Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia bermula dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Ketika itu, perekonomian nasional mengalami guncangan hebat akibat krisis nilai tukar yang dialami sejumlah negara di Asia yang kemudian merembet ke negara-negara lain termasuk Indonesia.
Oleh: Tjahja Gunawan Diredja
Waktu itu pemerintah selalu menyatakan bahwa fundamental ekonomi nasional cukup kuat. Namun, setelah kurs rupiah terdepresiasi cukup tajam, BI justru mengubah sistem kurs mata uang dari semula menggunakan managed floating (mengambang terkendali) menjadi free floating (mengambang bebas).
Dengan demikian, kurs mata uang tak lagi dikendalikan BI, tetapi diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, pergerakan rupiah menjelang akhir 1997 menjadi liar dan cenderung tak terkendali.
Pada saat yang sama, banyak perbankan yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sebagaimana mestinya. Sejak itu, kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan di Indonesia semakin merosot sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar secara mendadak di perbankan.
Pemerintah berupaya meredam keresahan masyarakat itu dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada 1 November 2007.
Alih-alih menenangkan masyarakat, keputusan melikuidasi bank itu justru semakin menambah kepanikan nasabah. Setelah itu, BI terpaksa memberikan dana talangan Rp 23 triliun. Itulah BLBI yang pertama kali dalam sejarah krisis ekonomi nasional.
Kemudian jajaran Direksi BI waktu itu mengirim surat kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana BI untuk mengatasi masalah saldo debet yang dialami perbankan nasional akibat rush tersebut.
Kutipan surat itu antara lain berbunyi, ”Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perbankan, BI kiranya disetujui akan mengganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khusus, sesuai dengan memo terlampir.”
Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat dari Kantor Sekretariat Negara berkualifikasi ”rahasia dan sangat rahasia” Nomor R-183/M/Sesneg/12/1997 tertanggal 27 Desember 1997.
Dalam surat itu antara lain disebutkan, ”Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk mengganti saldo debet bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr. Gubernur BI.”
Lalu dalam akhir surat itu ditutup dengan kalimat, ”Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan, untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan bangkrut.”
Surat dari direksi BI dan surat dari Presiden waktu itu bisa menjadi kunci siapa sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap semua yang terjadi dengan kasus BLBI.
Temuan BPK
Pemerintah dan BI waktu itu meyakinkan masyarakat bahwa dana BLBI diberikan untuk memulihkan kepercayaan terhadap dunia perbankan.
Namun, kenyataannya penyaluran dana BLBI, yang menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 144,5 triliun, banyak yang diselewengkan sehingga menjadi beban anggaran negara.
BPK yang telah melakukan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI menemukan adanya kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran BLBI, penyimpangan dalam penggunaan BLBI, serta potensi kerugian negara akibat penyaluran dan penyimpangan dana BLBI.
Berdasarkan hasil audit investigasi, BPK menilai kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat BI tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif.
BI pada saat itu tidak berani melakukan stop kliring karena khawatir terjadi efek domino. Kekhawatiran ini merupakan suatu teori yang belum pernah teruji kebenarannya. Permasalahan itu menjadi besar karena sejak awal BI tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop kliring. Sikap BI ini dimanfaatkan bankir nakal sehingga sejumlah bank terus bersaldo debet.
Selain itu, direksi BI pernah membuat keputusan yang kurang berhati-hati, yaitu tak akan melakukan stop kliring meski mengetahui overdraft suatu bank sudah semakin membesar melebihi nilai asetnya.
Salah satu keputusan yang akhirnya menjadi bumerang adalah keputusan BI pada pertengahan 1997 yang menyatakan bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI diperbolehkan untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan transfer dana ke cabang-cabang, sampai kondisi pasar uang mereda.
Keputusan itu tak menyebut batas waktu dan maksimal bagi suatu bank untuk overdraft. Keputusan itu tampaknya bocor di kalangan bankir yang nakal sehingga mereka beramai-ramai terus melakukan overdraft bahkan sampai melebihi jumlah aset bank yang bersangkutan.
Terkait dengan penyaluran BLBI, pada hakikatnya dana ini disalurkan BI untuk menanggulangi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat di-rush oleh nasabahnya.
Namun, karena penyaluran BLBI itu dilakukan melalui mekanisme kliring, maka BI sesungguhnya tidak mengetahui apakah benar dana BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush, dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank.
Program penjaminan
Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu lintas giral berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Pemberian BLBI tak terlepas dari program penjaminan kewajiban bank umum sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Namun, dalam praktiknya program penjaminan yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 26 Januari 1998, yang diikuti dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ternyata tidak dimanfaatkan oleh BI dan BPPN.
Dalam salah satu kesimpulannya, BPK menyatakan, penyebab membengkaknya BLBI adalah karena BI dan BPPN tak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten.
Dari hasil audit investigasi BPK diketahui, dana BLBI yang disalurkan sebesar Rp 144,5 triliun (posisi per 29 Januari 1999). BPK menemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen dari total dana BLBI yang disalurkan.
Sampai saat ini upaya penyelesaian BLBI belum menunjukkan hasil memadai. Upaya penyelesaian BLBI sudah mencapai satu dasawarsa dan melibatkan lima presiden, mulai dari zaman Soeharto, BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Tuntutan untuk mengusut kasus BLBI selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga pergantian jaksa agung baru. Namun, tindak lanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.
Masalahnya terletak pada komitmen dari para pemimpin pemerintahan dan pemimpin politik serta keseriusan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus itu.
Jika tak ada komitmen dan keseriusan, yang muncul adalah sekadar move-move politik saja dan tak menyentuh kepentingan hukum dan rakyat.
No comments:
Post a Comment