Saturday, February 2, 2008

Krisis Ekonomi AS dan Rezim Korporasi


Jum'at, 1 Februari 2008 - 11:03 wib

AMERIKA Serikat (AS) saat ini sedang mengalami krisis ekonomi cukup parah karena utang Pemerintah AS terus membengkak. Total utang nasional mencapai USD8,9 triliun, sedangkan produk domestik bruto (PDB) hanya USD13 triliun.

Di sisi pengeluaran, jelas Pemerintah AS membutuhkan biaya tidak sedikit untuk membiayai perang yang mereka cetuskan. Invasi ke Irak dan okupasi di Afganistan tidak membutuhkan biaya sedikit. Permasalahan utama krisis ekonomi di sana ialah tidak signifikannya penerimaan pemerintah.

Pajak korporasi yang selama ini menjadi penyumbang besar terhadap anggaran pendapatan AS mulai berkurang. Hal ini karena kebijakan Presiden George Walker Bush yang mengenakan pajak rendah terhadap korporasi. Kebijakan ini merupakan program pengurangan utang terbesar dalam sejarah perekonomian AS.

Bush berargumen pengurangan pajak terhadap korporasi akan membantu meningkatkan aktivitas perekonomian. Pada kenyataannya, kebijakan tersebut ditentang berbagai pihak, termasuk Menteri Keuangan Paul O'Neill yang kemudian mengundurkan diri.

Menurut O'Neill, dikeluarkannya kebijakan ini akan berdampak pada berkurangnya subsidi pemerintah terhadap jaring pengamanan sosial, seperti subsidi pangan dan obat-obatan untuk warga miskin. Langkah yang diambil Bush ini tidak menghasilkan suatu perubahan yang mendasar selain pertumbuhan ekonomi yang rendah sebesar 2,5 persen per tahun.

Angka tersebut merupakan rata-rata pertumbuhan terendah dalam beberapa dekade terakhir di AS. Di sisi lain, jurang antara warga kaya dan miskin semakin jelas. Pajak korporasi yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan pendapatan justru dikurangi oleh Bush. Kisah perselingkuhan rezim Bush dengan korporasi yang bercokol di AS ternyata bukan isapan jempol semata.

Ada beberapa fakta yang mengaitkan kepemilikan orang-orang dekat Bush terhadap beberapa korporasi. Dick Cheney, Wakil Presiden AS, merupakan mantan CEO Halliburton. Perusahaan ini mendapat kontrak pengadaan bahan bakar untuk Irak. Sebuah anak perusahaan Halliburton mendapat sejumlah kontrak besar dari pemerintah AS untuk berbagai proyek di Irak, tanpa mengikuti penawaran terbuka. Kontrak-kontrak itu bisa mencapai lebih dari USD15 miliar.

Bush sendiri memiliki perusahaan Harken, yang di tahun 1990-an pernah mendapatkan kontrak eksplorasi minyak lepas pantai yang terletak di antara lahan dari dua negara yang dimiliki Saudi Arabia dan Qatar. Saat itu perusahaan Bush belum memiliki pengalaman internasional dibanding perusahaan minyak besar seperti Chevron atau Amoco.

Harian TheWall Street Journal melihat Bahrain saat itu tengah berusaha menyenangkan Bush Daddy (Bush Sr yang kala itu menjabat presiden) sehingga kontrak tersebut diberikan kepada Bush Jr. Marvin Bush, yang merupakan saudara Presiden Bush duduk dalam jajaran direksi Dulles International Airport dan United Airlines. Paman Bush, Jonathan J Bush, merupakan pemimpin dari Riggs Investment Management Co. Kebijakan pemerintahan Bush yang mengurangi pajak korporasi jelas menguntungkan orang-orang di sekitar Dinasti Bush.

Pengurangan pajak yang berdampak pada berkurangnya sektor penerimaan AS turut berimplikasi pada kesenjangan sosial yang semakin lebar pada masyarakat AS maupun menurunnya kemampuan pemerintah membayar utang.

Kesimpulannya, George Walker Bush menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan kolega maupun dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan negarawan Inggris Lord Acton yang berpendapat, power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely (sebuah kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan). (*)

ANDHY MARTUARAJA
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

No comments: