Rabu, 23 Januari 2008 - 10:21 wib
Belakangan ini, satu fenomena menarik yang terjadi adalah masuknya para investor asing ke kancah perbankan domestik. Setelah masuk ke bank-bank rekap melalui strategic sales, kini giliran bank gurem yang diburu. Bank-bank kecil, yang belakangan ini mendapatkan tekanan dari otoritas untuk segera meningkatkan permodalannya, satu demi satu mulai diambil alih pihak asing. Simak saja misalnya, Bank Swadesi diambil alih oleh Bank of India, Bank Halim international diambil oleh Industrial & Commercial Bank of China (ICBC), Bank ANK oleh Bank Commonwealth, Bank Indomonex oleh State Bank of India.
Menyusul Bank Haga dan Hagakita oleh Rabobank International,Bank BNP oleh ACOM ltd & Bank of Tokyo- Mitsubishi-UFJ Ltd. Sebelumnya, bank-bank rekap, seperti BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, Bank Lippo, sudah diambil alih oleh manajemen asing melalui strategic sales. Juga beberapa bank non-rekap, seperti Bank NISP dan Bank Buana ikut diambil alih bank-bank asing. Pendek kata, hampir semua bank-bank papan atas di luar Bank BUMN kini sudah dimiliki oleh asing. Inilah fenomena yang perlu dicermati bersama, di balik gebyar gemerlap kebangkitan perbankan domestik.
Pemain Asing jika diselisik lebih mendalam, masuknya pemain (investor) asing (terlebih yang kredibel) ke dalam bank-bank rekap sebenarnya memiliki lebih banyak segi positifnya, ketimbang sisi negatif, di antaranya: Pertama, dilihat dari segi persepsi risiko, maka bank-bank yang sudah didivestasi dan kini mayoritas dimiliki asing akan memiliki keuntungan. Dalam konteks ini, bank-bank itu akan dipandang memiliki risiko yang lebih kecil dengan manajemen (risiko) yang lebih kuat. Perbankan asing selama ini sangat ekstrahati-hati di dalam mengelola bank dengan menggunakan manajemen risiko yang lebih baik. Akibatnya, investor yang selama ini skeptis terhadap perbankan di Indonesia tidak akan lagi ragu terhadap manajemen bank-bank tersebut. Tidak hanya itu tentunya, dengan masuknya institusi asing yang memiliki peringkat yang lebih baik, maka bank-bank yang sudah didivestasi akan memiliki ruang gerak lebih leluasa untuk menurunkan bunga depositonya. Ini dimungkinkan setelah LPS membatasi penjaminan yang tinggal Rp100 juta.
Segi positif lainnya, premium risiko untuk aset-aset Indonesia yang lain bisa ikut terimbas menurun akibat masuknya institusi asing ke bank-bank itu. Hal itu bisa mematahkan persepsi yang berkembang selama ini, yakni restrukturisasi dunia perbankan Indonesia yang selama ini telah memakan biaya Rp650 triliun tidak berjalan dengan baik. Sisi positif lain dari masuknya investor asing jelas sangat membantu bank-bank yang bersangkutan berlaga di pasar internasional. Sebab, apabila mereka ingin melebarkan sayap keluar negeri, mereka tidak membutuhkan biaya yang besar. Mereka bisa melakukan aliansi strategis (strategic alliances) dengan mitranya sesama bank yang sudah mendunia (mengglobal) itu. Karena itu, masuknya pemain asing ke bank-bank rekap setidaknya akan memacu bank ini untuk melakukan aliansi strategis secara fungsional dalam hal operasional dan marketing.
