Clifford Geertz menggunakan istilah ”involusi pertanian” untuk menggambarkan kemunduran pertanian di Jawa awal tahun 1960-an secara struktural. Akan tetapi, kisah ini bukan narasi besar tentang sektor pertanian kita, yang selalu saja menempatkan petani sebagai obyek. Ini kisah tentang terpuruknya Sulasih (45), petani dari Desa Compreng, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Oleh: Ahmad Arif
Penelitian Clifford Geertz, antropolog Amerika, tentang kemunduran pertanian di Jawa telah berkontribusi melahirkan revolusi hijau di Indonesia; intensifikasi pertanian yang bersandar pada penggunaan pupuk kimia, insektisida, benih monokultur, irigasi, dan mekanisasi.
Revolusi yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Bimbingan Massal (Bimas) dan Inmas itu sempat mengubah Indonesia dari negara pengimpor terbesar menjadi swasembada beras pada tahun 1984. Atas kesuksesan itu, Presiden Soeharto, menuai penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 1985.
Namun, kesuksesan yang tak lama itu—karena sejak tahun 1990-an Indonesia harus kembali mengimpor beras—ternyata berdiri di atas penderitaan petani.
Seiring dengan gencarnya provokasi dari petugas penyuluh lapangan (PPL) yang masuk ke Desa Compreng akhir tahun 1960-an, Sulasih mulai meninggalkan Markuti, padi gogo varietas asli dari kampungnya, yang sedari dulu menghidupi keluarganya.
”PPL membawa padi IR. Katanya hasilnya lebih banyak dan bisa ditanam setahun dua kali karena usianya pendek. Kalau Markuti bisa sampai lima bulan baru panen,” kata Sulasih. Jika Markuti menggunakan sistem pengairan alami, tergantung dari berkah Bengawan Solo, padi IR butuh pengairan yang rutin.
Sulasih menjual sapinya untuk membeli pipa dan pompa air guna mengairkan air Bengawan Solo, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari sawahnya. Sulasih juga mulai mengenal pupuk. ”Kalau Markuti, dulu tidak perlu dipupuk. Tinggal ditabur benihnya dan ditunggu saja, setelah lima bulan dipanen dengan anai-anai. Setelah itu bisa dipanen lagi sampai satu tahun baru tanam lagi,” kata dia.
Hasil panen padi IR—yang digelontor banyak pupuk kimia—memang terbukti lebih tinggi dibandingkan dengan Markuti. Dalam berbagai penelitian disebutkan, intensifikasi pertanian di Jawa telah meningkatkan produktivitas lahan menjadi dua kali lipat.
Akan tetapi, yang tak diperhitungkan, produktivitas itu ternyata juga diikuti dengan lonjakan biaya produksi. Biaya yang tak sanggup ditopang petani sendiri karena kemandirian mereka telah dipangkas oleh sesuatu yang serba ”dari luar”.
Pupuk, yang tak lagi diproduksi ternak, traktor yang harus menyewa, dan genset untuk mengalirkan air. Maka, sebagian petani mulai mengenal utang untuk menanam padi. Di sisi lain, ancaman kegagalan panen juga meningkat karena benih monokultur yang ditanam secara massal ternyata rentan terhadap serangan hama massal.
Sejak 1990-an, seiring dengan goyahnya swasembada dan beras kembali harus dibeli dari luar negeri, kehidupan ekonomi Sulasih terus memburuk.
Demikian halnya yang dialami jutaan petani lainnya. Pupuk subsidi di lapangan sulit di dapat dan harganya dipermainkan tengkulak. Sementara itu, saat panen massal, harga gabah anjlok. Sebuah ”involusi petani” telah terjadi.
Jerat utang
Jalan ”maju” telah dirintas, dan untuk kembali sepertinya mustahil. Tanah telah rusak karena puluhan tahun digelontori pupuk dan obat-obat kimia. ”Tak mungkin menanam kembali Markuti,” kata Sulasih.
Tetapi, masa depan memang terasa suram bagi Sulasih. Apalagi, perubahan iklim membawa ketidakpastian musim. Dan kerusakan ekologi telah membawa banjir. ”Banjir menghancurkan tanaman padi yang tinggal menunggu panen. Padahal, sudah keluar modal Rp 8 juta, yang sebagian besar dari utang,” keluh Sulasih.
Pada musim tanam sebelumnya, panenan Sulasih juga gagal karena padinya terserang hama sundep. ”Musim lalu, masih utang Rp 11 juta. Total utang sekarang Rp 21 juta. Dari mana kami bisa membayar?” Sulasih berkata pelan, seolah kepada dirinya sendiri.
Sulasih sebenarnya bukan petani gurem. Dia memiliki 3 hektar sawah, luasan sawah yang luar biasa untuk ukuran petani Jawa yang rata-rata memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Namun, makin luas lahan sawah, berarti makin tinggi biaya produksi.
Sekali musim tanam, Sulasih rata-rata butuh biaya Rp 10 juta. Untuk pupuk butuh 2 ton, dengan harga satu ton Rp 1,5 juta. Bibit butuh 1,5 kuintal seharga Rp 500.000, pestisida Rp 1 juta, solar untuk pompa air Rp 3 juta, dan Rp 2,5 juta untuk biaya pengolahan tanah, tanam, dan panen.
”Di sini tak ada irigasi sehingga kami butuh pompa un- tuk mengambil air dari Bengawan Solo jika musim kemarau, dan memompa air ke luar saat musim hujan,” kata Sulasih.
Jika panen bagus, Sulasih bisa memperoleh Rp 15 juta. ”Tapi, kalau sedang kena musibah, seperti sekarang, berarti utang menumpuk. Jadi, petani makin susah saja sekarang,” kata dia. Istilah utang, memang ramai dikenal petani, seiring dengan dimasukkannya biaya pupuk, obat, benih, traktor, dan solar untuk mesin pompa dalam komponen produksi.
Sebelumnya, kata utang tak pernah mampir dalam benak Sulasih. ”Dulu, semuanya dikerjakan sendiri. Benih kita punya sendiri, pupuk dari kotoran ternak sendiri. Paling butuh bantuan mengolah tanah, yang biasanya maron (sistem bagi hasil),” kata Sulasih.
Jika petani dengan lahan luas saja makin terdesak, bagaimana nasib petani gurem? Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan, 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar.
Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim mulai Rp 325.000 hingga Rp 543.000 atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan.
Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga empat orang, pendapatan per kapita komunitas petani hanya sekitar Rp 34.000 per bulan, setara dengan Rp 400.000 per tahun (pendapatan ini lebih rendah dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima tenaga kerja di sektor formal).
Perhitungan itu hanya berlaku jika panen berhasil. Lalu, bagaimana jika gagal panen? ”Sudah dua tahun tak berani menggarap lahan. Biaya tanam terlalu besar. Hidup kami bergantung pada kiriman uang dari anak, yang bekerja di Surabaya sebagai buruh bangunan,” kata Dalisah (55), petani penggarap di Compreng.
Rumah-rumah joglo milik petani di Desa Compreng, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu memang terasa melompong. Anak-anak muda memilih merantau ke kota. Daerah di limpahan air Bengawan Solo yang sejak zaman Kerajaan Jenggala pada abad ke-11—sesuai Prasasti Garaman—menjadi area pertanian itu kini tak lagi bisa mengharapkan pertanian sebagai penopang hidup.
Mimpi revolusi hijau telah menghapus padi Markuti yang selama berabad-abad dimuliakan oleh alam sebagai yang paling cocok dengan kondisi ekologi setempat.
Petugas penyuluh pertanian gencar mempromosikan intensifikasi pertanian, yang dimaknai sebagai penggantian bibit padi, penggunaan pupuk buatan ekstra, pemakaian obat pestisida, dan mekanisasi pengolahan pertanian.
Tujuannya adalah menggenjot produksi. Revolusi hijau yang gencar dimulai pada tahun 1960-an itu memang tinggal gaungnya saja, tetapi dampaknya harus dibayar petani hingga saat ini. Sulasih, kini menuju titik akhir. ”Saya tak tahu, apakah musim tanam tahun depan masih bisa menanam padi,” kata Sulasih. (LAS)
No comments:
Post a Comment