Kamis, 31 Januari 2008 - 10:59 wib
"SAYA meminta kepada pimpinan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, agar memikirkan penjabaran yang lebih luas dan lengkap mengenai demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berdasarkan Pancasila. Kita semua berharap agar pemikirpemikir kita di bidang ekonomi dapat mengembangkan pemikiran mengenai demokrasi ekonomi itu; yang di satu pihak memiliki integritas ilmiah secara universal,dan di lain pihak dikaitkan dengan pengamalan semua sila dalam Pancasila selaku kesatuan...." (Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1989).
Sungguh tidak mudah menjawab harapan Presiden Soeharto saat itu. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di bawah kepemimpinan Prof JB Sumarlin kemudian menyerahkan sumbangan pemikirannya pada Agustus 1990.
Setelah melalui perdebatan seru sesudah itu, akhirnya muncul semacam kesepakatan bahwa yang dimaksudkan dengan demokrasi ekonomi khas Indonesia adalah sistem ekonomi pasar terkelola.
Menyimak kesan dan kenangan atas wafatnya Soeharto, banyak kalangan kembali menyinggung tentang keberhasilan pembangunan ekonomi era Soeharto,seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengendalian inflasi yang efektif, ketahanan pangan yang meningkat, dan pendapatan per kapita yang naik berlipat-lipat. Bahkan muncul istilah Soehartonomics untuk menandai paradigma pembangunan ekonomi periode tersebut.
Tentu saja tidak mudah menjabarkan apa itu Soehartonomics karena Pak Harto sendiri - yang tampaknya terus bergumul dengan tarik-menarik (trade-off) antara pertumbuhan dan pemerataan, antara liberalisasi dan intervensi negara-justru meminta ISEI untuk menjabarkannya.
Konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta kemudian dikembangkan ekonom seperti Sarbini Sumawinata, Mubyarto, Kwik Kian Gie, Emil Salim, dan Sri Edi Swasono,memang terus-menerus mengundang polemik. Terkait erat dengan Soehartonomics adalah istilah Mafia Berkeley. Istilah ini muncul pada forum "Indonesian Investment Conference" yang diselenggarakan di Jenewa, November 1967, antara delegasi Indonesia dan para pebisnis global yang disponsori James A Linen,Presiden Time Inc.
Hadir dalam konferensi itu nama-nama beken seperti David Rockefeller (Chase) dan Robert Hills (Freeport). Konon istilah tersebut dilontarkan oleh David Rockefeller karena begitu terkesan dengan sejumlah ekonom muda lulusan Universitas California, Berkeley, yang begitu fasih berbicara dalam bahasa yang dimengerti para pebisnis global tersebut.
Itu sebabnya,para ekonom yang membantu Soeharto sejak awal, yang telah mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sejak Juli 1966 dan Bank Dunia sejak Agustus 1966,seperti Widjojo Nitisastro,Ali Wardhana,MohammadSadli, danEmilSalim, sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley generasi pertama.
Tentu tidak mudah menemukan benang merah pemikiran ekonomi Widjojo dan kawan-kawan atau yang juga pernah diistilahkan sebagai Widjojonomics.Penyederhanaan berlebihan terhadap pemikiran mereka bisa membawa kesimpulan seakanakan mereka tidak memiliki nasionalisme ekonomi, percaya membabi-buta kepada ekonomi pasar dan modal asing.
Dalam berbagai forum mereka sendiri selalu menyatakan sebagai ekonom kubu Keynesian yang percaya bahwa ekonomi pasar bekerja dengan baik apabila dikawal oleh perangkat regulasi pemerintah yang kuat. Prestasi para ekonom yang mendampingi Pak Harto memang cukup mencengangkan.
Namun, tak sedikit pula kalangan yang menyatakan sesungguhnya tugas memulihkan perekonomian Indonesia pasca-Orde Lama tergolong cukup ringan.Jika diibaratkan dengan kapal dan nakhoda, para ekonom tersebut seperti berlayar di atas kapal dengan bahan baku penuh, geladak yang tidak gaduh, dan suasana lautan yang tenang. Selain, tentu saja, pemulihan tersebut sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan proyek besar kapitalisme internasional (Jeffrey Winters, 1999; Revrisond Baswir,2006).
Krisis hebat yang melanda Indonesia 1997/1998 menyadarkan kita ternyata pembangunan Orde Baru amat mengandalkan pada utang luar negeri dan dilakukan pada tingkat efisiensi yang rendah. Efisiensi rendah ini merupakan akibat dari maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Tentu kita menyesal mengapa Soehartonomics atau Widjojonomics yang dipraktikkan saat itu tidak disertai dengan pemerintahan yang bersih (clean government), sehingga kita bisa benar-benar menjadi salah satu Macan Asia.Padahal, secara universal telah muncul pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat dalam sistem ekonomi pasar mensyaratkan tiga pilar.
Pasar yang efisien, pemerintahan yang bersih, dan modal sosial yang kuat. Dengan demikian, dalam menimbang jasa Soeharto,kita tetap harus bersikap objektif, mengemukakan keberhasilan, tetapi juga kekurangannya. Hanya dengan sikap seperti ini kita bisa belajar dari masa lalu dan tetap terbuka untuk melakukan perbaikan terus-menerus di masa depan.
Sikap menonjol-nonjolkan keberhasilan tanpa mau mengakui kekurangan akan membuat kita dungu, romantis, dan melodramatik. Sebaliknya, sikap mencela sematamata membuat kita lupa,bahwa sebagai bangsa kita pernah belajar secara kolektif untuk waktu yang lama dengan biaya belajar yang sangat besar.
Selamat jalan,Pak Harto. Sebagai bangsa kami akan mengenangmu dengan segala kelebihan dan kekurangan. Yang baik akan terus kami pupuk,yang buruk akan kami buat menjadi lapuk. (*)
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PhD
Direktur Program Pascasarjana dan Program Doktor IBII
Ketua ISEI Salatiga
Sungguh tidak mudah menjawab harapan Presiden Soeharto saat itu. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di bawah kepemimpinan Prof JB Sumarlin kemudian menyerahkan sumbangan pemikirannya pada Agustus 1990.
Setelah melalui perdebatan seru sesudah itu, akhirnya muncul semacam kesepakatan bahwa yang dimaksudkan dengan demokrasi ekonomi khas Indonesia adalah sistem ekonomi pasar terkelola.
Menyimak kesan dan kenangan atas wafatnya Soeharto, banyak kalangan kembali menyinggung tentang keberhasilan pembangunan ekonomi era Soeharto,seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengendalian inflasi yang efektif, ketahanan pangan yang meningkat, dan pendapatan per kapita yang naik berlipat-lipat. Bahkan muncul istilah Soehartonomics untuk menandai paradigma pembangunan ekonomi periode tersebut.
Tentu saja tidak mudah menjabarkan apa itu Soehartonomics karena Pak Harto sendiri - yang tampaknya terus bergumul dengan tarik-menarik (trade-off) antara pertumbuhan dan pemerataan, antara liberalisasi dan intervensi negara-justru meminta ISEI untuk menjabarkannya.
Konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta kemudian dikembangkan ekonom seperti Sarbini Sumawinata, Mubyarto, Kwik Kian Gie, Emil Salim, dan Sri Edi Swasono,memang terus-menerus mengundang polemik. Terkait erat dengan Soehartonomics adalah istilah Mafia Berkeley. Istilah ini muncul pada forum "Indonesian Investment Conference" yang diselenggarakan di Jenewa, November 1967, antara delegasi Indonesia dan para pebisnis global yang disponsori James A Linen,Presiden Time Inc.
Hadir dalam konferensi itu nama-nama beken seperti David Rockefeller (Chase) dan Robert Hills (Freeport). Konon istilah tersebut dilontarkan oleh David Rockefeller karena begitu terkesan dengan sejumlah ekonom muda lulusan Universitas California, Berkeley, yang begitu fasih berbicara dalam bahasa yang dimengerti para pebisnis global tersebut.
Itu sebabnya,para ekonom yang membantu Soeharto sejak awal, yang telah mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sejak Juli 1966 dan Bank Dunia sejak Agustus 1966,seperti Widjojo Nitisastro,Ali Wardhana,MohammadSadli, danEmilSalim, sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley generasi pertama.
Tentu tidak mudah menemukan benang merah pemikiran ekonomi Widjojo dan kawan-kawan atau yang juga pernah diistilahkan sebagai Widjojonomics.Penyederhanaan berlebihan terhadap pemikiran mereka bisa membawa kesimpulan seakanakan mereka tidak memiliki nasionalisme ekonomi, percaya membabi-buta kepada ekonomi pasar dan modal asing.
Dalam berbagai forum mereka sendiri selalu menyatakan sebagai ekonom kubu Keynesian yang percaya bahwa ekonomi pasar bekerja dengan baik apabila dikawal oleh perangkat regulasi pemerintah yang kuat. Prestasi para ekonom yang mendampingi Pak Harto memang cukup mencengangkan.
Namun, tak sedikit pula kalangan yang menyatakan sesungguhnya tugas memulihkan perekonomian Indonesia pasca-Orde Lama tergolong cukup ringan.Jika diibaratkan dengan kapal dan nakhoda, para ekonom tersebut seperti berlayar di atas kapal dengan bahan baku penuh, geladak yang tidak gaduh, dan suasana lautan yang tenang. Selain, tentu saja, pemulihan tersebut sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan proyek besar kapitalisme internasional (Jeffrey Winters, 1999; Revrisond Baswir,2006).
Krisis hebat yang melanda Indonesia 1997/1998 menyadarkan kita ternyata pembangunan Orde Baru amat mengandalkan pada utang luar negeri dan dilakukan pada tingkat efisiensi yang rendah. Efisiensi rendah ini merupakan akibat dari maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Tentu kita menyesal mengapa Soehartonomics atau Widjojonomics yang dipraktikkan saat itu tidak disertai dengan pemerintahan yang bersih (clean government), sehingga kita bisa benar-benar menjadi salah satu Macan Asia.Padahal, secara universal telah muncul pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat dalam sistem ekonomi pasar mensyaratkan tiga pilar.
Pasar yang efisien, pemerintahan yang bersih, dan modal sosial yang kuat. Dengan demikian, dalam menimbang jasa Soeharto,kita tetap harus bersikap objektif, mengemukakan keberhasilan, tetapi juga kekurangannya. Hanya dengan sikap seperti ini kita bisa belajar dari masa lalu dan tetap terbuka untuk melakukan perbaikan terus-menerus di masa depan.
Sikap menonjol-nonjolkan keberhasilan tanpa mau mengakui kekurangan akan membuat kita dungu, romantis, dan melodramatik. Sebaliknya, sikap mencela sematamata membuat kita lupa,bahwa sebagai bangsa kita pernah belajar secara kolektif untuk waktu yang lama dengan biaya belajar yang sangat besar.
Selamat jalan,Pak Harto. Sebagai bangsa kami akan mengenangmu dengan segala kelebihan dan kekurangan. Yang baik akan terus kami pupuk,yang buruk akan kami buat menjadi lapuk. (*)
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PhD
Direktur Program Pascasarjana dan Program Doktor IBII
Ketua ISEI Salatiga
No comments:
Post a Comment