Monday, February 4, 2008

Resesi, Rupiah, dan Akuntabilitas BI




Senin, 4 Februari 2008 | 01:55 WIB

A Tony Prasetiantono

Perekonomian Indonesia kini bisa diibaratkan seperti sandwich: sedang terimpit dari atas dan bawah. Tekanan dari atas berupa ancaman eksternal resesi global. Sedangkan tekanan dari bawah adalah sederet persoalan domestik, mulai dari inflasi Januari 2008 yang tinggi (1,77 persen) hingga penetapan Gubernur Bank Indonesia sebagai tersangka kasus akuntabilitas dana Rp 100 miliar.

Dalam situasi demikian, apakah perekonomian Indonesia masih bisa selamat? Bagaimana dampak kasus Gubernur Bank Indonesia (BI) terhadap kredibilitas rupiah?

Menuju resesi?

Tanda-tanda resesi perekonomian Amerika Serikat mulai tampak nyata. Sederet indikator makro menunjukkan gejala negatif: inflasi year on year 4,1 persen (tahun sebelumnya cuma 2,5 persen); pengangguran tinggi, 5 persen; bulan Desember 2007 cuma tercipta 18.000 kesempatan kerja baru; sementara di sepanjang 2007 terjadi 1,6 juta pemutusan hubungan kerja (layoff). Data mikro juga menunjukkan gejala yang sama. Bank-bank terkemuka dunia rugi besar karena krisis subprime mortgage.

Citigroup, bank universal beraset terbesar di dunia, rugi 9,8 miliar dollar AS pada kuartal keempat 2007, padahal biasanya selalu untung antara 2 dan 6 miliar dollar AS per kuartal. Akibatnya, Citigroup harus direkapitalisasi 14,5 miliar dollar AS. Dananya dari sovereign-wealth funds, yakni surplus tabungan yang berasal dari ”rezeki” kenaikan harga minyak dunia dan kinerja ekspor yang mengesankan. Dana-dana dari Kuwait, Singapura, dan Korea Selatan juga telah disuntikkan untuk menyelamatkan Merrill Lynch (The Economist, 25/1/2008).

Kerugian parah juga dialami bank-bank investasi top lainnya sehingga harus dihapus buku. Menurut Newsweek (4/2/2008) dan BBC (17/1/2008), daftarnya adalah Merril Lynch (22,4 miliar dollar AS), Citigroup (19,9 miliar), UBS (14,4 miliar), Morgan Stanley (9,4 miliar), HSBC (7,5 miliar), Bear Steams (3,2 miliar), Deutsche Bank (3,2 miliar), Bank of America (3 miliar), Barclays (2,6 miliar), JP Morgan Chase (3,2 miliar), dan Credit Suisse (1 miliar). Total kerugian yang dilaporkan sementara ini 130 miliar dollar AS.

Krisis dikhawatirkan merembet ke kredit mobil dan kartu kredit (kredit konsumen). Selain industri perumahan, industri mobil juga merupakan pilar lain dalam perekonomian AS. Goldman Sachs memprediksikan, dari 940 miliar dollar AS nilai transaksi kartu kredit, yang berpotensi rugi mencapai 99 miliar dollar AS (Newsweek, 4/2/2008).

Untuk meredam ini semua, suku bunga Fed terus diturunkan hingga kini mencapai 3 persen, atau sudah lebih rendah daripada suku bunga Bank Sentral Eropa (European Central Bank) 4 persen. Suku bunga tinggi yang disebabkan kenaikan harga minyak dunia sejak Juli 2005 merupakan penyebab hancurnya kredit perumahan. Mungkin perekonomian AS masih memerlukan suku bunga lebih rendah lagi tahun ini, menjadi sekitar 2,25 hingga 2,50 persen, sebagaimana dulu dilakukan dalam periode lama di era Alan Greenspan.

Pertanyaan penting sekarang adalah, apakah resesi AS ini bersifat decoupling (tidak menyeret negara-negara lain) ataukah sebaliknya (recoupling)? Pendapat yang cukup logis adalah, Eropa, Jepang, dan Amerika Latin akan terseret resesi AS, sedangkan negara-negara emerging markets (termasuk Indonesia) terkena imbas lebih lemah. Pendapat ini antara lain didukung Lawrence Summers, mantan Menteri Keuangan AS yang kini menjadi profesor di Harvard.

Rupiah dan akuntabilitas BI

Sejauh ini Indonesia menerima imbas positif dari kebijakan penurunan suku bunga oleh The Fed. Rupiah menguat menjadi Rp 9.223 per dollar AS dan indeks harga Bursa Efek Indonesia menguat ke 2.646 pada akhir pekan lalu (1/2/2008) karena perbedaan suku bunga kita dengan Fed Rate yang kian menganga (interest rate differential kini 5 persen). Kita pun harus bersiap menerima kian derasnya aliran modal masuk jangka pendek (hot money) karena perbedaan suku bunga dengan The Fed yang melebar. Cadangan devisa BI akan segera menembus rekor baru 60 miliar dollar AS.

Dengan modal ini, kekhawatiran bahwa kasus pengucuran dana BI sebesar Rp 100 miliar akan merusak kredibilitas dan memperlemah kurs rupiah bisa ditepis. Pasar memang menilai ada masalah dalam akuntabilitas BI, tetapi tidak serta-merta menghukumnya dengan pelemahan rupiah. Pasar cukup rasional.

BI adalah institusi mapan yang dipimpin secara kolektif, di mana kekuasaan tidak hanya tertumpu pada gubernur, tetapi masih ada deputi senior dan enam deputi gubernur. Dalam posisi sekarang, ketika Gubernur BI dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, deputi senior dan para deputi bisa berbagi tugas agar Gubernur BI dapat lebih fokus terhadap kasus yang menimpanya.

Yang perlu dilakukan BI adalah, tim kolegial dewan gubernur harus terus bekerja secara profesional mengamankan rupiah dan inflasi—tugas utama otoritas moneter. Hal ini sudah diinstruksikan oleh Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Pada saat yang sama, Gubernur BI dan timnya juga perlu bekerja keras untuk menjawab pertanyaan, bagaimana akuntabilitas alokasi dana Rp 100 miliar itu?

Bagi kalangan awam hukum seperti saya, kasus ini bisa disederhanakan menjadi: di satu pihak bisa dipahami bahwa BI mempunyai kebijakan tertentu dalam menyikapi berbagai peristiwa. Dalam hal ini adalah kebijakan BI menganggarkan sejumlah dana bantuan hukum bagi para mantan pejabat tingginya dalam kasus BLBI serta kegiatan diseminasi amandemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Ini wajar, justified.

Namun, di sisi lain, yang dipersoalkan adalah berapa jumlah logis yang diperlukan, bagaimana alokasinya, dan mana bukti-bukti pengeluarannya? Jika ini bisa dibuktikan, sebenarnya perkara ini pun selesai.

Bergulirnya kasus ini ke wilayah hukum rasanya tidak sampai mengoyak kepercayaan pasar terhadap BI, yang selama ini sudah kuat dibangun oleh Burhanuddin dan timnya.

Publik kini tinggal berharap agar kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap misteri yang selama ini telanjur menjadi gosip: apakah benar kursi Dewan Gubernur BI hanya bisa diperoleh jika sejumlah ”gizi” disuntikkan ke segelintir oknum DPR? Inilah pertanyaan inti yang paling ditunggu jawabannya dengan antusias dan amat penasaran.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

No comments: