Oleh :Rijanta Triwahjana R.
Mahasiswa Program Law and Public Policy Yokohama National University, Japan
Senin 28 Januari 2008 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, sebagai tersangka aliran dana dari BI ke DPR. Kasus ini bermula pada saat pembahasan amandemen Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan beberapa RUU tentang keuangan pada periode 2002-2003 antara DPR, pemerintah, dan BI, menyusul kegagalan pembentukan Badan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia khususnya pasal 34 ayat 2 yang menyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawas bank dan jasa keuangan lainnya yang terpisah dari BI, dilakukan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
Pembentukan lembaga pengawasan sektor finansial ini sebenarnya masuk dalam salah satu poin Letter of Intend (LOI) antara pemerintah dan IMF sebagai salah satu persyaratan bagi pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat krisis ekonomi medio 1997-1998 silam. Walaupun banyak keberatan dari berbagai pihak, siapa pun baik DPR, pemerintah apalagi BI hampir-hampir tidak mempunyai kekuatan untuk menolak ketentuan IMF, termasuk pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan ini.
Untuk itulah dilakukan penyempurnaan terhadap UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut diamandemen dengan UU No 10 Tahun 1998 dengan salah satu hal yang pokok adalah pemisahan pengaturan BI dari sebelumnya menyatu dengan UU Perbankan menjadi undang-undang yang terpisah dan membuat UU baru yang khusus mengatur BI.
Salah satu tujuan utama pembuatan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia adalah agar BI menjadi lembaga yang independen, lepas dari pengaruh pemerintah. Amanat pasal 34 menyatakan membentuk lembaga pengawasan perbankan yang statusnya juga independen, bertanggung jawab langsung ke presiden, tidak ke DPR ataupun di bawah kendali menteri keuangan.
Walaupun tercantum dalam LOI dengan IMF, BI keberatan dengan pembentukan lembaga pengawasan. Itu yang kemudian menjadikan pembentukan lembaga pengawasan ini ditangguhkan pada tahun 2002, bukan pada tahun yang sama dengan perubahan UU tentang BI. Alasannya, memberi kesempatan kepada seluruh komponen pembuat kebijakan terutama pemerintah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan akan dibentuknya lembaga pengawasan perbankan yang baru.
Tetapi, tahun 2002 telah lewat dan lembaga pengawasan sebagaimana amanat dalam UU No 23 Tahun 1999 belum juga ada tanda-tanda terbentuk. Bahkan, salah satu calon kuat gubernur BI pada Maret 2003, Burhanuddin Abdullah, dalam fit and proper test di depan anggota DPR menyatakan pembentukan lembaga pengawasan yang independen lepas dari BI dan pemerintah adalah perlu, tetapi tidak sekarang, nanti lima atau 10 tahun lagi.
Alasan BI adalah kesiapan dari pemerintah. Kesiapan bidang infrastruktur dan pendanaan menjadi alasan utama BI yang menganggap pemerintah belum siap membentuk atau mengoperasionalkan sebuah lembaga super di bidang pengawasan sektor keuangan di Indonesia.
Tarik ulur pembentukan badan pengawas menjadi lebih kencang karena pada tahun yang sama LOI antara pemerintah dan IMF akan segera berakhir. Ini membuat BI semakin jelas memosisikan diri untuk tetap mengulur jadwal pembentukan lembaga pengawas baru tersebut.
Aliran dana ini dalam rangka memuluskan kepentingan BI terhadap beberapa produk RUU bidang keuangan. Ini kemudian juga berhubungan dengan adanya amandemen UU No 23 Tahun 1999 khusus tentang pasal 34 ayat 2 yang di pasal amandemennya (UU No 3 Tahun 2004) diubah menjadi bahwa pembentukan lembaga pengawasan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010. Hal ini yang kemudian menjadi indikasi BI tidak ingin posisi kewenangannya diambil alih oleh lembaga lain sehubungan dengan pengawasan sektor perbankan.
