Monday, February 18, 2008

Kebijakan Privatisasi BUMN Dulu dan Sekarang



Sunarsip
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence

Pada tahun 2008 ini pemerintah berencana akan memprivatisasikan 38 BUMN. Dari jumlah itu, sebagian merupakan rencana privatisasi baru dan lainnya merupakan carry over dari rencana privatisasi BUMN 2007 yang belum dieksekusi.

Sebagian pihak menilai pemerintah terlalu agresif dalam membuat rencana privatisasi BUMN. Yang menarik lagi, kebijakan privatisasi BUMN di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini dinilai sepi kritik, tidak seperti pada era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mengaitkan kebijakan privatisasi BUMN dengan isu jual aset negara.

Kebijakan privatisasi BUMN saat ini memang memiliki dimensi yang berbeda bila dibandingkan pada era Presiden Megawati. Wajar kritik terhadap kebijakan privatisasi BUMN saat ini tidak seperti dulu. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, nuansa jual obral aset negara di balik privatisasi BUMN dan penjualan aset yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang waktu itu juga di bawah kendali Kementerian BUMN terlihat sangat kental.

Dalam konteks penjualan aset kelolaan BPPN, misalnya, tingkat asset recovery rate (ARR) atas penjualan aset di BPPN kurang dari 30 persen. Dibandingkan dengan negara lain yang terkena krisis, ARR kita jauh lebih kecil. Danaharta (BPPN-nya Malaysia), misalnya, berhasil mendapatkan ARR sebesar 73 persen. Kemudian, Kamco (Korean Asset Management Corporation) berhasil menjual aset yang dikelolanya mencapai ARR sebesar 39 persen.

Hal yang sama juga terjadi pada kebijakan privatisasi BUMN. Kasus yang paling aktual dan tidak akan pernah dilupakan adalah penjualan murah PT. Indosat kepada Temasek Singapura. Bahkan, kini penjualan Indosat justru menimbulkan persoalan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan telah terjadi persaingan tidak sehat dalam industri telekomunikasi akibat kepemilikan silang Temasek di Indosat dan Telkomsel.

Kebijakan privatisasi BUMN saat ini juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN. Meski dalam beberapa hal materi UU No 19/2003 perlu dikaji lagi, secara de jure, privatisasi BUMN adalah kebijakan yang dilindungi UU sehingga kita tidak bisa lagi menyatakan tidak pada kebijakan privatisasi BUMN, sepanjang telah sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan UU No 19/2003.

Ke depan rambu-rambu privatisasi BUMN dalam UU No 19/2003 inilah yang perlu dikaji lagi. Ini berbeda sekali ketika kebijakan privatisasi BUMN pada era Pemerintahan Presiden Megawati. Saat itu absennya perundang-undangan telah membuat kebijakan privatisasi menimbulkan persepsi yang beragam. Terlebih lagi, lingkungan politik waktu itu memang berpotensi bagi munculnya moral hazard dalam kebijakan privatisasi BUMN. Maka, tidak mengherankan kebijakan privatisasi BUMN waktu itu banyak menimbulkan kecurigaan.

Inkonsistensi
Meski demikian, ini tidak berarti bahwa kebijakan privatisasi BUMN yang dikembangkan saat ini tidak memiliki kekurangan. Penulis melihat bahwa di sana sini masih terdapat banyak hal yang perlu dibenahi agar kebijakan privatisasi ini tidak menimbulkan kontroversi yang justru bisa menjadi bumerang bagi Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa selain kebijakan privatisasi, pemerintah (dalam hal ini Kementerian BUMN) juga telah mencanangkan kebijakan restrukturisasi dan konsolidasi BUMN, seperti pembentukan holding company maupun merger/akuisisi antar-BUMN. Di sisi lain, BUMN juga hidup dalam lingkungan sektoral yang tentunya perlu menjadi pertimbangan.

Oleh karenanya, konsistensi terhadap kebijakan restrukturisasi BUMN dan sektoral merupakan hal penting menjadi pertimbangan dalam menjalankan privatisasi BUMN. Kementerian BUMN telah mempublikasikan master plan BUMN 2005-2009. Dalam rencana tersebut telah disusun berbagai strategi kebijakan BUMN, baik itu menyangkut aspek restrukturisasi, privatisasi, maupun konsolidasi BUMN. Bahkan, master plan BUMN tersebut juga disebutkan action plan tahunan (termasuk rencana privatisasi BUMN) yang akan dilakukan pemerintah.

Bila kita mencermati dari ke-38 BUMN yang akan diprivatisasikan tahun 2008 ini, pemerintah sesungguhnya telah cukup hati-hati dalam mengombinasikan antara BUMN yang akan diprivatisasikan dan metode privatisasi yang akan ditempuh. Bila UU No 19/2003 digunakan sebagai parameter, terlihat bahwa BUMN yang akan dilepas sebagian besar telah mengikuti rambu-rambu yang dikehendaki oleh UU No 19/2003.

Meski demikian, rencana privatisasi BUMN tersebut berpotensi menimbulkan inkonsistensi, baik terhadap kebijakan restrukturisasi BUMN yang direncanakan Kementerian BUMN sendiri maupun dengan kebijakan sektoralnya. Sebagai contoh, berita di sebuah media menyebutkan bahwa Kementerian BUMN berencana melakukan penawaran umum kedua (secondary offering) hingga 40 persen saham baru PT Kimia Farma Tbk, sekaligus mendivestasi maksimal 80,66 persen saham di PT Indofarma Tbk pada tahun ini.

Bila kebijakan ini dieksekusi, posisi kepemilikan saham pemerintah di Kimia Farma akan tinggal 50 persen dan nol persen di Indofarma. Pemerintah sepertinya berniat melepas kepemilikannya di kedua BUMN farmasi ini. Padahal, dalam master plan BUMN 2005-2009 halaman 29 dinyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan sektor kesehatan dan agar bisa lebih berkompetisi di pasar global, pemerintah akan melakukan merger/konsolidasi PT Kimia Farma dan PT Indofarma. Kasus lain, misalnya dapat dicermati pada BUMN sektor Dok & Perkapalan.

Berdasarkan daftar yang dikeluarkan Kementerian BUMN, Dok & Perkapalan Surabaya dan Dok & Kodja Bahari masuk rencana BUMN yang akan diprivatisasikan pada tahun 2008 melalui strategic sales. Namun, dalam buku master plan kedua BUMN tersebut masuk dalam daftar BUMN yang akan dimerger. Setelah dimerger, BUMN perkapalan hasil merger ini baru akan diprivatisasikan pada tahun 2012-2020.

Momentum kurang tepat
Di luar kasus ini sesungguhnya masih terdapat beberapa kasus privatisasi lain yang dapat berpotensi menimbulkan inkonsistensi baik terhadap kebijakan restrukturisiasi BUMN maupun regulasi sektoral. Oleh karenanya, pemerintah perlu lebih cermat dalam menentukan BUMN yang akan diprivatisasikan.

Terlebih lagi, momentum pasar saat ini juga memperlihatkan kondisi yang kurang baik. Seperti diberitakan, Menteri BUMN telah meminta kepada seluruh BUMN untuk merevisi rencana mencari pinjaman dalam bentuk valas. Semen Gresik bahkan telah menunda penerbitan obligasi dolar AS senilai 300-500 juta dolar AS sehubungan dengan memburuknya pasar keuangan global.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah dan BUMN sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa pada tahun 2008 ini bukanlah waktu yang dapat diharapkan sukses dalam aktivitas fund raising baik melalui penerbitan saham maupun obligasi melalui pasar modal. Bila demikian halnya, sesungguhnya kebijakan privatisasi BUMN juga perlu sedikit direm untuk menghindari hasil yang kurang baik.

Tampaknya memang tidak mudah mendesain kebijakan privatisasi BUMN. Banyak hal yang perlu diperhatikan agar kebijakan ini dapat berhasil, tidak menimbulkan kontroversial, dan sejalan dengan kebijakan sektoral dan kebijakan restrukturisasi BUMN secara keseluruhan. Oleh karenanya, meski kebijakan privatisasi BUMN ini dilindungi oleh UU, adalah langkah yang bijak bila pemerintah lebih soft dalam melakukan privatisasi BUMN di tahun ini.