minyak, dan gas. Untuk itu pertumbuhan kredit UMKM harus dipercepat agar bisa menyaingi kredit korporasi.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per akhir Desember 2007, posisi kredit UMKM secara nasional mencapai Rp 502,79 triliun atau 50,2 persen terhadap total kredit perbankan nasional yang sebesar Rp 1.000,02 triliun.

Porsi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan akhir 2006 yang mencapai 52 persen. Kredit UMKM merupakan pinjaman dengan plafon di bawah Rp 5 miliar. Adapun pinjaman di atas Rp 5 miliar disebut kredit korporasi.

Kredit UMKM terdiri dari kredit menengah (pinjaman Rp 500 juta-Rp 5 miliar), kredit kecil (Rp 50 juta-Rp 500 juta), dan kredit mikro (di bawah Rp 50 juta).

Bank jauh dengan UMKM

Dalam setahun terakhir, kredit korporasi tumbuh lebih cepat mencapai 30,2 persen dibandingkan dengan kredit UMKM yang meningkat 22,5 persen.

Ekonom BRI, Djoko Retnadi, akhir pekan lalu mengatakan, tahun ini perbankan cukup agresif membiayai proyek-proyek berskala korporasi seperti jalan tol, pembangkit listrik, dan perkebunan.

”Bank semakin jauh dari kredit UMKM yang sifatnya produktif. Sebenarnya ada program pemerintah, yakni kredit untuk rakyat atau KUR, yang bisa mendorong kredit UMKM. Namun, ini perlu waktu karena baru enam bank yang boleh ikut KUR,” kata Djoko.

Turunnya porsi kredit UMKM dalam setahun belakangan ini kontras dengan kondisi selama tahun 2002-2006. Selama periode ini, porsi kredit UMKM terus meningkat.

Hingga kini, sebenarnya penetrasi pembiayaan ke segmen UMKM tergolong rendah. Dari 45 juta pelaku UMKM di negeri ini, baru sekitar 15 juta yang mendapatkan pembiayaan dari bank.

BI dalam tiga tahun terakhir telah berupaya mendorong pertumbuhan kredit UMKM dengan melonggarkan aturan, seperti kriteria penilaian kolektibilitas kredit dan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).

Tahun ini, BI merencanakan untuk menurunkan ATMR KUR menjadi 30 persen. Selain itu, BI juga mewajibkan bank melakukan pembinaan terhadap pelaku UMKM agar usaha mereka berkesinambungan dan tidak berhenti di tengah jalan.

Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, menambahkan, dalam triwulan IV 2007 perbankan sangat agresif menyalurkan kredit korporasi. Inilah yang memicu meningkatnya porsi kredit korporasi.

Kredit infrastruktur dan energi memang menjadi program pemerintah. Kredit UMKM memiliki kelebihan dan kelemahan di mata kalangan bankir.

Kelemahannya, bank membutuhkan jaringan luas dan sumber daya manusia yang besar untuk menjangkau serta membina pelaku UMKM di pelosok daerah.

Kelebihannya, kredit jenis ini memiliki risiko rendah dan menjanjikan margin keuntungan yang besar. Memiliki risiko yang rendah karena penyaluran kreditnya terdistribusi ke banyak pihak.

Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, program kredit yang dijalankan perbankan dirasa belum efektif karena belum berhasil mengembangkan UMKM seperti yang diharapkan.

Ini terjadi karena permasalahan yang membelit UMKM sangat kompleks, mulai dari kualitas produk, manajemen, sampai pemasaran.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menjelaskan, meskipun kredit UMKM naik namun pertumbuhan kredit korporasi juga cukup signifikan.

Tantangan untuk mendorong kredit UMKM, kata Muliaman, selain inovasi model bisnis adalah menggarap kredit mikro yang belum optimal. (FAJ)

Benahi Kelistrikan


PLN Dapat Pasokan BBM
Lebih Murah Dari Swasta
Senin, 25 Februari 2008 | 01:18 WIB

jakarta, kompas - Pemadaman di sebagian Jawa Bali pekan lalu menunjukkan perlu ada pembenahan menyeluruh dalam penyediaan tenaga listrik. Selain mempertegas kebijakan penyediaan energi primer, pemerintah juga harus membenahi inefisiensi PT Perusahaan Listrik Negara.

”Apa memang pemadaman semata akibat tidak adanya jaminan pasokan atau di saat yang sama banyak pembangkit rusak sehingga daya yang hilang sangat besar. Kenapa tidak dilakukan penyelidikan, apa penyebabnya,” ujar pengamat kelistrikan Nengah Sudja, Minggu (24/2).

Ia memperhitungkan dengan kapasitas terpasang pembangkit di sistem Jawa Bali 21.000 Mega Watt (MW), seharusnya masih ada cadangan 6.000 MW ketika beban puncak. Laporan PT PLN menunjukkan, daya berkurang 3.000 MW dengan tidak optimalnya lima pembangkit.

Menurut Nengah, kalau semua pembangkit beroperasi, seharusnya masih ada cadangan 3.000 MW, sehingga tidak perlu ada pemadaman. ”Pemerintah harus memeriksa PLN, apa yang sebenarnya terjadi. Apa betul gangguan pasokan semata karena cuaca. Faktanya, PLTU Paiton yang dikelola swasta tidak ada gangguan pasokan,” kata Nengah.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menilai penyediaan listrik yang melibatkan pemerintah sebagai regulator, dan PLN produsen penyedia energi primer, tidak berjalan sebagai sebuah sistem. ”Kalau memang ada gangguan pasokan karena faktor cuaca dan keterbatasan kapal, ini kan terjadi sejak sebulan lalu, mengapa tidak ada koordinasi antarinstansi terkait,” kata Fabby.

Ia mengatakan kerugian yang ditimbulkan akibat kegagalan manajemen pasokan bahan bakar merugikan negara. Sebab, PLN membakar lebih banyak bahan bakar minyak untuk menggantikan batu bara. ”Kebutuhan BBM PLN untuk pembangkit di Jawa naik dua kali lipat bulan Februari ini,” ujar Fabby. Ditegaskan, dalam jangka panjang, pemerintah perlu memikirkan jaminan pasokan energi primer.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, kekurangan daya listrik sudah diperkirakan akan terjadi tahun ini sampai 2009. "Ini karena pada tahun-tahun lalu, kita belum membangun kembali pembangkit listrik, meskipun sudah terjadi peningkatan konsumsi listrik," ujarnya.

General Manager Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali PT PLN Muljo Adji menjelaskan, kondisi kelistrikan sistem Jawa Bali, sudah normal Senin ini. ”Kapal sudah masuk, stok batu bara untuk PLTU Tanjung Jati B sudah 40.000 ton. Diharapkan dalam tiga hari total cadangan bisa 66.000 ton. Setelah itu, kami harapkan kapal kedua masuk,” kata Muljo.

Adapun kondisi PLTU Cilacap masih belum aman. Sejak Minggu, daya pembangkit itu kembali diturunkan dari 160 MW menjadi 85 MW. Kapal batu bara dijadwalkan merapat hari ini, Senin (25/2). Sedangkan, PT Bukit Asam Unit Tarahan memastikan pengiriman batu bara ke PLTU Suralaya lancar. Gelombang tinggi di perairan Selat Sunda dalam tiga pekan terakhir tidak mengganggu operasional kapal.

Pasokan BBM

Anggota Komisi VII DPR Suharso Monoarfa mengatakan, karena PLN masih bergantung pada bahan bakar minyak, BUMN itu harus didorong lebih bebas mendapatkan pasokan dengan harga lebih murah. Tahun 2007, pemakaian BBM PT PLN 10,03 juta kiloliter. Tahun ini, diperkirakan kebutuhan BBM 10,53 juta kilolite. Namun, pemerintah hanya menyetujui 9,1 juta kiloliter.

Hasil lelang pengadaan BBM PT PLN yang diumumkan pekan lalu menunjukkan, perusahaan swasta bisa memasok lebih murah dari Pertamina. PLN melelang pengadaan minyak solar sebanyak 1 juta kiloliter.

Shell Indonesia memenangkan pasokan untuk Grati dan Belawan dengan harga MOPS plus 1,95 persen. Aneka Kimia Raya Corporindo memenangkan pasokan untuk PLTGU Pontianak dan PLTGU Tanjung Batu dengan tawaran MOPS masing-masing plus 7,45 persen dan 8,3 persen. Adapun PT Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina menawarkan MOPS plus 9,5 persen.

Biaya Produksi Naik

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, pemadaman listrik telah menaikkan biaya produksi industri kecil dan menengah (IKM) sekitar 10 persen.

Padahal, saat ini IKM tidakdapat menaikkan harga produknya karena daya beli masyarakat yang relatif rendah. Akibatnya, IKM harus mengurangi margin keuntungannya.

Industri pembibitan ayam misalnya, biaya produksinya naik 2-3 persen dari biasanya. Pengalihan sumber energi listrik dari PLN ke generator set membuat biaya listrik di Industri pembibitan naik 20 persen tiap killowatt-nya. "Memang dampaknya tidak begitu besar terhadap biaya produksi, tetapi waktunya tidak tepat karena daya beli masyarakat masih rendah," kata Paulus Setiabudi, Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas.

Menanggapi kerugian yang ditanggung UKM akibat pemadaman listrik, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali menyatakan,” Semestinya ada pertanggungjawaban moral dari PLN. Kalau pelayanan buruk, ya harus ada kompensasi kepada pelanggan listrik, khusus UMKM," kata Suryadharma.

Kompensasi itu, menurut Suryadhamra, sangat perlu, sebab jika pembayaran tagihan listrik terlambat, pelanggan dikenakan denda atau listriknya diputus. "Kalau mau fair, kompensasi akibat pemadaman listrik haruslah diberikan," ujar Suryadharma. (DOT/HAR/HLN/OIN/MAS/OSA)

Krisis Listrik


Senin, 25 Februari 2008 | 02:08 WIB

Faisal Basri

Negeri kita dikaruniai aneka ragam sumber daya alam: kekayaan gas alam dan batu bara melimpah, sinar matahari memancar sepanjang tahun, pegunungan dan hutan yang menangkap air dari curah hujan yang tinggi, kekayaan laut tak terbilang.

Dengan karunia kekayaan yang melimpah ini, seharusnya seluruh penjuru Tanah Air terang benderang, jalan-jalan di kota dan desa, rumah-rumah penduduk dialiri listrik berkecukupan, segala kegiatan usaha bisa beroperasi 24 jam berkelanjutan dan menghasilkan produk-produk bermutu dan berdaya saing.

Kenyataannya berbeda. Selama belasan tahun terakhir, electrification ratio (rasio kelistrikan) praktis jalan di tempat. Hanya sekitar separuh rumah tangga yang beroleh aliran listrik. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah 79 persen, Filipina 80 persen, Thailand 84 persen, dan China 99 persen. Di antara 12 negara sekawasan, Indonesia di peringkat 11.

Sementara itu, kian banyak kegiatan usaha yang tak bisa mengandalkan sepenuhnya pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mereka terpaksa membangun pembangkit listrik sendiri walau berakibat pada peningkatan biaya tetap (fixed cost) sehingga menggerogoti daya saing. Usaha-usaha kecil yang tak mampu mengadakan listrik sendiri terpaksa pasrah, mengurangi jam produksi karena PLN kian kerap melakukan pemadaman.

Pasokan listrik yang tersendat sudah berlangsung bertahun-tahun. Bukan cuma kuantitas pasokan yang dikeluhkan konsumen, juga kualitasnya. Berdasarkan kajian Bank Dunia, kerugian dunia usaha akibat pemadaman listrik 6,1 persen dari penjualan total. Usia mesin dan segala peralatan yang digerakkan listrik menjadi lebih pendek.

Persoalan yang tak kunjung terselesaikan puluhan tahun ini berakar dari ketiadaan kebijakan energi nasional, sebagai bagian dari visi pembangunan nasional.

Pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kita pernah mengalami krisis listrik cukup parah sebagai akibat PLN gagal mengantisipasi permintaan listrik yang tumbuh pesat, konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Waktu itu pemerintah menggulirkan kebijakan percepatan pembangunan pembangkit baru dengan mengundang pemodal swasta. Bermunculanlah proyek pembangkit listrik berskala mega, yang boleh dikatakan seluruhnya melibatkan kroni Soeharto.

Para kroni menggandeng korporasi besar dunia. Mereka menggelembungkan nilai proyek. Memaksa PLN menandatangani perjanjian pembelian listrik dengan harga di atas harga penjualan PLN. Dalam perjanjian tercantum skema ”mematikan” yang disebut take and or pay clause.

Berdasarkan ketentuan ini, PLN harus membeli listrik sejumlah tertentu dengan harga yang telah disepakati sekalipun PLN tak membutuhkan pasokan sebanyak itu. PLN harus membayar sekalipun tak membeli listrik mereka. PLN harus mematikan pembangkitnya yang berbiaya lebih murah untuk mengurangi kerugian perusahaan.

Didera krisis ekonomi 1998, banyak proyek listrik swasta yang semaput. Setelah perundingan alot, pemerintah dan PLN dapat menegosiasi ulang ketentuan yang membelenggu PLN.

Cepat lupa

Ironis kalau pemerintah cepat lupa pengalaman pahit itu. Kebijakan yang diambil sejauh ini sangat reaktif dan pragmatis. Bahkan, ada tanda-tanda mengulangi kesalahan masa lalu.

Akar masalah yang harus segera diatasi adalah pasokan sumber energi. Presiden harus memerintahkan seluruh jajaran terkait duduk bersama dan keluar dengan penyelesaian tuntas pengadaan sumber energi.

Presiden harus mengambil alih komando karena penyelesaian di tingkat menteri koordinator tak kunjung tuntas. Bukankah para pihak yang terlibat berasal dari unsur pemerintah? Pemasok maupun penggunanya adalah badan usaha milik pemerintah.

Ada Kementerian Negara BUMN yang bertanggung jawab menyinergikan semua BUMN bagi kemakmuran rakyat, bukan sebaliknya cari untung sendiri dengan alasan sesuka hati.

Sangat tak pantas dan tak bertanggung jawab kalau alasan krisis listrik ditumpahkan pada cuaca buruk. Bukankah cuaca bisa diprediksi? Bukankah jawatan meteorologi sudah mengingatkan hal itu jauh-jauh hari?

Mengapa sebelumnya tak disiapkan sarana transportasi lebih banyak serta fasilitas penampungan batu bara dan gas lebih besar? Bukankah semua itu di bawah kendali pemerintah?

Mengapa perusahaan swasta mampu dan cekatan mengantisipasi persoalan yang sama sehingga tak terjadi kelangkaan rokok, sabun, minyak goreng, dan berbagai komoditas lainnya?

Hanya dua kata untuk menjelaskan krisis listrik ini: Salah urus! Tak boleh lagi ada toleransi. Kesalahan demi kesalahan sangat kasatmata. Kesalahannya sempurna: dari hulu hingga hilir. Penyelesaian ad hoc dan sepenggal-sepenggal tidak akan berarti.

Kita hargai inisiatif PLN menerapkan paket insentif dan disinsentif bagi konsumen, juga imbauan hemat listriknya. Namun, bukankah inti persoalan pada pasokan, bukan permintaan? Bukankah konsumsi listrik per kapita Indonesia tergolong rendah, 400 Kwh. Bandingkan dengan Filipina yang 500 Kwh, Thailand 1.500 Kwh, dan Malaysia 2.700 Kwh.

Memberdayakan Pemuda Berwirausaha


Oleh :Muhammad Iqbal

Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Pada tanggal 13 Februari 2008 Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga melalui Deputi Kewirausahaan Pemuda dan Industri Olahraga menyelenggarakan Workshop International Pengembangan Kewirausahaan Pemuda dengan tema 'Membangun dan Mengembangkan Wira Usaha Muda Indonesia yang Berdaya Saing Tinggi dan Berwawasan Global. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Bidakara Bumikarsa Jakarta ini diikuti oleh 100 orang peserta yang terdiri dari Organisasi Kepemudaan (OKP) di Jakarta dan Perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dari tujuh negara, yaitu Malaysia, Thailand, Singapura, India, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.

Dalam workshop tersebut perwakilan OKP dan PPI berusaha membuat sebuah model pengembangan kewirausahaan pemuda yang nantinya akan menghasilkan sebuah program pemerintah untuk memberdayakan pemuda dalam berwirausaha. Program ini berawal dari tingginya tingkat pengangguran yang cukup tinggi terutama di kalangan pemuda. Menurut data Menpora, 37,8 persen dari penduduk Indonesia adalah pemuda (usia 18-35 tahun) yang merupakan calon pemimpin bangsa dan penerus perjuangan bangsa. Namun, disayangkan pula banyak pemuda yang putus sekolah, menganggur, tidak punya keahlian, dan rendahnya akses informasi kepada mereka terutama dalam berwirasuha.

Dalam memberdayakan pemuda, ada beberapa kategori pemuda yang perlu diberdayakan. Pertama, pemuda yang sudah punya usaha sederhana dan memerlukan pengembangan. Kedua adalah pemuda yang punya keahlian, tetapi tidak memiliki modal. Ketiga adalah pemuda yang punya modal, tetapi tidak memiliki keahlian. Keempat, tidak punya modal dan tidak punya keahlian. Yang paling banyak di Indonesia saat ini adalah pemuda yang kategori keempat.

Menurut data Menpora, angka pengangguran terbuka pemuda sekitar 19,5 persen. Ini terjadi karena rendahnya kesempatan akses pendidikan baik formal maunpun informal terutama di daerah yang akhirnya akan menimbulkan ancaman kriminalitas dan ketertiban umum yang dilakukan oleh pemuda.

Menurut pendapat penulis yang juga hadir dalam workshop ini, permasalahan utama dalam mengembangkan kewirausahaan pemuda adalah karena kurangnya kesadaran akan pentingnya menjadi pemuda yang mandiri dan berwirausaha. Banyak saat ini pemuda yang tergabung dalam OKP lebih berorientasi kepada pergerakan politik dan kekuasaan sehingga mereka cenderung memilih cara instan untuk menjadi terkenal dan politisi andal, tetapi dari aspek ekonomi pemuda jauh tertinggal.

Banyak di kalangan mereka justru menjadi broker politik dan menjadi alat bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Jadi, tahap awal yang harus dibangun dalam memberdayakan pemuda adalah membangun jiwa pemuda yang mandiri dan menanamkan semangat hidup berwirausaha sehingga kemandirian akan mudah dibangun.

Slogan-slogan pemuda mandiri dan berjiwa bisnis perlu dijadikan slogan nasional bagi pemuda sehingga setiap aspek pendidikan pemuda baik formal maupun informal menanamkan semanagat berwirausaha. Permasalahan kedua adalah susahnya mendapatkan modal usaha dan minimnya akses informasi mengenai modal usaha. Selama ini mereka hanya mengandalkan pihak bank untuk mendapatkan modal yang sudah tentu memerlukan agunan sertifikat tanah, bank-bank pemerintah, maupun swasta belum memiliki program pemberdayaan kewirausahaan pemuda.

Karena itu, diperlukan sebuah terobosan dari Menpora untuk membuka akses bagi pemuda dengan cara menjadi penjamin bagi pemuda untuk mendapatkan modal. Dengan sistem rekomendasi dari pemerintah, bank-bank dapat memberikan kepercayaan kepada pemuda untuk mendapatkan modal.

Selama ini Menpora tidak memiliki anggaran untuk memberikan modal usaha. Justru program-program bantuan modal usaha ada pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih terbuka dengan instansi terkait sehingga akses pemuda untuk mendapatkan modal lebih terbuka dengan adanya kerja sama tersebut.

Ketiga adalah permasalahan rendahnya skill yang dimiliki pemuda dalam berwirausaha. Untuk itu diperlukan pelatihan-pelatihan yang bersifat keahlian dan kewirausahaan. Ini dapat dilakukan bekerja sama dengan OKP dan Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki oleh Depnakertrans. Dengan dibukannya pelatihan-pelatihan tersebut, maka diharapkan pemuda dapat menambah keahlian dan pendidikan informal untuk berwirausaha.

Keempat adalah lemahnya pendampingan. Banyak pemuda yang bergerak di bidang UKM memerlukan pendampingan untuk membuka dan mengembangkan usahanya. Untuk itu diperlukan lembaga-lembaga konsultan wirausaha yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta yang mampu memberikan arahan kepada pemuda dalam berwirausaha. Dengan demikian, keberadaan 'Youth Center' sangat diperlukan melalui bekerja sama dengan instansi terkait, terutama pemerintah daerah untuk memudahkan pemuda mendapatkan akses pendampingan tersebut.

'Youth Center' yang banyak dikembangkan seperti di negara-negara maju nantinya menjadi pusat kegiatan pemuda yang berorientasi pada pemberdayaan kewirausahaan sehingga akses pemuda untuk mendapatkan informasi dan membuat kegiatan yang mengasah kemampuan mereka berwirausaha dapat dilakukan di sana. Pemuda juga diharapkan dapat saling bertukar informasi untuk mengembangkan usaha.

Menpora hanya bisa memberdayakan pemuda pada taraf kebijakan. Untuk itu diperlukan kerja sama dengan instansi lain yang memiliki program pemberdayaan masyarakat, seperti Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Sosial. Dengan demikian, program pemerintah untuk memberdayakan pemuda berwirausaha dapat berjalan dengan baik dan ada sinergi antara departemen untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

Diperlukan akses yang lebih terbuka bagi pemuda untuk berwirausaha. Namun, yang paling penting adalah bagaimana menanamkan semangat berwirasusaha dan kemandirian bagi masyarakat khususnya pemuda. Diperlukan sebuah campaign dan slogan resmi dari pemerintah untuk menciptakan bahwa berwirausaha dan kemandirian adalah budaya bangsa sehingga pemuda Indonesia adalah pemuda yang mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.

Problem yang mendasar bagi pemuda dalam beriwira usaha adalah susahnya mendapatkan modal usaha. Diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk memudahkan bagi para kaum muda mendapatkan modal usaha. Tentunya bekerja sama dengan lembaga-lembaga perbankan dengan pemerintah sebagai penjamin dan pendamping. Dengan adanya jaminan dari pemerintah maka pemuda dapat berwirausaha dengan modal yang cukup.

Pemerintah daerah perlu dilibatkan untuk memberdayakan pemuda dalam berwirausaha karena mayoritas pemuda yang menganggur berada di daerah. Harus ada program-program yang nyata dari pemerintah pusat dan bersinergi dengan pemerintah daerah sehingga pemberdayaan pemuda menyentuh permasalahan utama di daerah, yaitu mengurangi jumlah pengangguran pada pemuda.

Choice of Forum Perbankan Syariah


Adiwarman A Karim
Presiden Direktur Karim Businiess Consulting

Sungguh menakjubkan visi para pendiri negara ini yang tecermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Beragam suku bangsa, ras, agama, budaya, bahasa bagaikan mozaik yang mewarnai bangsa ini, the color of Indonesia. Semua terangkai indah dalam format Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sama menakjubkannya dengan keragaman pemahaman fikih yang sering diistilahkan perbedaan adalah rahmat. Kaedah fikihnya bila keadaan sempit hukum meluas, bila keadaan luas hukum menyempit. Ada kelenturan fikih dalam menafsirkan syariah. Syariahnya jelas, misalnya memakai jilbab wajib.

Namun, tafsiran fikihnya dapat beragam. Ada mazhab yang mewajibkan menutup seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, ada yang malah menutupi muka dengan cadar. Mazhab lain bahkan membaginya bila cantik menggunakan cadar, bila tidak maka tidak perlu cadar. Bahkan, ada mazhab yang mengatakan wanita yang sedang bekerja di sawah, separuh betisnya bukan aurat. Inilah the color of Sharia.

Begitu pula dengan sistem perbankan. Negara ini memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk memilih sistem perbankan mana yang dipilihnya. Semua orang bebas memilih tanpa ada diskriminasi agama antara sistem perbankan syariah atau sistem perbankan konvensional, bahkan bebas pula untuk memilih keduanya atau sama sekali tidak memilih sistem perbankan mana pun.

Hal yang sama kita temui dalam hukum melakukan kontrak yang menganut asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas ini memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan mengikat mereka. Dalam bahasa mudahnya asal rela sama rela. Inilah yang dalam syariah disebut kaidah hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, asas kebebasan berkontrak ini juga mencakup kebebasan untuk memilih peradilan mana (choice of forum) yang akan digunakan ketika terjadi perselihan atau persengketaan dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Sebagian mungkin memilih peradilan umum, sebagian lain mungkin memilih arbitrase, atau malah memilih mediasi. Jelasnya, choice of forum merupakan bagian klausula kontrak.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, pilihan forum yang selama ini digunakan biasanya adalah pengadilan negeri atau badan arbitrase. Terbitnya Undang-Undang No 3/2006 tentang Peradilan Agama, telah menambah pilihan forum bagi pelaku perbankan syariah, yaitu pengadilan agama.

UU ini memberikan tambahan tugas dan wewenang pengadilan agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah (pasal 49). Bahkan, penjelasan pasal ini mengatakan penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.

Yang dimaksud dengan ekonomi syariah dalam UU ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Patut digarisbawahi bahwa UU ini memberikan kewenangan baru kepada peradilan agama tanpa mengurangi kewenangan peradilan umum untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama di bidang ekonomi secara umum, termasuk ekonomi syariah. Oleh karenanya, tugas dan kewenangan pengadilan agama seharusnya dipandang sebagai tambahan pilihan forum peradilan bagi para pelaku perbankan syariah.

Bila dipaksakan, misalnya melalui suatu undang-undang, bahwa para pelaku perbankan syariah harus membawa perkaranya ke pengadilan agama, maka hal ini mengurangi hak kebebasan para pihak yang berkontrak. Begitu pula bila dipaksakan untuk ke pengadilan umum melalui suatu undang-undang, ia akan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Lagi pula choice of forum berada dalam ranah kontrak, bukan ranah undang-undang.

Kekhawatiran pengadilan umum tidak memiliki kompetensi menangani perkara ekonomi syariah sama kelirunya dengan kekhawatiran pengadilan agama tidak memiliki kompetensi menangani perkara perbankan syariah yang bersifat komersial. Berbeda dengan pengadilan niaga yang mempunyai hukum acaranya sendiri, pengadilan agama menggunakan hukum acara yang sama dengan yang digunakan oleh pengadilan umum.

Bahkan, kewenangan peradilan umum dan peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah akan mendorong peningkatan kompentensi dan kualitas kedua lembaga tersebut. Keduanya akan berlomba meningkatkan kompetensi di bidang ekonomi syariah.

Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan inilah indahnya kebhinekaan dalam format Negara Kesatuan Republik Indonesia. Biarlah wujud kebhinekaan juga tecermin dalam kebebasan masyarakat memilih forum peradilan yang disepakatinya dalam kontrak, sebagaimana masyarakat bebas memilih sistem perbankan yang dianggap sesuai. Inilah the color of Indonesia.

Saturday, February 23, 2008

Laba Bersih Perbankan Nasional Capai Rp 35 Triliun


Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:04 WIB

Jakarta, Kompas - Laba bersih perbankan nasional tahun 2007 mencatat rekor baru, mencapai Rp 35 triliun, tumbuh 23 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pencapaian itu salah satunya dipicu oleh membaiknya tingkat efisiensi bank.

Berdasarkan data Statistik Perbankan yang dirilis Bank Indonesia (BI), total pendapatan operasional perbankan nasional mencapai Rp 219,65 triliun, meningkat dibandingkan dengan tahun 2006 yang seebsar Rp 212,49 triliun. Di sisi lain, beban operasional perbankan nasional justru menurun dari Rp 184,83 triliun menjadi Rp 184,62 triliun. Ini mencerminkan tingkat efisiensi yang makin baik.

Pengamat perbankan Iman Sugema, Jumat (22/2) di Jakarta, menjelaskan, laba yang cukup besar juga dipicu oleh melonjaknya pendapatan bunga bersih dan membaiknya kredit bermasalah (non performing loan/NPL)

Menurut Iman, pada masa tren penurunan suku bunga seperti sekarang terdapat kecenderungan penurunan suku bunga dana lebih cepat dibandingkan suku bunga kredit. Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku bankir yang ingin meraup untung besar.

Selain efisiensi, laba perbankan nasional yang cukup tinggi juga disumbangkan oleh penempatan bank pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kendati suku bunga SBI cenderung menurun dan mencapai level 8 persen pada akhir 2007, tetapi volumenya cenderung meningkat. Per akhir Desember 2007, posisi SBI mencapai Rp 203,86 triliun, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 179 triliun.

Sementara itu, Bank Niaga mencatat laba bersih tahun 2007 sebesar Rp 770 miliar, meningkat 19 persen dibandingkan tahun 2006. Presdir Bank Niaga Hashemi Albakri mengatakan, peningkatan kinerja disebabkan membaiknya iklim investasi.

Peringkat bank

Lembaga pemeringkat efek Fitch Ratings, kemarin, menaikkan peringkat jangka panjang mata uang asing Issuer Default Ratings (IDR) 11 bank di Indonesia dari BB- ke BB. Ke-11 Bank tersebut yaitu Bank Mandiri, Bank Central Asia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Danamon, Bank Internasional Indonesia, Bank Niaga, Bank Lippo, Bank Pan Indonesia, NISP, dan UOB Buana.

Lembaga pemeringkat yang berkantor pusat di New York, AS, ini juga menaikkan peringkat jangka panjang mata uang lokal IDR Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank NISP, dan Bank UOB Buana dari BB- ke BB.

Direktur Grup Institusi Keuangan Fitch Tan Lai Peng menyebut, kenaikan itu mengikuti kenaikan peringkat jangka panjang negara Indonesia dari BB- ke BB dan perubahan prospek dari positif ke stabil. (REI/FAJ)

Memberdayakan Pemuda Berwirausaha



Muhammad Iqbal
Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Pada tanggal 13 Februari 2008 Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga melalui Deputi Kewirausahaan Pemuda dan Industri Olahraga menyelenggarakan Workshop International Pengembangan Kewirausahaan Pemuda dengan tema 'Membangun dan Mengembangkan Wira Usaha Muda Indonesia yang Berdaya Saing Tinggi dan Berwawasan Global. Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Bidakara Bumikarsa Jakarta ini diikuti oleh 100 orang peserta yang terdiri dari Organisasi Kepemudaan (OKP) di Jakarta dan Perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dari tujuh negara, yaitu Malaysia, Thailand, Singapura, India, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.

Dalam workshop tersebut perwakilan OKP dan PPI berusaha membuat sebuah model pengembangan kewirausahaan pemuda yang nantinya akan menghasilkan sebuah program pemerintah untuk memberdayakan pemuda dalam berwirausaha. Program ini berawal dari tingginya tingkat pengangguran yang cukup tinggi terutama di kalangan pemuda. Menurut data Menpora, 37,8 persen dari penduduk Indonesia adalah pemuda (usia 18-35 tahun) yang merupakan calon pemimpin bangsa dan penerus perjuangan bangsa. Namun, disayangkan pula banyak pemuda yang putus sekolah, menganggur, tidak punya keahlian, dan rendahnya akses informasi kepada mereka terutama dalam berwirasuha.

Dalam memberdayakan pemuda, ada beberapa kategori pemuda yang perlu diberdayakan. Pertama, pemuda yang sudah punya usaha sederhana dan memerlukan pengembangan. Kedua adalah pemuda yang punya keahlian, tetapi tidak memiliki modal. Ketiga adalah pemuda yang punya modal, tetapi tidak memiliki keahlian. Keempat, tidak punya modal dan tidak punya keahlian. Yang paling banyak di Indonesia saat ini adalah pemuda yang kategori keempat.

Menurut data Menpora, angka pengangguran terbuka pemuda sekitar 19,5 persen. Ini terjadi karena rendahnya kesempatan akses pendidikan baik formal maunpun informal terutama di daerah yang akhirnya akan menimbulkan ancaman kriminalitas dan ketertiban umum yang dilakukan oleh pemuda.

Menurut pendapat penulis yang juga hadir dalam workshop ini, permasalahan utama dalam mengembangkan kewirausahaan pemuda adalah karena kurangnya kesadaran akan pentingnya menjadi pemuda yang mandiri dan berwirausaha. Banyak saat ini pemuda yang tergabung dalam OKP lebih berorientasi kepada pergerakan politik dan kekuasaan sehingga mereka cenderung memilih cara instan untuk menjadi terkenal dan politisi andal, tetapi dari aspek ekonomi pemuda jauh tertinggal.

Banyak di kalangan mereka justru menjadi broker politik dan menjadi alat bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Jadi, tahap awal yang harus dibangun dalam memberdayakan pemuda adalah membangun jiwa pemuda yang mandiri dan menanamkan semangat hidup berwirausaha sehingga kemandirian akan mudah dibangun.

Slogan-slogan pemuda mandiri dan berjiwa bisnis perlu dijadikan slogan nasional bagi pemuda sehingga setiap aspek pendidikan pemuda baik formal maupun informal menanamkan semanagat berwirausaha. Permasalahan kedua adalah susahnya mendapatkan modal usaha dan minimnya akses informasi mengenai modal usaha. Selama ini mereka hanya mengandalkan pihak bank untuk mendapatkan modal yang sudah tentu memerlukan agunan sertifikat tanah, bank-bank pemerintah, maupun swasta belum memiliki program pemberdayaan kewirausahaan pemuda.

Karena itu, diperlukan sebuah terobosan dari Menpora untuk membuka akses bagi pemuda dengan cara menjadi penjamin bagi pemuda untuk mendapatkan modal. Dengan sistem rekomendasi dari pemerintah, bank-bank dapat memberikan kepercayaan kepada pemuda untuk mendapatkan modal.

Selama ini Menpora tidak memiliki anggaran untuk memberikan modal usaha. Justru program-program bantuan modal usaha ada pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih terbuka dengan instansi terkait sehingga akses pemuda untuk mendapatkan modal lebih terbuka dengan adanya kerja sama tersebut.

Ketiga adalah permasalahan rendahnya skill yang dimiliki pemuda dalam berwirausaha. Untuk itu diperlukan pelatihan-pelatihan yang bersifat keahlian dan kewirausahaan. Ini dapat dilakukan bekerja sama dengan OKP dan Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki oleh Depnakertrans. Dengan dibukannya pelatihan-pelatihan tersebut, maka diharapkan pemuda dapat menambah keahlian dan pendidikan informal untuk berwirausaha.

Keempat adalah lemahnya pendampingan. Banyak pemuda yang bergerak di bidang UKM memerlukan pendampingan untuk membuka dan mengembangkan usahanya. Untuk itu diperlukan lembaga-lembaga konsultan wirausaha yang dikelola oleh pemerintah ataupun swasta yang mampu memberikan arahan kepada pemuda dalam berwirausaha. Dengan demikian, keberadaan 'Youth Center' sangat diperlukan melalui bekerja sama dengan instansi terkait, terutama pemerintah daerah untuk memudahkan pemuda mendapatkan akses pendampingan tersebut.

'Youth Center' yang banyak dikembangkan seperti di negara-negara maju nantinya menjadi pusat kegiatan pemuda yang berorientasi pada pemberdayaan kewirausahaan sehingga akses pemuda untuk mendapatkan informasi dan membuat kegiatan yang mengasah kemampuan mereka berwirausaha dapat dilakukan di sana. Pemuda juga diharapkan dapat saling bertukar informasi untuk mengembangkan usaha.

Menpora hanya bisa memberdayakan pemuda pada taraf kebijakan. Untuk itu diperlukan kerja sama dengan instansi lain yang memiliki program pemberdayaan masyarakat, seperti Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Sosial. Dengan demikian, program pemerintah untuk memberdayakan pemuda berwirausaha dapat berjalan dengan baik dan ada sinergi antara departemen untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.

Diperlukan akses yang lebih terbuka bagi pemuda untuk berwirausaha. Namun, yang paling penting adalah bagaimana menanamkan semangat berwirasusaha dan kemandirian bagi masyarakat khususnya pemuda. Diperlukan sebuah campaign dan slogan resmi dari pemerintah untuk menciptakan bahwa berwirausaha dan kemandirian adalah budaya bangsa sehingga pemuda Indonesia adalah pemuda yang mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.

Problem yang mendasar bagi pemuda dalam beriwira usaha adalah susahnya mendapatkan modal usaha. Diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk memudahkan bagi para kaum muda mendapatkan modal usaha. Tentunya bekerja sama dengan lembaga-lembaga perbankan dengan pemerintah sebagai penjamin dan pendamping. Dengan adanya jaminan dari pemerintah maka pemuda dapat berwirausaha dengan modal yang cukup.

Pemerintah daerah perlu dilibatkan untuk memberdayakan pemuda dalam berwirausaha karena mayoritas pemuda yang menganggur berada di daerah. Harus ada program-program yang nyata dari pemerintah pusat dan bersinergi dengan pemerintah daerah sehingga pemberdayaan pemuda menyentuh permasalahan utama di daerah, yaitu mengurangi jumlah pengangguran pada pemuda.

Friday, February 22, 2008

Perhitungan Insentif Listrik



Target Pemerintah Bisa
Menghemat Rp 18,8 Triliun


Jakarta, Kompas - Ketentuan soal insentif dan disinsentif terhadap pelanggan listrik akan mulai diberlakukan Maret 2008 kepada konsumen rumah tangga, kantor pemerintah, dan kalangan bisnis.

Guna mendukung ketentuan tersebut, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan membagikan lampu hemat energi kepada seluruh pelanggan rumah tangga.

Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PT PLN Sunggu Aritonang mengemukakan hal tersebut di Jakarta, Kamis (21/2).

Sementara kalangan industri, fasilitas umum dan sosial tidak dikenai kebijakan itu. Aritonang mengatakan, insentif diberikan kepada pelanggan yang menekan konsumsi listrik minimal 20 persen dari pemakaian rata-rata nasional.

Insentif tersebut berupa diskon sebesar 20 persen dari selisih penghematan dikalikan dengan harga tertinggi tarif pada golongan pelanggan.

”Pelanggan yang menghemat listrik tidak hanya memperoleh keringanan pembayaran, tetapi juga menikmati diskon tarif,” katanya.

Aritonang memberi contoh, pemakaian listrik rata-rata nasional untuk pelanggan rumah tangga dengan golongan kapasitas terpasang 450 VA adalah 75 kilowatt per jam (kWh) per bulan.

Harga tertinggi tarif pelanggan pada golongan tersebut adalah Rp 495. Apabila pelanggan berhemat listrik sampai 50 kWh per bulan, insentif yang didapat sebesar Rp 2.475.

”Insentif tersebut akan diberikan setiap bulan dengan memotong tagihan listrik,” kata Aritonang menjelaskan.

Menekan biaya

Kebijakan pemberian insentif dan disinsentif kepada pelanggan tersebut telah melalui proses pengkajian selama tiga tahun.

Kebijakan penghematan listrik dilakukan sebagai upaya menekan biaya bahan bakar minyak (BBM). Komposisi BBM untuk proses pembangkitan listrik PLN adalah 23,7 persen dari total bahan bakar.

Namun, biaya produksi BBM mencapai 72,1 persen dari total biaya produksi. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk subsidi BBM pada pembangkitan PLN adalah Rp 33,72 triliun.

Sementara itu, subsidi BBM pada tahun 2008 direncanakan sebesar Rp 65 triliun. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral J Purwono mengatakan, pemerintah menargetkan bisa menghemat Rp 18,8 triliun dari sektor kelistrikan. (DOT/OIN/LKT)

Wednesday, February 20, 2008

Pangan Murah dan Sindrom Kelangkaan


Ahmad Erani Yustika

Hingga kini pangan selalu menjadi isu penting di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70 persen dan kini sekitar 50 persen. Penurunan ini amat berarti karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan.

Ini berbeda dengan, misalnya, Amerika Serikat. Pada tahun 2003, warga AS hanya membelanjakan 10 persen pendapatan riilnya (disposable income) untuk pangan (food). Ini angka terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan puncaknya pada 1933 (25,2 persen). Sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terus merosot. Jadi, desain kebijakan pangan Indonesia dan AS berbeda sebab berbeda karakteristik pola pengeluarannya. Bagaimana hal ini harus dijelaskan?

Kebijakan pangan murah

Dalam situasi seperti itu, Pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meski proporsi pendapatan warganya yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif.

Di AS, kebijakan itu melahirkan perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatif, di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61 persen dan pada 2002 menjadi 31,3 persen (Miller dan Coble, 2007).

Hasil studi yang sama menunjukkan kebijakan AS atas subsidi langsung pangan (hingga menjadi murah) tidak lantas memperbaiki kemampuan warganya atas pangan. Meski demikian, hingga kini secara umum Pemerintah AS masih memberi proteksi terhadap pangan.

Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sich tanpa diimbangi kebijakan lain (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang bagus) tidak menjamin tiap warga dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti Indonesia, selalu bermakna subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua entakkan sekaligus.

Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi amat kecil akibat kebijakan pangan murah.

Kedua, petani harus membayar mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan penentuan harga berdasar mekanisme pasar. Meski hal ini mudah dipahami, dalam sejarahnya sulit mengimplementasikan fondasi kebijakan ini karena kuatnya penetrasi politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.

Sindrom kelangkaan

Proteksi atas komoditas pangan (atau pertanian) sebagian dipicu ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor itu tidak dikawal. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurutnya, ada empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekspor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.

Pertanyaannya, bagaimana Indonesia akan menciptakan kedaulatan pangan? Apakah Indonesia harus mengambil kebijakan yang sama dengan AS, atau mendesain kebijakan lain? Tampaknya, kebijakan pangan murah juga bukan solusi yang baik (dalam jangka panjang) bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development).

Namun, meniadakan kebijakan itu juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar dan pendapatan per kapita penduduk masih rendah. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda sebagai kompromi guna menyatukan dua kepentingan. Pertama, kebijakan kontrol harga langsung dihilangkan (dalam jangka menengah/panjang), diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lainnya). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.

Untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memperbaiki sektor pertanian dengan (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah instabilitas pasar dan krisis pangan.

Secara spesifik, soal diversifikasi konsumsi pangan itu penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan menunjukkan hal itu, di mana ketergantungan konsumsi terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang. Dengan jalan ini, kedaulatan pangan bisa terwujud, bukan sebatas retorika politik.

Ahmad Erani Yustika Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw; Ekonom Indef, Jakarta


Sektor Riil Mandek


Didik J Rachbini

Meski pemerintah dapat mengklaim pertumbuhan ekonomi sudah di atas 6,0 persen, selama ini sektor riil tetap tidak bergerak lincah. Sektor yang paling luas menyerap tenaga kerja, yakni sektor industri, mengalami kemacetan tidak hanya dalam pertumbuhan, tetapi juga survival-nya.

Perekonomian tertolong sektor agribisnis, yang mampu mendongkrak cukup tinggi nilai ekspor. Namun, dinamika ini bukan karena kebijakan dan program yang baik, melainkan karena faktor eksternal harga komoditas meningkat terus. Jadi, sektor riil industri berbasis pertanian menolong kondisi sektor riil yang kini mandek.

Namun, sebenarnya kinerja produksi dan volume ekspor tidak mengalami perbaikan signifikan. Kinerja ekspor bukan berhasil dicapai karena strategi dan kebijakan, melainkan karena faktor fluktuasi harga yang sedang membaik. Dan sektor industri secara keseluruhan mengalami masalah berat, bahkan tidak sedikit analis yang menilai adanya jebakan proses deindustrialisasi pada saat ini.

Di luar Jawa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena ekspor sektor agribisnis. Kesejahteraan di luar Jawa tertolong karena pasar, yakni harga komoditas agribisnis yang merangkak naik. Faktor negara juga berperan karena desentralisasi mengalirkan anggaran publik yang besar ke daerah-daerah.

Industri rapuh

Permasalahan struktural dalam industri manufaktur terutama yang berbasis ekspor lumayan berantakan, seperti sepatu, tekstil, dan garmen. Bahkan, perkembangan industri manufaktur ini amat menyedihkan. Sebagian besar industri manufaktur mengalami pertumbuhan mendekati nol persen, bahkan ada sebagian mengalami pertumbuhan negatif. Bila hal ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan industri manufaktur di Indonesia akan mengalami kebangkrutan dan Indonesia tidak menjadi negara tujuan investasi manufaktur lagi.

Pertumbuhan industri tekstil, alas kaki, kulit, dan sejenisnya pernah mencapai kejayaan karena pertumbuhan ekspornya tinggi. Hal yang sama terjadi pada industri kayu dan berbagai industri lain, yang dulu ekspansif dalam ekspor. Kini industri itu mengalami pertumbuhan negatif dan sudah berlangsung beberapa tahun. Tampaknya situasi ini akan berlanjut dalam waktu panjang jika tidak ada terobosan dalam strategi dan kebijakan.

Sebenarnya siklus industri itu sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Namun, selama ini tidak diantisipasi sehingga tidak naik kelas dan tidak ada penggantinya dalam ekspor. Tidak ada kebijakan industri manufaktur yang kuat dan komprehensif yang mendorong atau menstimulasi industri manufaktur baru dan berbasis ekspor sehingga bisa menjadi sumber devisa baru dan keuntungan bagi negara.

Kebanyakan nilai ekspor yang sekarang tumbuh lebih disebabkan harga produk itu naik, bukan karena peningkatan produktivitas. Peningkatan harga pasar internasional terjadi pada industri agro. Jadi, bisa dikatakan, kenaikan ekspor bukan disebabkan oleh restrukturisasi industri, bahkan ada beberapa industri yang sudah sun set dibiarkan sehingga tidak mengalami peningkatan.

Ketika sektor riil mandek seperti sekarang, khususnya industri, dampaknya sudah pasti terlihat pada angka pengangguran, yang tidak beranjak turun dan tidak membaik. Hal yang sama terlihat pada kasus kemiskinan yang masih cukup luas di berbagai daerah.

Jadi, pertumbuhan ekonomi yang kini terjadi bisa disebut pertumbuhan yang tidak berkualitas karena tidak memecahkan masalah paling mendasar dalam perekonomian. Sektor riil tidak bergerak dinamis, stabilitas moneter lebih menonjol tanpa efek kuat terhadap sektor riil.

Masalah ke depan

Pertumbuhan beberapa subsektor industri yang penting itu sudah terjadi dan belum dipengaruhi faktor harga minyak dunia sekarang ini. Ke depan tantangannya lebih berat lagi karena faktor-faktor eksternal lebih tidak pasti. Faktor-faktor eksternal yang krusial akan memengaruhi perkembangan industri dan sektor riil di Indonesia pada masa mendatang.

Setidaknya ada dua faktor utama yang amat berperan dalam perkembangan industri Indonesia. Pertama harga minyak dan yang kedua adalah kondisi ekonomi Amerika Serikat. Kondisi Amerika Serikat yang sedang dilanda masalah finansial menyebabkan penyerapan produk- produk pasar dari negara berkembang berkurang dan menghantam perkembangan industri negara-negara berkembang tersebut.

Kedua kondisi ini tidak akan berpengaruh fatal jika pemerintah punya kebijakan kuat, yang bisa mengantisipasi kedua masalah itu dan bisa mendorong pertumbuhan industri manufaktur. Semua negara industri kuat memiliki strategi kebijakan yang kuat, terutama fokus pada ekspor dan daya saing. Selama ini kebijakan industri masih samar- samar jika tidak hendak dikatakan tidak ada. Tanpa strategi kebijakan itu, industri yang sudah rapuh seperti sekarang akan lebih krusial lagi pada masa mendatang.

Kebijakan dan regulasi harus dipakai sebagai instrumen untuk mengatasi masalah di sektor riil selama ini, khususnya sektor industri. Pada saat yang sama, ada pula kebijakan kolektif di lapangan untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan menemukan industri baru yang menjadi pilar ekspor. Regulasi bisa dipakai untuk menjadi benteng pertahanan industri manufaktur dalam menghadapi kondisi dan berbagai permasalahan eksternal.

Didik J Rachbini Ekonom