Dengan aliansi strategis semacam ini, bank-bank itu tidak perlu membuka cabangnya di luar negeri. Beberapa bentuk aliansi strategis semacam ini sudah jamak dilakukan di bidang industri minuman dan makanan. Aliansi strategis itu dilakukan antara Aqua dengan Danone, antara Coca Cola dengan Ades, perusahaan komputer Hawlet Pakarge (HP) dengan Canon, dan lain-lain. Tampaknya, wacana ini perlu diangkat ke permukaan karena sangat sayang apabila bank-bank rekap yang sudah menguras kocek pemerintah demikian besar, ternyata tidak bisa berkembang dengan baik sebagaimana mestinya. Karena itu, selain menggarap pasar domestik yang memang potensial, tampaknya pasar mancanegara perlu mulai dilirik dan upaya penjajakan ke arah sana sudah selayaknya mulai dipikirkan sejak sekarang ini.
Masuknya pemain asing, sekali lagi jelas akan memacu percepatan perambahan bank-bank pascadivestasi ke mancanegara sehingga lingkup operasionalnya tidak lagi terbatas pada Indonesia saja. Lebih dari itu, apabila bank-bank ini sudah beroperasi secara mendunia, bisnis nasabah yang sudah mendunia juga akan bisa digarap lebih lanjut.
Namun, untuk mencapainya, dibutuhkan SDM yang andal dan profesional. Masuknya investor asing tersebut setidaknya akan mengubah pola dan sistem manajemen SDM. Nah, dengan pola dan sistem yang baru itu, si karyawan bank-bank ini akan diposisikan untuk memahami seluk-beluk perdagangan dan transaksi pembayaran internasional serta transaksi perbankan inkonvensional. Para investor asing setidaknya akan menyumbangkan peran yang sangat besar di dalam mengembangkan SDM yang mengglobal.
Manajemen bank-bank pascadivestasi tentunya harus mempersiapkan masalah ini sejak dini atau minimal terus menggumuli ke depan. Karena itu, persiapan SDM layak diperlukan karena merupakan syarat mutlak untuk bersaing lebih tajam lagi. Seleksi alam karyawan akan terjadi dengan sendirinya. Karyawan yang tidak memiliki kompetensi (kemampuan teknis perbankan), tidak kredibel, dan tak cakap tentu (tidak lulus fit and proper test) bisa dipastikan akan tergusur dari panggung persaingan. Karyawan yang hanya memikirkan haknya tanpa diimbangi dengan kualitas yang memadai, cepat atau lambat akan tergusur. Bukan tidak mungkin, apabila era internet banking sudah benar-benar memasyarakat, keberadaan karyawan bank sudah sedikit demi sedikit berkurang perannya. Nasabah akan sangat jarang menemui karyawan bank dan lebih senang berhubungan dengan komputer atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Catatan Penutup Mau tidak mau, suka atau tidak suka, cepat atau lambat, globalisasi ekonomi akan kita hadapi bersama. Untuk itu, para pemain bisnis, termasuk industri perbankan harus mulai memikirkannya. Bertaburannya investor asing ke beberapa bank gurem belakangan ini dan bank rekap sebelumnya setidaknya akan menstimulasi bank-bank ini untuk menjadi pionir di dalam memasuki pasar bebas ini. Jangan sampai, perbankan nasional justru menjadi tamu di negaranya sendiri akibat kalah bersaing dengan bank milik asing, yang saat ini sudah terlihat gejala dominasinya. Sudah saatnya perbankan nasional bangkit untuk ikut bersaing memperebutkan ''kue" globalisasi ekonomi di berbagai belahan dunia.
Sekaranglah saatnya persiapan itu dilakukan. Memperkuat semua ''lini pertahanan" (operasional) dan ''lini penyerangan" (marketing) serta semua lini pendukung perlu dilakukan. Saatnya nanti perlu dilakukan proses ''fit and proper test" dan sertifikasi manajemen risiko bagi karyawan bank (bankir) yang ingin berkiprah di perbankan global. Manajemen bank-bank lokal selayaknya mempersiapkan diri sejak dini, terutama untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang sekarang ini sudah ada di depan mata. Sebab, sangat sayang rasanya apabila semua upaya yang sudah dilakukan hanya diperuntukkan mendukung bisnis lokal, yang lama kelamaan sudah kurang bisa diandalkan lagi karena tuntutan pasar memang ke arah mancanegara, ke arah go international. Masuknya investor asing akan memacu semua itu. (*)
SUSIDARTO Praktisi perbankan di Yogyakarta
Menyusul Bank Haga dan Hagakita oleh Rabobank International,Bank BNP oleh ACOM ltd & Bank of Tokyo- Mitsubishi-UFJ Ltd. Sebelumnya, bank-bank rekap, seperti BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, Bank Lippo, sudah diambil alih oleh manajemen asing melalui strategic sales. Juga beberapa bank non-rekap, seperti Bank NISP dan Bank Buana ikut diambil alih bank-bank asing. Pendek kata, hampir semua bank-bank papan atas di luar Bank BUMN kini sudah dimiliki oleh asing. Inilah fenomena yang perlu dicermati bersama, di balik gebyar gemerlap kebangkitan perbankan domestik.
Pemain Asing jika diselisik lebih mendalam, masuknya pemain (investor) asing (terlebih yang kredibel) ke dalam bank-bank rekap sebenarnya memiliki lebih banyak segi positifnya, ketimbang sisi negatif, di antaranya: Pertama, dilihat dari segi persepsi risiko, maka bank-bank yang sudah didivestasi dan kini mayoritas dimiliki asing akan memiliki keuntungan. Dalam konteks ini, bank-bank itu akan dipandang memiliki risiko yang lebih kecil dengan manajemen (risiko) yang lebih kuat. Perbankan asing selama ini sangat ekstrahati-hati di dalam mengelola bank dengan menggunakan manajemen risiko yang lebih baik. Akibatnya, investor yang selama ini skeptis terhadap perbankan di Indonesia tidak akan lagi ragu terhadap manajemen bank-bank tersebut. Tidak hanya itu tentunya, dengan masuknya institusi asing yang memiliki peringkat yang lebih baik, maka bank-bank yang sudah didivestasi akan memiliki ruang gerak lebih leluasa untuk menurunkan bunga depositonya. Ini dimungkinkan setelah LPS membatasi penjaminan yang tinggal Rp100 juta.
Segi positif lainnya, premium risiko untuk aset-aset Indonesia yang lain bisa ikut terimbas menurun akibat masuknya institusi asing ke bank-bank itu. Hal itu bisa mematahkan persepsi yang berkembang selama ini, yakni restrukturisasi dunia perbankan Indonesia yang selama ini telah memakan biaya Rp650 triliun tidak berjalan dengan baik. Sisi positif lain dari masuknya investor asing jelas sangat membantu bank-bank yang bersangkutan berlaga di pasar internasional. Sebab, apabila mereka ingin melebarkan sayap keluar negeri, mereka tidak membutuhkan biaya yang besar. Mereka bisa melakukan aliansi strategis (strategic alliances) dengan mitranya sesama bank yang sudah mendunia (mengglobal) itu. Karena itu, masuknya pemain asing ke bank-bank rekap setidaknya akan memacu bank ini untuk melakukan aliansi strategis secara fungsional dalam hal operasional dan marketing.
Dengan aliansi strategis semacam ini, bank-bank itu tidak perlu membuka cabangnya di luar negeri. Beberapa bentuk aliansi strategis semacam ini sudah jamak dilakukan di bidang industri minuman dan makanan. Aliansi strategis itu dilakukan antara Aqua dengan Danone, antara Coca Cola dengan Ades, perusahaan komputer Hawlet Pakarge (HP) dengan Canon, dan lain-lain. Tampaknya, wacana ini perlu diangkat ke permukaan karena sangat sayang apabila bank-bank rekap yang sudah menguras kocek pemerintah demikian besar, ternyata tidak bisa berkembang dengan baik sebagaimana mestinya. Karena itu, selain menggarap pasar domestik yang memang potensial, tampaknya pasar mancanegara perlu mulai dilirik dan upaya penjajakan ke arah sana sudah selayaknya mulai dipikirkan sejak sekarang ini.
Masuknya pemain asing, sekali lagi jelas akan memacu percepatan perambahan bank-bank pascadivestasi ke mancanegara sehingga lingkup operasionalnya tidak lagi terbatas pada Indonesia saja. Lebih dari itu, apabila bank-bank ini sudah beroperasi secara mendunia, bisnis nasabah yang sudah mendunia juga akan bisa digarap lebih lanjut.
Namun, untuk mencapainya, dibutuhkan SDM yang andal dan profesional. Masuknya investor asing tersebut setidaknya akan mengubah pola dan sistem manajemen SDM. Nah, dengan pola dan sistem yang baru itu, si karyawan bank-bank ini akan diposisikan untuk memahami seluk-beluk perdagangan dan transaksi pembayaran internasional serta transaksi perbankan inkonvensional. Para investor asing setidaknya akan menyumbangkan peran yang sangat besar di dalam mengembangkan SDM yang mengglobal.
Manajemen bank-bank pascadivestasi tentunya harus mempersiapkan masalah ini sejak dini atau minimal terus menggumuli ke depan. Karena itu, persiapan SDM layak diperlukan karena merupakan syarat mutlak untuk bersaing lebih tajam lagi. Seleksi alam karyawan akan terjadi dengan sendirinya. Karyawan yang tidak memiliki kompetensi (kemampuan teknis perbankan), tidak kredibel, dan tak cakap tentu (tidak lulus fit and proper test) bisa dipastikan akan tergusur dari panggung persaingan. Karyawan yang hanya memikirkan haknya tanpa diimbangi dengan kualitas yang memadai, cepat atau lambat akan tergusur. Bukan tidak mungkin, apabila era internet banking sudah benar-benar memasyarakat, keberadaan karyawan bank sudah sedikit demi sedikit berkurang perannya. Nasabah akan sangat jarang menemui karyawan bank dan lebih senang berhubungan dengan komputer atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Catatan Penutup Mau tidak mau, suka atau tidak suka, cepat atau lambat, globalisasi ekonomi akan kita hadapi bersama. Untuk itu, para pemain bisnis, termasuk industri perbankan harus mulai memikirkannya. Bertaburannya investor asing ke beberapa bank gurem belakangan ini dan bank rekap sebelumnya setidaknya akan menstimulasi bank-bank ini untuk menjadi pionir di dalam memasuki pasar bebas ini. Jangan sampai, perbankan nasional justru menjadi tamu di negaranya sendiri akibat kalah bersaing dengan bank milik asing, yang saat ini sudah terlihat gejala dominasinya. Sudah saatnya perbankan nasional bangkit untuk ikut bersaing memperebutkan ''kue" globalisasi ekonomi di berbagai belahan dunia.
Sekaranglah saatnya persiapan itu dilakukan. Memperkuat semua ''lini pertahanan" (operasional) dan ''lini penyerangan" (marketing) serta semua lini pendukung perlu dilakukan. Saatnya nanti perlu dilakukan proses ''fit and proper test" dan sertifikasi manajemen risiko bagi karyawan bank (bankir) yang ingin berkiprah di perbankan global. Manajemen bank-bank lokal selayaknya mempersiapkan diri sejak dini, terutama untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang sekarang ini sudah ada di depan mata. Sebab, sangat sayang rasanya apabila semua upaya yang sudah dilakukan hanya diperuntukkan mendukung bisnis lokal, yang lama kelamaan sudah kurang bisa diandalkan lagi karena tuntutan pasar memang ke arah mancanegara, ke arah go international. Masuknya investor asing akan memacu semua itu. (*)
SUSIDARTO Praktisi perbankan di Yogyakarta
No comments:
Post a Comment