Wednesday, February 6, 2008

Tawanan dalam Gelanggang


Rabu, 6 Februari 2008 | 02:13 WIB

Sabam Siagian

Tulisan Saudara Emil Salim (mantan anggota beberapa kabinet Presiden Soeharto), ”Pantang Tinggalkan Gelanggang” (Kompas, 31/1/2008), menunjukkan suatu kedangkalan observasi dan analisis.

Penilaian itu muncul karena Emil Salim dikenal sebagai pengamat yang observasi dan analisisnya tajam, sejak aktif sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an. Dan di antara para teknokrat Orde Baru yang dipimpin Prof Widjojo Nitisastro, Emil Salim praktis adalah satu-satunya yang peka terhadap pergeseran-pergeseran pola politik. Tulisan itu mengecewakan banyak pengagum intelektualisme Bung Emil.

Antara ekonomi dan politik

Namun, beberapa kelemahan serius dalam tulisan itu, demi kejujuran intelektual, tidak dapat diabaikan begitu saja.

Pertama-tama, Bung Emil akurat saat menggambarkan keberhasilan Presiden Soeharto yang melalui tiga Pelita (1969-1984) mencapai swasembada pangan. Bahkan, dapat ditambahkan, betapa kepemimpinan Soeharto yang pengetahuannya tentang ekonomi moneter amat minim tetapi menyambut baik saran- saran tim Prof Widjojo cs dan berani mengambil risiko politik atas keputusannya sehingga inflasi sekitar 600 persen berangsur dapat diciutkan secara drastis.

Sementara itu, perlu dicatat, pada awal 1974 sejumlah aktivis gerakan mahasiswa dimasukkan dalam tahanan karena memperjuangkan demokrasi dan keterbukaan. Dan sejumlah terbitan media cetak ditutup.

Penulis agaknya menjadi keterusan dan bicara tentang ”kebebasan ekonomi yang tumbuh” serta ”peran pasar yang meningkat” menuju ”kebebasan politik”. Kemudian sang profesor menguliahi pembaca, ”Kedaulatan ekonomi konsumen yang tumbuh dalam demokrasi ekonomi membangkitkan kedaulatan politik pemilih dalam demokrasi politik.”

Apakah penulis hanya membatasi observasinya pada periode 1969-1984 dengan mencukilkan gambaran dua-dimensio yang cerah? Bagaimana dengan periode 1984-1988 yang menonjolkan beberapa kasus distorsi pasar yang gawat karena intervensi pemerintah (baca: Presiden Soeharto dan keluarganya) yang meluas. Ingat, misalnya, monopoli perdagangan cengkeh dan jeruk singkawang serta fasilitas khusus mobil Timor eks Korea Selatan.

Kedua, Bung Emil lalai mencatat perkembangan baru yang amat mengganggu keseimbangan ekonomi setelah swasembada pangan dianggap terpenuhi. Presiden Soeharto menganggap sudah tiba saatnya Indonesia memasuki era teknologi tinggi. Kebetulan seorang sarjana teknologi pesawat terbang yang brilian baru pulang dari Jerman Barat pada tahun 1974. Namanya Dr BJ Habibie. Dia mampu memesona Presiden Soeharto dan diatur menjadi Direktur Teknologi Maju di Pertamina dengan anggaran bebas, yang lapor langsung kepada Presiden. Sebagai Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 1978-1998, Dr Habibie mempunyai anggaran fleksibel yang tidak begitu tampak di APBN yang disahkan DPR. Dia memelopori model pembangunan high tech yang berklimaks pada 10 Agustus 1995 saat prototipe N-250 demonstrasi terbang disaksikan Presiden Soeharto. Dengan demikian, ada dua model pembangunan: Repelita sesuai desain Bappenas yang dipelopori Prof Widjojo. Dan Program Empat Tahapan Alih Teknologi yang diperjuangkan Prof Habibie dan menikmati prioritas anggaran. Apakah akibatnya kompetisi dua model ini bagi kesejahteraan merata rakyat Indonesia? Hal serius ini tidak disinggung Bung Emil.

