Monday, February 25, 2008

Darurat Listrik, Teror PLN


Senin, 25 Februari 2008 | 01:20 WIB

Effnu Subiyanto

"Teror" psikologis PLN tampaknya belum akan reda. Dengan alasan gelombang laut yang tinggi membuat kapal-kapal pengangkut batu bara tidak bisa merapat, seluruh jaringan interkoneksi Jawa-Bali dinyatakan dalam kondisi darurat.

Defisit daya listrik saat beban puncak mencapai 1.000 MW, padahal yang berhasil diproduksi PLN hanya 15.000 MW dari kebutuhan 16.000 MW. Jika defisit berlanjut hingga 1.500 MW, pemerintah akan menerapkan status darurat nasional listrik diikuti dengan pemadaman bergilir mulai Kamis (21/2/2008).

Pada awal Desember 2007, PLN juga mengeluarkan red notice terkait meningkatnya konsumsi listrik DKI Jakarta sebesar 300 MW. PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok tidak mampu mengatasi kenaikan beban dan terancam overload. Mendekati akhir 2007, PLTU Tg Jati B berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan batu bara. Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN Ali Herman Ibrahim menjadi korban dicopot dari jabatan sejak 3 Januari 2008 lalu dipermanenkan dalam RUPSLB 8 Januari 2008.

Warning berkali-kali yang dikeluarkan PLN mengagetkan semua pihak. Karena sebagai penyedia tunggal energi listrik, tidak memiliki kompetitor, mengusung kebijakan PSO, PLN diharapkan memberi pelayanan terbaik kepada bangsa. Powerful-nya PLN bahkan membuat APBN bertekuk lutut dengan menggelontor subsidi Rp 42 triliun dari rencana Rp 29,8 triliun tahun ini, sebagai perbandingan anggaran TNI untuk pertahanan hanya Rp 36,4 triliun.

Namun, PLN ternyata mencederai kepercayaan rakyat. Amanah itu tidak berhasil diemban dengan baik. Kelengahan antisipasi PLN menghadapi perubahan iklim, menjadi titik utama masalah ini. Artinya, selama dekade ini, PLN belum melakukan evaluasi business plan menghadapi hal-hal force majeur. Implementasi manajemen risiko, sama sekali tidak dijalankan karena mengandalkan captive market 50 juta pelanggan tanpa bersusah payah. PLN dininabobokan dengan subsidi, regulasi, dan PSO. Kendati selalu merugi (Rp 1,3 triliun tahun 2007), publik segan mempertanyakan, bahkan eksekutif dibagikan tantiem setiap tahun sebagai bonus.

Rasio elektrifikasi

Energi listrik diyakini memiliki daya dukung fundamental terhadap pertumbuhan ekonomi. Melihat statistik, negara yang memiliki konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara dengan ekonomi kuat. Malaysia, misalnya, konsumsi listriknya 600 watt per orang, Jepang mencapai 1.874 watt per orang. Indonesia dengan rasio elektrifikasi 61 persen hanya mampu mengonsumsi listrik 108 watt per orang. Menariknya, ketika konsumsi listrik akan bergerak naik, PLN tidak mampu mengimbanginya.

Darurat listrik adalah pukulan telak PLN karena memiliki megaproyek 10.000 MW berbahan bakar utama batu bara. Pada tahun 2010, PLN harus mengoperasikan 39 PLTU baru yang akan mengonsumsi batu bara 50 juta ton per tahun. Jumlah ini luar biasa karena dalam sebulan minimal empat juta ton batu bara datang, dengan menggunakan tongkang ukuran 10.000 ton, akan hilir mudik 400 kapal dan dalam sehari akan merapat 13 kapal. Kompleksitasnya akan rumit dan harus sudah disiapkan secepatnya, kelangkaan batu bara sekarang adalah test-case sederhana.

PLTN

Berulangnya krisis batu bara mewacanakan pembangunan PLTN sebagai solusi. PLTN memang tidak memerlukan batu bara, tetapi uranium dan jumlahnya tidak berkapal-kapal seperti batu bara. Boleh jadi kelangkaan batu bara berkorelasi dengan rencana pendirian PLTN untuk mendapatkan legitimasi.

Padahal, bahan uranium-235 juga memiliki level risiko tidak kalah tinggi, belum radiasinya. Riset MIT (Massachussets Institute of Technology) dan World Nuclear Association 2006, PLTN seluruh dunia saat ini mengonsumsi uranium-235 mencapai 64.000 ton per tahun.

Baru-baru ini produsen uranium-235 terbesar dunia, yakni Australia dan Kazakhstan, menaikkan harga hingga 74,4 persen karena tingginya permintaan. Data Tullet Prebon Pk menyebutkan, harga uranium-235 semula 78 dollar AS per pound di pasar internasional, kini 136 dollar AS per pound. Dengan mengoperasikan PLTN biaya operasional PLN akan lebih mahal dibanding PLTU. Di sisi lain, menurut riset itu, bahan uranium-235 juga akan habis 30 tahun ke depan meski pertumbuhan konsumsi listrik 2,5 persen per tahun.

Dari kejadian darurat ini, perlu diperhatikan akar masalah, PLN sebaiknya memperluas kapasitas penyimpanan batu bara. Jika hari-hari normal kapasitas penyimpanan 1-1,5 bulan operasi, menghadapi musim badai laut tidak ada salahnya meningkatkan stok batu bara untuk empat bulan operasi.

Effnu Subiyanto Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta; Staf di PT Semen Gresik Tbk


No comments: