Adiwarman A Karim
Presiden Direktur Karim Businiess Consulting
Sungguh menakjubkan visi para pendiri negara ini yang tecermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Beragam suku bangsa, ras, agama, budaya, bahasa bagaikan mozaik yang mewarnai bangsa ini, the color of Indonesia. Semua terangkai indah dalam format Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sama menakjubkannya dengan keragaman pemahaman fikih yang sering diistilahkan perbedaan adalah rahmat. Kaedah fikihnya bila keadaan sempit hukum meluas, bila keadaan luas hukum menyempit. Ada kelenturan fikih dalam menafsirkan syariah. Syariahnya jelas, misalnya memakai jilbab wajib.
Namun, tafsiran fikihnya dapat beragam. Ada mazhab yang mewajibkan menutup seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, ada yang malah menutupi muka dengan cadar. Mazhab lain bahkan membaginya bila cantik menggunakan cadar, bila tidak maka tidak perlu cadar. Bahkan, ada mazhab yang mengatakan wanita yang sedang bekerja di sawah, separuh betisnya bukan aurat. Inilah the color of Sharia.
Begitu pula dengan sistem perbankan. Negara ini memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk memilih sistem perbankan mana yang dipilihnya. Semua orang bebas memilih tanpa ada diskriminasi agama antara sistem perbankan syariah atau sistem perbankan konvensional, bahkan bebas pula untuk memilih keduanya atau sama sekali tidak memilih sistem perbankan mana pun.
Hal yang sama kita temui dalam hukum melakukan kontrak yang menganut asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas ini memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan mengikat mereka. Dalam bahasa mudahnya asal rela sama rela. Inilah yang dalam syariah disebut kaidah hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, asas kebebasan berkontrak ini juga mencakup kebebasan untuk memilih peradilan mana (choice of forum) yang akan digunakan ketika terjadi perselihan atau persengketaan dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Sebagian mungkin memilih peradilan umum, sebagian lain mungkin memilih arbitrase, atau malah memilih mediasi. Jelasnya, choice of forum merupakan bagian klausula kontrak.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, pilihan forum yang selama ini digunakan biasanya adalah pengadilan negeri atau badan arbitrase. Terbitnya Undang-Undang No 3/2006 tentang Peradilan Agama, telah menambah pilihan forum bagi pelaku perbankan syariah, yaitu pengadilan agama.
UU ini memberikan tambahan tugas dan wewenang pengadilan agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah (pasal 49). Bahkan, penjelasan pasal ini mengatakan penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.
Yang dimaksud dengan ekonomi syariah dalam UU ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Patut digarisbawahi bahwa UU ini memberikan kewenangan baru kepada peradilan agama tanpa mengurangi kewenangan peradilan umum untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama di bidang ekonomi secara umum, termasuk ekonomi syariah. Oleh karenanya, tugas dan kewenangan pengadilan agama seharusnya dipandang sebagai tambahan pilihan forum peradilan bagi para pelaku perbankan syariah.
Bila dipaksakan, misalnya melalui suatu undang-undang, bahwa para pelaku perbankan syariah harus membawa perkaranya ke pengadilan agama, maka hal ini mengurangi hak kebebasan para pihak yang berkontrak. Begitu pula bila dipaksakan untuk ke pengadilan umum melalui suatu undang-undang, ia akan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Lagi pula choice of forum berada dalam ranah kontrak, bukan ranah undang-undang.
Kekhawatiran pengadilan umum tidak memiliki kompetensi menangani perkara ekonomi syariah sama kelirunya dengan kekhawatiran pengadilan agama tidak memiliki kompetensi menangani perkara perbankan syariah yang bersifat komersial. Berbeda dengan pengadilan niaga yang mempunyai hukum acaranya sendiri, pengadilan agama menggunakan hukum acara yang sama dengan yang digunakan oleh pengadilan umum.
Bahkan, kewenangan peradilan umum dan peradilan agama dalam menangani perkara ekonomi syariah akan mendorong peningkatan kompentensi dan kualitas kedua lembaga tersebut. Keduanya akan berlomba meningkatkan kompetensi di bidang ekonomi syariah.
Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan inilah indahnya kebhinekaan dalam format Negara Kesatuan Republik Indonesia. Biarlah wujud kebhinekaan juga tecermin dalam kebebasan masyarakat memilih forum peradilan yang disepakatinya dalam kontrak, sebagaimana masyarakat bebas memilih sistem perbankan yang dianggap sesuai. Inilah the color of Indonesia.
No comments:
Post a Comment