Ketiga, sebagai ekonom terkemuka, dapat dipahami jika Prof Emil Salim seperti menyindir daya mampu dan kegunaan ilmu politik. Tulisnya, ”Ilmu ekonomi menggunakan perhitungan rasional yang terukur dalam nilai ekonomi dan harga pasar sehingga bisa direncanakan kebijakan memecahkan masalah sebelum (exante) masalah tumbuh lebih besar. Ilmu politik sebaliknya bersifat kualitatif dan sulit diukur secara kuantitatif sehingga sulit membuat ramalan dan prediksi.” Taruhlah secara umum kita setuju pendapat Bung Emil ini, tetapi ada kecualian yang penting dalam hal seorang sarjana ilmu politik dan kaitan teorinya dengan situasi Indonesia. Profesor Samuel Huntington dari Universitas Harvard yang mempelajari pertumbuhan lembaga-lembaga politik di negara-negara berkembang tahun 1968 menerbitkan karya yang menjadi klasik, Political Order In Changing Societies (Yale University Press). Pada Bab 1 yang bertema Political Order and Political Decay dikemukakan teori, kesulitan yang dihadapi negara-negara berkembang di bidang pembangunan politik justru meningkat setelah mereka relatif berhasil mencapai sukses awal dalam pembangunan ekonominya. Tulisnya, antara lain, jika lembaga-lembaga sosial politik di negara-negara itu tidak ikut berkembang dan tidak mampu menampung serta menyalurkan aspirasi-aspirasi baru, yang timbul justru karena keberhasilan ekonomi mereka, terjadilah political decay, kerapuhan politik, bukan political development, pembangunan politik.

Perapuhan politik

Proses perapuhan politik itulah yang terjadi selama Orde Baru tahap ke-2 setelah swasembada pangan dipenuhi. Repelita demi Repelita dikembangkan yang secara terselubung disaingi model pembangunan Prof Habibie. Sementara itu, dalil fundamental yang mewajibkan pembangunan ekonomi dikaitkan pembangunan politik supaya tercipta keseimbangan sosial politik, hal itu diabaikan para teknokrat. Dua generasi muncul selama kepemimpinan Presiden Soeharto (resminya 1968–1998) yang pada akhirnya menganggap tersedianya keperluan pokok hidup sehari-hari sebagai hal biasa.

Seperti diwanti-wanti Prof Huntington, sukses awal pembangunan ekonomi inilah yang menimbulkan aspirasi baru di kalangan generasi muda. Karena perkembangan teknologi informasi, berakhirnya Perang Dingin tahun 1990 dan ambruknya Uni Soviet akhir 1991, ide-ide tentang partisipasi politik, keterbukaan, dan hak asasi warga berkembang pesat. Sementara lembaga-lembaga politik Orde Baru tetap stagnan sehingga gagal menyalurkan dan menampung aspirasi-aspirasi baru. Apalagi kebebasan media pers serba terbatas.

Perapuhan politik ini tambah parah karena dua hal: 1) ketidakmampuan Presiden Soeharto mengatur suksesi dan 20 kegagalannya untuk membatasi praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang diterapkan keluarganya.

Apa yang kita saksikan, tragedi seorang Soeharto yang menjadi tawanan gelanggang kekuasaan. Karena latar belakang sosialnya yang serba sederhana dan pendidikan formal yang serba terbatas, pemahamannya tentang kekuasaan politik dan wibawa pemerintahan terkait nilai-nilai feodalisme budaya Jawa. Hal ini bertentangan dengan pemahaman kekuasaan dalam sebuah republik modern berdasar demokrasi dan kepastian hukum.

Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998 karena di papan percaturan kompetisi kekuasaan, ia sudah tersudut. Semua pion telah tumbang. Agaknya terlalu simplistis untuk menghakimi Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, BJ Habibie, dan Jenderal Wiranto sebagai Brutus yang mengkhianati Cesar tua.

Ia mundur secara mendadak pada 21 Mei 1998 bukan ”guna menghindari pertikaian lebih besar antaranak bangsa” seperti ditulis Bung Emil. Justru sebagai sikap ngambek, seperti kata orang Betawi (Jakarta) rasain lu dengan Habibie yang cenderung labil itu sebagai presiden. Seyogianya Soeharto menyiapkan proses suksesi jauh sebelumnya secara teratur dan rapi.

Soeharto sudah begitu lama menjadi tawanan gelanggang kekuasaan sehingga dalam arogansinya, ia meremehkan faktor-faktor politik yang sementara itu berkembang.

Memang tidak mudah nantinya menyusun suatu penilaian yang agak lengkap tentang peran kesejarahan Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Ia berhasil mencapai sejumlah puncak prestasi sehingga sempat mengangkat martabat Indonesia di panggung internasional. Namun, ia juga telah lalai memaksimalkan berbagai kesempatan kesejarahan yang ada sehingga gagal membangun Indonesia yang sejahtera merata, tegar, adil, dan demokratis.

Sabam Siagian Redaktur Senior The Jakarta Post

No comments: