Faisal Basri
Negeri kita dikaruniai aneka ragam sumber daya alam: kekayaan gas alam dan batu bara melimpah, sinar matahari memancar sepanjang tahun, pegunungan dan hutan yang menangkap air dari curah hujan yang tinggi, kekayaan laut tak terbilang.
Dengan karunia kekayaan yang melimpah ini, seharusnya seluruh penjuru Tanah Air terang benderang, jalan-jalan di kota dan desa, rumah-rumah penduduk dialiri listrik berkecukupan, segala kegiatan usaha bisa beroperasi 24 jam berkelanjutan dan menghasilkan produk-produk bermutu dan berdaya saing.
Kenyataannya berbeda. Selama belasan tahun terakhir, electrification ratio (rasio kelistrikan) praktis jalan di tempat. Hanya sekitar separuh rumah tangga yang beroleh aliran listrik. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah 79 persen, Filipina 80 persen, Thailand 84 persen, dan China 99 persen. Di antara 12 negara sekawasan, Indonesia di peringkat 11.
Sementara itu, kian banyak kegiatan usaha yang tak bisa mengandalkan sepenuhnya pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mereka terpaksa membangun pembangkit listrik sendiri walau berakibat pada peningkatan biaya tetap (fixed cost) sehingga menggerogoti daya saing. Usaha-usaha kecil yang tak mampu mengadakan listrik sendiri terpaksa pasrah, mengurangi jam produksi karena PLN kian kerap melakukan pemadaman.
Pasokan listrik yang tersendat sudah berlangsung bertahun-tahun. Bukan cuma kuantitas pasokan yang dikeluhkan konsumen, juga kualitasnya. Berdasarkan kajian Bank Dunia, kerugian dunia usaha akibat pemadaman listrik 6,1 persen dari penjualan total. Usia mesin dan segala peralatan yang digerakkan listrik menjadi lebih pendek.
Persoalan yang tak kunjung terselesaikan puluhan tahun ini berakar dari ketiadaan kebijakan energi nasional, sebagai bagian dari visi pembangunan nasional.
Pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kita pernah mengalami krisis listrik cukup parah sebagai akibat PLN gagal mengantisipasi permintaan listrik yang tumbuh pesat, konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Waktu itu pemerintah menggulirkan kebijakan percepatan pembangunan pembangkit baru dengan mengundang pemodal swasta. Bermunculanlah proyek pembangkit listrik berskala mega, yang boleh dikatakan seluruhnya melibatkan kroni Soeharto.
Para kroni menggandeng korporasi besar dunia. Mereka menggelembungkan nilai proyek. Memaksa PLN menandatangani perjanjian pembelian listrik dengan harga di atas harga penjualan PLN. Dalam perjanjian tercantum skema ”mematikan” yang disebut take and or pay clause.
Berdasarkan ketentuan ini, PLN harus membeli listrik sejumlah tertentu dengan harga yang telah disepakati sekalipun PLN tak membutuhkan pasokan sebanyak itu. PLN harus membayar sekalipun tak membeli listrik mereka. PLN harus mematikan pembangkitnya yang berbiaya lebih murah untuk mengurangi kerugian perusahaan.
Didera krisis ekonomi 1998, banyak proyek listrik swasta yang semaput. Setelah perundingan alot, pemerintah dan PLN dapat menegosiasi ulang ketentuan yang membelenggu PLN.
Cepat lupa
Ironis kalau pemerintah cepat lupa pengalaman pahit itu. Kebijakan yang diambil sejauh ini sangat reaktif dan pragmatis. Bahkan, ada tanda-tanda mengulangi kesalahan masa lalu.
Akar masalah yang harus segera diatasi adalah pasokan sumber energi. Presiden harus memerintahkan seluruh jajaran terkait duduk bersama dan keluar dengan penyelesaian tuntas pengadaan sumber energi.
Presiden harus mengambil alih komando karena penyelesaian di tingkat menteri koordinator tak kunjung tuntas. Bukankah para pihak yang terlibat berasal dari unsur pemerintah? Pemasok maupun penggunanya adalah badan usaha milik pemerintah.
Ada Kementerian Negara BUMN yang bertanggung jawab menyinergikan semua BUMN bagi kemakmuran rakyat, bukan sebaliknya cari untung sendiri dengan alasan sesuka hati.
Sangat tak pantas dan tak bertanggung jawab kalau alasan krisis listrik ditumpahkan pada cuaca buruk. Bukankah cuaca bisa diprediksi? Bukankah jawatan meteorologi sudah mengingatkan hal itu jauh-jauh hari?
Mengapa sebelumnya tak disiapkan sarana transportasi lebih banyak serta fasilitas penampungan batu bara dan gas lebih besar? Bukankah semua itu di bawah kendali pemerintah?
Mengapa perusahaan swasta mampu dan cekatan mengantisipasi persoalan yang sama sehingga tak terjadi kelangkaan rokok, sabun, minyak goreng, dan berbagai komoditas lainnya?
Hanya dua kata untuk menjelaskan krisis listrik ini: Salah urus! Tak boleh lagi ada toleransi. Kesalahan demi kesalahan sangat kasatmata. Kesalahannya sempurna: dari hulu hingga hilir. Penyelesaian ad hoc dan sepenggal-sepenggal tidak akan berarti.
Kita hargai inisiatif PLN menerapkan paket insentif dan disinsentif bagi konsumen, juga imbauan hemat listriknya. Namun, bukankah inti persoalan pada pasokan, bukan permintaan? Bukankah konsumsi listrik per kapita Indonesia tergolong rendah, 400 Kwh. Bandingkan dengan Filipina yang 500 Kwh, Thailand 1.500 Kwh, dan Malaysia 2.700 Kwh.
No comments:
Post a Comment