Bagi orang yang berkecimpung di dunia perbankan akan maklum dengan tindakan yang diambil oleh BI, tetap mempertahankan kewenangan pengawasannya. Begitu BI melepas posisi kewenangannya dalam mengawasi dunia perbankan maka BI akan kehilangan deputi gubernur yang membawahi direktorat pengawasan dan perizinan perbankan. Dengan demikian, struktur organisasi BI akan berubah total dengan menghilangkan sebagian struktur organisasi untuk diserahkan kepada lembaga pengawas yang baru, sebuah perubahan yang sangat signifikan bagi BI.
Pertanyaannya, mengapa BI sedemikian takut menyerahkan kewenangan pengawasannya kepada pihak lain? Jawabannya adalah kegiatan pengawasan inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung kegiatan operasional BI sehari-hari. Bila kewenangan ini dihilangkan, yang terjadi adalah fungsi BI hanya fokus pada kegiatan pengaturan kebijakan moneter, suatu hal/lembaga yang identik dengan posisi Federal Reserve di AS.
Di lain pihak bagaimana dengan kesiapan pemerintah dalam upaya melaksanakan amanat undang-undang untuk membentuk lembaga pengawas ini? Dari segi payung hukum, pemerintah sudah siap walaupun terlambat dari jadwal yang seharusnya disampaikan sebelum 2002.
Pada saat pengajuan RUU bidang keuangan (tahun 2003), pemerintah telah menyertakan pula RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan di samping RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU ternyata hanya amandemen UU BI, yaitu UU No 3 Tahun 2004. Yang lainnya sampai masih menyangkut di DPR.
Dari segi infrastruktur, pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK). Sebelumnya keduanya merupakan organisasi di bawah wewenang menteri keuangan dan dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Bapepam, dan DJLK resmi bergabung.
Penggabungan ini kalau dilihat dari kacamata kebijakan keuangan merupakan jawaban dari keraguan BI tentang kesiapan atau keseriusan pemerintah untuk membentuk lembaga pengawasan bidang finansial. Untuk masalah pendanaan, sungguh sangat naif kalau BI meragukan kemampuan pemerintah dalam mendanai operasional lembaga pengawas baru ini. Apalagi dibanding dengan beban tanggungan BLBI yang jumlahnya ratusan triliun rupiah, hampir sepenuhnya ditanggung pemerintah (APBN) akibat lemahnya sisi kontrol BI. Tentunya dana untuk operasional lembaga pengawas baru ini akan jauh lebih kecil, bahkan dalam beberapa kesempatan ada tawaran dari Bank Dunia dan ADB untuk sementara menalangi biaya pembentukan badan baru tersebut.
Tidak hanya BLBI, tapi dari beberapa kejadian menyusul penutupan dan pembekuan operasional beberapa bank swasta nasional tanggungan nasabah bank yang telah ditutup dan dibekukan tetap menjadi beban pemerintah (blanket guarantee) lantaran belum ada lembaga khusus tentang penjaminan simpanan nasabah perbankan sebelum tahun 2004.
Setelah terbentuk dan beroperasinya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 22 September 2005, efektivitas dan ketegasan pengawasan BI tetap patut dipertanyakan karena masih ada penutupan bank, seperti kasus Bank Asiatic, BDB, dan terakhir Bank Global.
Dari berbagai macam persoalan yang ada, sudah selayaknya BI dengan lapang dada melepas kewenangan pengawasannya kepada lembaga pengawas yang baru. Tidak ada alasan lagi bagi BI mengulur waktu melaksanakan amanat yang telah tercantum dalam pasal 34 ayat (2) UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa paling lambat tanggal 31 Desember 2010 badan pengawas perbankan sudah harus terbentuk.
Dengan peristiwa penetapan gubernur BI sebagai tersangka dalam kasus aliran dana ke DPR, seharusnya DPR bisa menjadikan hal ini sebagai momentum baru untuk kembali membahas RUU bidang keuangan yang dulu pada 2003 telah diajukan pemerintah dalam proses terbentuknya OJK.
No comments:
Post a Comment