Tuesday, February 5, 2008

Solusi Pajak Ganda Bank Syariah



Agus Triyanta
Dosen Fak Hukum UII, Alumnus The University of Manchester

Apa yang telah dijanjikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di hadapan para praktisi perbankan syariah bahwa penghapusan pajak ganda di perbankan syariah akan diselesaikan dalam waktu dua bulan ke depan cukup melegakan. Seharusnya itu benar-benar dipenuhi. Permasalahan ini sudah sangat mendesak untuk dituntaskan. Pajak ganda (double taxation) adalah salah dari problem mendasar di bidang hukum (legal impediment) terkait dengan operasional perbankan syariah di Indonesia. Lima belas tahun sudah perbankan syariah beroperasi di negeri ini. Namun, hal ini belum juga teratasi.

Problem ini menjadi kian serius untuk diselesaikan, bukan saja karena dalam rangka pencapaian target aset sebesar dua persen tahun ini. Namun, juga karena kepentingan masuknya investasi asing.

Berbagai raksasa perbankan Islam dari berbagai negara telah membidik Indonesia sebagai sasaran ekspansi strategis. Misalnya, Kuwait Finance House dan Qatar Islamic Bank. Namun, mereka masih menunggu penyelesaian masalah ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Berbeda dengan perbankan konvensional, perbankan syariah (dan sama halnya dengan perbankan Islam di seluruh dunia), menawarkan sebuah pembiayaan dengan transaksi murabahah dan derivatnya bai' bi thaman ajil (BBA). Dengan skim ini, bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian pihak bank menjual lagi barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan profit margin dan nasabah akan membayar dengan cara angsuran.

Dikarenakan terjadinya dua kali transaksi jual beli itulah, maka terjadi dua kali peralihan kepemilikan dengan transaksi jual beli. Karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, utamanya Pasal 1A ayat (1), huruf a dan b, berarti juga terbebani dua kali pembayaran pajak.

Hal ini dirasakan sangat membebani perbankan syariah. Padahal, murabahah adalah produk andalan pada perbankan syariah. Saat ini berdasarkan data yang ada pada Bank Indonesia, transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp 21,920 triliun, dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah sebanyak Rp 13,340 triliun (60,86 persen).

Ketidakseriusan pemerintah dalam merespons hal ini menyebabkan perbankan syariah enggan membayar pajak. Karenanya, pajak tersebut menumpuk sampai miliaran, bahkan puluhan miliar rupiah.

Terlepas bahwa pajak itu tetap akan ditarik atau tidak, sikap membiarkan status quo semacam ini menunjukkan iktikad yang tidak baik dari pemerintah. Untuk itu, solusi harus segera diupayakan.

Berkaca pada negara maju
Kecerdikan berbagai negara maju untuk menangkap booming bisnis keuangan Islam telah ditunjukkan dengan sikap mereka dalam merespons hambatan hukum dalam perkembangan bisnis keuangan Islam. Amerika Serikat, negara yang boleh dikatakan baru-baru ini saja berkohesi dengan bisnis keuangan Islam, ternyata langsung melakukan legal adjustment (penyesuaian hukum) terhadap masalah ini.

Secara tegas National Bank Act of 1864 di Amerika Serikat melarang industri perbankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini jelas merupakan hambatan utama bagi perbankan Islam.

Namun, hebatnya Office of the Comptroller of the Currency (OCC), otoritas yang bertanggung jawab mengatur urusan moneter di negara itu, akhirnya mengeluarkan dua Interpretative Letters, yakni No 806 dan 867 yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah, dengan catatan tertentu dapat dikecualikan dari ketentuan yang disebutkan pada National Bank Act 1864 tersebut. (Shirley Chiu and Robin Newberger, 2006).

Hasilnya, perbankan Islam menjadi sangat diminati, terutama dalam program home financing. Ini karena praktik itu jauh lebih baik dibandingkan dengan melalui skim mortgage yang konvensional.

Inggris barangkali dapat dikatakan sebagai negara yang paling akomodatif dan fleksibel dalam merespons bisnis keuangan Islam, melebihi berbagai negara Muslim sekalipun. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Inggris untuk menjadikan London sebagai hub bagi Islamic financial business di Eropa.

Selesai cepat
Terkait dengan masalah pajak ganda, di negara ini juga sudah diselesaikan dengan cepat. Tahun 2003 FSA (Financial Service Authority), badan independen yang menentukan regulasi keuangan di Inggris, menghapuskan pajak ganda yang menurut badan tersebut dianggap sebagai the main hurdle in the UK, dengan diintroduksinya Finace Act 2003.

