Faizi
Mahasiswa Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sesungguhnya persoalan kemiskinan hingga hari ini tetap menjadi problematika mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia. Beberapa indikator kesejahteraan masyarakat memperlihatkan bahwa tingkat kesejahteraan menurun sangat tajam.
Sejak dimulai krisis tahun 1999, angka kemiskinan meningkat menjadi 37,17 juta jiwa (BPS, 2007). Angka ini mendekati angka kemiskinan pada tahun 1978 dan 1980 yang artinya perekonomian Indonesia mengalami kemunduran lebih dari 23 tahun. Tidak hanya kemiskinan yang menjadi beban bagi masyarakat Indonesia, kenaikan harga barang dan laju inflasi membuat beban hidup rakyat terasa semakin berat dan menderita.
Fakta ini menunjukkan bahwa tampaknya bangsa ini belum sepenuhnya merdeka dari kemiskinan. Pemerintah sejauh ini masih terlihat gamang dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan penyakit yang satu ini. Berbagai langkah yang ditempuh pemerintah kerap bersifat tambal sulam. Di satu sisi pemerintah belum bisa melepaskan diri dari utang luar negeri yang berbasis bunga. Namun, di sisi lain utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga tidak sedikit.
Berdasarkan data Bappenas, hingga Desember 2007 utang luar negeri yang belum terserap mencapai 9-10 miliar dolar AS. Apa pun alasannya, ini fenomena yang sangat memprihatinkan dan menyakitkan. Kondisi ini menurut analisis beberapa pengamat salah satunya disebabkan oleh paradigma utang konvensional yang tidak berpijak pada sektor riil.
Paradigma tersebut harus diubah secara total dan mendasar. Dalam konteks ini, mengembangkan potensi ekonomi syariah menjadi pilihan yang terbaik dan mendesak.
Perkembangan bank syariah
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada 1991. Pendirian bank syariah ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian didukung sepenuhnya oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim.
Kompetisi dunia perbankan di Indonesia semakin semarak terhitung sejak hadirnya bank syariah yang dipelopori oleh BMI tersebut. Paling tidak, hal ini bisa dilihat dari menjamurnya bank-bank yang menerapkan prinsip syariah, baik yang berbentuk bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS).
Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga Mei 2007 terdapat tiga BUS, 23 unit UUS, dan 105 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Menurut BI, sampai dengan Oktober 2007 perbankan syariah mampu mencatat pertumbuhan laba bersih yang signifikan. Hal ini tecermin dari pertumbuhan laba bersih yang mencapai Rp 481,02 miliar atau tumbuh 57 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 307,27 miliar.
Pada periode yang sama, pertumbuhan laba bersih perbankan konvensional hanya 30 persen. Rasio laba terhadap modal (return on equity/ROE) perbankan syariah sebesar 55,75 persen, sedangkan rasio laba terhadap aset (return on asset/ROA) sebesar 1,93 persen.
Penghimpunan dana pihak ketiga juga mengalami kenaikan pesat di atas industri perbankan secara umum. Optimalisasi itu tecermin dari membaiknya rasio pembiayaan dana pihak ketiga (financing to deposit ratio/FDR) FDR bank syariah mencapai 102,65 persen. FDR bank konvensional hanya 65 persen. Data per Oktober 2007 menunjukkan, aset perbankan syariah mencapai Rp 33,03 triliun, tumbuh 32 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 25,06 triliun.
Strategi khusus
Bertitik tolak dari semua itu, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh bank syariah. Pertama, harus dipahami bahwa kondisi perekonomian Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, sudah saatnya perbankan syariah mulai melirik untuk menjalin kerja sama dengan UKM yang berada di tengah-tengah masyarakat.
Pihak perbankan sebagai lembaga keuangan penggerak roda ekonomi harus mulai menggeser konsep perbankan yang cenderung lebih berani bermain di sektor bisnis kelas tinggi. Perbankan syariah harus mulai merangkul UKM-UKM yang ada sebagai mitra kerja untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang lesu.
Kedua, agar menyentuh lapisan terbawah dari masyarakat sekaligus upaya misi sosialisasi dan edukasi, bank syariah bisa melakukan pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat dalam rangka mencetak entrepreneur-entrepreneur yang andal dan kompetitif. Untuk merealisasikan strategi ini, bank syariah dapat menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga yang berkompeten dalam bidang pendidikan dan pelatihan kewirausahaan.
Ketiga, mengoptimalkan peran qardhul hasan yang bisa diambil dari dana zakat, infak, dan shadaqah. Sudah saatnya potensi keuangan yang tersimpan tidak lagi menjadi dana konsumtif, tetapi potensi besar ini dijadikan modal dan dikelola menjadi dana-dana yang produktif.
Keempat, perbankan syariah juga dituntut untuk membangun kerja sama solid dalam pembiayaan dengan usaha kecil terutama dengan BPRS dan baitul mall wat tamwil (BMT). Kedua lembaga inilah yang banyak bersentuhan langsung dengan rakyat kecil.
Kelima, potensi dana lain yang bisa dikembangkan adalah wakaf tunai. Kalau selama pengertian wakaf hanya pada persoalan tanah dan bangunan, belakangan berkembang wacana dan mulai terealisasi, yakni wakaf uang tunai.
Kita bisa belajar dari pengalaman Islamic Relief, sebuah organisasi pengelola wakaf tunai di Inggris yang telah mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling atau hampir Rp 600 miliar. Mereka secara rutin menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar.
Dana yang bisa dihimpun tersebut kemudian disalurkan kepada lebih dari lima juta yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program 'Incom Generation Waqf'.
Melihat pengalaman tersebut, sudah saatnya wakaf tunai ini dikembangkan di Tanah Air. Potensinya sangat besar mengingat jumlah masyarakat Muslim yang begitu besar. Taruhlah ada 10 juta orang yang mampu memberikan wakaf tunai Rp 100 ribu per tahun, maka per tahun akan terhimpun dana sebesar Rp 1 triliun. Inilah aset yang harus digerakkan secara optimal dan berkesinambungan.
Keenam, optimalisasi sukuk atau obligasi syariah. Dalam sekala makro, prinsip syariah juga bisa digunakan untuk mendorong ekonomi rakyat lewat kebijakan anggaran belanja negara. Kalau selama ini pemerintah lebih suka menarik utang dari asing untuk menutup defisit anggaran belanja sehingga kemandirian negara harus diinjak-injak. Maka sudah waktunya kita melirik ke sektor sukuk ini.
No comments:
Post a Comment