Dengan demikian, dalam home financing saja sekarang sudah mencapai 500 juta poundsterling (setara dengan satu miliar dolar AS). Bahkan, hampir setiap tahun dalam empat tahun terakhir ini selalu ada perubahan regulasi di negara itu khusus dalam rangka merespons bisnis keuangan Islam ini.

Singapura, negara tetangga kita, juga telah mendahului Indonesia dalam hal ini. Monetary Authority of Singapore, sebagai yang diumumkan bersamaan dengan annual budged negara itu tahun 2005, telah menghapuskan pajak ganda pada Maret 2005. Sebagai yang dilansir berbagai media, saat ini telah menunjukkan hasilnya dengan berdirinya raksasa perbankan Islam Asia di negara itu dengan modal yang cukup besar berasal dari investor Timur Tengah.

Karena itu, tidak mengherankan bisnis perbankan Islam berkembang dengan sangat pesat di dunia Barat dan berbagai negara maju. Ini tentu karena bisnis ini sangat menjanjikan. Karenanya, tidak mustahil jika dikatakan bahwa negara-negara yang secara idealis merintis perbankan Islam, karena tidak sigap, saat ini ketinggalan, dan justru bisnis ini seakan diambil alih oleh negara-negara maju.

Pengalaman Malaysia
Malaysia, negara yang telah memulai bisnis perbankan Islam lebih kurang satu dekade sebelum Indonesia memulainya, telah menyelesaikan permasalahan ini hanya beberapa tahun pada awal beroperasinya perbankan Islam. Bahkan, dalam beberapa tahun kemudian diikuti dengan berbagai amandemen berbagai statutes (undang-undang).

Pajak ganda bagi pembiayaan keuangan dengan prinsip syariah telah dihapuskan dengan Amendment Real Property Gains Tax (RPTG) Act 1976. Di dalamnya ada pengaturan baru pada schedule 2 paragraf 3(g), yang menyebutkan bahwa gains yang diperoleh oleh bank dengan penjualan aset kepada nasabah atas prinsip syariah dikecualikan dari pajak.

Dalam Stamp Act 1949, juga untuk 'memuluskan' perbankan Islam, terjadi amandemen dengan memasukkan pasal (section) 14A, yang menyebutkan bahwa penghitungan pajak didasarkan pada jumlah pembiayaan dari bank meski dalam perjanjian dengan nasabah yang terjadi harga penjualan adalah jumlah pembiayaan ditambah dengan profit margin. Lagi-lagi untuk mendukung industri keuangan Islam, Income Tax 1967 Act juga diamandemen dengan memasukkan pasal (section) 2(7), bahwa semua penyebutan interests (bunga) dalam undang-undang ini berlaku secara mutatis mutandis dengan gains (keuntungan) dan expenses (biaya) dalam pembiayaan berdasar syariah.

Mempertahankan pajak ganda, bukan saja akan menghambat perkembangan perbankan syariah, tetapi juga menunjukkan tidak adanya good will yang cukup strategis. Memang penghapusan pajak ganda secara faktual akan mengurangi penerimaan pajak, tetapi di sisi lain, tergeraknya roda ekonomi karena investasi tadi akan memiliki spill over terjadinya aktivitas ekonomi yang pada akhirnya bermuara pada meningkatnya pendapatan pajak.

Terlebih lagi, perbankan syariah selama ini menunjukkan lebih banyak menyentuh sektor riil jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Sebenarnya, dalam Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 Pasal 5 huruf d, jasa perbankan mendapatkan dispensasi untuk tidak terkena kewajiban PPN. Namun, menurut penafsiran Ditjen Pajak, transaksi murabahah tidak dapat digolongkan sebagai jasa perbankan.

Jika dilihat secara faktual, perbankan syariah juga institusi perbankan, yang juga berada di bawah regulasi Bank Indonesia. Berbagai perubahan regulasi di berbagai negara yang disebutkan di atas, hampir semuanya memiliki tafsiran bahwa apa pun produk bank syariah, dia haruslah dianggap sebagai bagian dari sistem perbankan yang tidak layak dikenai dengan pajak ganda. UU No. 18 Tahun 2000 tersebut di atas haruslah dengan segera diamandemen untuk dapat merespons masalah ini, berikut dengan pengeluaran peraturan pemerintah dalam hal terkait.

ikhtisar:
- Pemerintah masih kurang berpihak pada perbankan syariah.
- Negara-negara lain mulai memberi tempat pada praktik syariah.
- Perlu stimulus agar bisnis syariah bisa berkembang.

No comments: