Monday, February 25, 2008

Tiada Jalan Lain

Senin, 25 Februari 2008 | 01:22 WIB

A Tony Prasetiantono

Harga minyak benar-benar menembus 100 dollar AS per barrel, dan listrik mulai sering padam pertanda terjadinya krisis energi, solusi apa lagi yang masih tersisa? Menurut saya, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus ekstra berhemat.

Penghematan secara intensif merupakan agenda yang tak lagi bisa ditawar. Hak istimewa sebagai negara yang pernah dikaruniai rezeki minyak bumi sebenarnya sudah lama tak lagi kita miliki. Modal apa lagi yang bisa diandalkan untuk menikmati harga minyak murah dan boros energi? Semua sudah sirna dan kita harus memulai lembar baru kehidupan dengan berhemat, berhemat, dan berhemat. Tidak ada toleransi untuk memboroskan energi seperti dulu. Zaman sudah berubah.

Era minyak usai

Harus disadari, negeri ini bukan lagi penghasil minyak yang produktif. Dengan penduduk 225 juta, ironisnya, produksi minyak (lifting) kita hanya 910.000 barrel per hari. Bandingkan saat jaya pada dasawarsa 1980-an—saat penduduk kita 130 juta—produksi pernah mencapai puncak di level 1,6 juta barrel sehari. Bila dibuat rasio, kondisi sekarang sekitar sepertiga dibanding saat kita menikmati rezeki minyak.

Karena itu, tidak lagi relevan jargon ”Indonesia adalah negara minyak”, atau lebih konyol, ”sebagai negara minyak, adalah wajar jika harga minyak di Indonesia murah”. Pernyataan dan anggapan semacam ini sudah ketinggalan zaman. Benar, hingga kini kita masih menjadi negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), tetapi sebenarnya cuma ”numpang lewat”.

Secara substantif, sudah tak cukup relevan lagi kita hadir di sana. Dengan produksi hanya 910.000 barrel sehari, sementara konsumsi kita minimal 1,3 juta barrel sehari, berarti terjadi defisit setidaknya 400.000 barrel. Dalam kondisi puncak, konsumsi bisa mencapai 1,7 juta barrel sehari. Kalaupun Blok Cepu kelak menghasilkan 150 barrel sehari, kita masih tetap mengalami defisit dalam jumlah besar.

Kita sedikit beruntung memiliki gas, yang bisa mengompensasi defisit perdagangan minyak. Dengan memperhitungkan ekspor gas, neraca perdagangan migas kita masih surplus, meski cuma 75 juta dollar AS pada tahun 2007. Jumlah ini amat kecil mengingat neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) kita pada 2007 secara keseluruhan mencapai 40 miliar dollar AS. Ekspor mencapai rekor 113 miliar dollar AS dan impor 73 miliar dollar AS. Semua ini berkat rezeki kenaikan harga komoditas primer (migas, batu bara, timah, kelapa sawit, karet).

APBN defensif

Akibat defisit konsumsi minyak, keuangan pemerintah (APBN) menjadi amat terbebani. Presiden Yudhoyono sudah menyatakan, jika subsidi minyak terus diberikan tanpa solusi, nilainya akan membesar hingga Rp 250 triliun (Kompas, 22/2/2008). Padahal, volume belanja dalam APBN-P 2008 adalah Rp 926 triliun. Berarti, 27 persen belanja pemerintah hanya dialokasikan untuk menyubsidi BBM. Bagaimana mungkin APBN 2008 bisa menjadi stimulus fiskal jika dananya habis disedot subsidi BBM?

Pemerintah memperkirakan produk domestik bruto (PDB) 2008 akan mencapai Rp 4.288 triliun. Secara konvensional, penyumbang terbesar PDB adalah pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) atau belanja masyarakat yang mencapai 60 persen. Selanjutnya, belanja investasi (investment expenditure) dunia usaha swasta berkontribusi 24 persen, sedangkan belanja pemerintah (government expenditure) sebesar 9 persen. Sisanya, oleh neraca perdagangan internasional (trade balance).

Dengan komposisi semacam ini, APBN tidak lagi bisa diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. APBN hanya bisa berfungsi sebagai alat konsolidasi pertahanan agar kondisi perekonomian tidak kian memburuk. Ibarat tim sepak bola, APBN merupakan barisan defensif. Sedangkan untuk menjalankan strategi ofensif tinggal mengandalkan sektor swasta.

Adakah harapan sektor swasta? Meski sulit, tetap ada. Sebenarnya investasi sedang dalam mood membaik. Tahun 2007, realisasi investasi domestik (PMDN) mencapai Rp 35 triliun, jauh lebih baik dibanding Rp 21 triliun (2006) dan Rp 31 triliun (2005). Investasi asing (PMA) juga sejalan, yakni 10 miliar dollar AS (2007) dibanding enam miliar dollar AS (2006) dan sembilan miliar dollar AS (2005).

Realisasi PMDN dan PMA masih berpeluang meningkat mengingat tahun 2007 mencatat persetujuan (approval) dalam jumlah tinggi, yakni PMDN Rp 189 triliun dan 40 miliar dollar AS. Dengan kerja keras Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sedikit keberuntungan, mestinya sebagian angka persetujuan itu akan terwujud sebagai proyek-proyek yang akan berlanjut (carry over) pada tahun 2008.

Namun, itu baru akan terwujud jika Bank Indonesia (BI) berani memberi insentif, misalnya melanjutkan tren penurunan suku bunga. Kini BI Rate delapan persen, dan BI tampaknya gamang untuk menurunkan menjadi 7,75 persen. Padahal, baik BI maupun pemerintah sama-sama memproyeksikan BI Rate 7,50 persen.

Meski selalu berpotensi menyebabkan inflasi dan pelemahan rupiah, saya yakin penurunan suku bunga masih diperlukan sebagai insentif investasi. Lebih-lebih Fed Rate juga mengisyaratkan lanjutan penurunan suku bunga, dari level tiga persen menjadi 2,50 persen, bahkan 2,25 persen sebelum akhir tahun.

Strategi berhemat

Kita harus berani menempuh tindakan tidak populer, penghematan. Untuk menekan subsidi, pemerintah harus membatasi konsumsi, bukan dengan menetapkan kuota pembelian lima liter per hari dengan sistem kartu, tetapi cara yang lebih sederhana. Tetapkan saja mobil ber CC 1.800 ke atas harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax). Cara ini lebih mudah dijalankan dan jelas logikanya.

Menghadapi krisis energi, kita tidak sendirian. Seluruh dunia dicekam ketakutan yang sama. Energi BBM menjadi komoditas yang mulai tak terbeli (unaffordable). Seluruh dunia harus menempatkan mahalnya harga BBM menjadi musuh bersama (common enemy). Cara yang paling efektif adalah dengan berhemat dan prihatin. Tidak ada cara lain yang bakal efektif. Percuma, misalnya, berteriak-teriak agar China mengerem pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 11,4 persen. Bagaimana mau mengerem jika mereka masih punya tugas besar mengenyahkan pengangguran terbuka yang mencapai 9,5 persen, setara dengan 60 juta orang? Mana mungkin mereka mau?

Perlu disadari, kini dunia sudah berubah total, tidak lagi seperti tahun 1980-an saat rezeki minyak masih berlimpah. Kita tak lagi punya privilege karena era minyak kita sudah lama usai. Solusinya kini, tindakan penghematan. Memang bakal menyakitkan, tetapi tidak ada jalan lain.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

5 Februari 2008 | 01:22 WIB

A Tony Prasetiantono

Harga minyak benar-benar menembus 100 dollar AS per barrel, dan listrik mulai sering padam pertanda terjadinya krisis energi, solusi apa lagi yang masih tersisa? Menurut saya, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus ekstra berhemat.

Penghematan secara intensif merupakan agenda yang tak lagi bisa ditawar. Hak istimewa sebagai negara yang pernah dikaruniai rezeki minyak bumi sebenarnya sudah lama tak lagi kita miliki. Modal apa lagi yang bisa diandalkan untuk menikmati harga minyak murah dan boros energi? Semua sudah sirna dan kita harus memulai lembar baru kehidupan dengan berhemat, berhemat, dan berhemat. Tidak ada toleransi untuk memboroskan energi seperti dulu. Zaman sudah berubah.

Era minyak usai

Harus disadari, negeri ini bukan lagi penghasil minyak yang produktif. Dengan penduduk 225 juta, ironisnya, produksi minyak (lifting) kita hanya 910.000 barrel per hari. Bandingkan saat jaya pada dasawarsa 1980-an—saat penduduk kita 130 juta—produksi pernah mencapai puncak di level 1,6 juta barrel sehari. Bila dibuat rasio, kondisi sekarang sekitar sepertiga dibanding saat kita menikmati rezeki minyak.

Karena itu, tidak lagi relevan jargon ”Indonesia adalah negara minyak”, atau lebih konyol, ”sebagai negara minyak, adalah wajar jika harga minyak di Indonesia murah”. Pernyataan dan anggapan semacam ini sudah ketinggalan zaman. Benar, hingga kini kita masih menjadi negara anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), tetapi sebenarnya cuma ”numpang lewat”.

Secara substantif, sudah tak cukup relevan lagi kita hadir di sana. Dengan produksi hanya 910.000 barrel sehari, sementara konsumsi kita minimal 1,3 juta barrel sehari, berarti terjadi defisit setidaknya 400.000 barrel. Dalam kondisi puncak, konsumsi bisa mencapai 1,7 juta barrel sehari. Kalaupun Blok Cepu kelak menghasilkan 150 barrel sehari, kita masih tetap mengalami defisit dalam jumlah besar.

Kita sedikit beruntung memiliki gas, yang bisa mengompensasi defisit perdagangan minyak. Dengan memperhitungkan ekspor gas, neraca perdagangan migas kita masih surplus, meski cuma 75 juta dollar AS pada tahun 2007. Jumlah ini amat kecil mengingat neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) kita pada 2007 secara keseluruhan mencapai 40 miliar dollar AS. Ekspor mencapai rekor 113 miliar dollar AS dan impor 73 miliar dollar AS. Semua ini berkat rezeki kenaikan harga komoditas primer (migas, batu bara, timah, kelapa sawit, karet).

APBN defensif

Akibat defisit konsumsi minyak, keuangan pemerintah (APBN) menjadi amat terbebani. Presiden Yudhoyono sudah menyatakan, jika subsidi minyak terus diberikan tanpa solusi, nilainya akan membesar hingga Rp 250 triliun (Kompas, 22/2/2008). Padahal, volume belanja dalam APBN-P 2008 adalah Rp 926 triliun. Berarti, 27 persen belanja pemerintah hanya dialokasikan untuk menyubsidi BBM. Bagaimana mungkin APBN 2008 bisa menjadi stimulus fiskal jika dananya habis disedot subsidi BBM?

Pemerintah memperkirakan produk domestik bruto (PDB) 2008 akan mencapai Rp 4.288 triliun. Secara konvensional, penyumbang terbesar PDB adalah pengeluaran konsumsi (consumption expenditure) atau belanja masyarakat yang mencapai 60 persen. Selanjutnya, belanja investasi (investment expenditure) dunia usaha swasta berkontribusi 24 persen, sedangkan belanja pemerintah (government expenditure) sebesar 9 persen. Sisanya, oleh neraca perdagangan internasional (trade balance).

Dengan komposisi semacam ini, APBN tidak lagi bisa diharapkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. APBN hanya bisa berfungsi sebagai alat konsolidasi pertahanan agar kondisi perekonomian tidak kian memburuk. Ibarat tim sepak bola, APBN merupakan barisan defensif. Sedangkan untuk menjalankan strategi ofensif tinggal mengandalkan sektor swasta.

Adakah harapan sektor swasta? Meski sulit, tetap ada. Sebenarnya investasi sedang dalam mood membaik. Tahun 2007, realisasi investasi domestik (PMDN) mencapai Rp 35 triliun, jauh lebih baik dibanding Rp 21 triliun (2006) dan Rp 31 triliun (2005). Investasi asing (PMA) juga sejalan, yakni 10 miliar dollar AS (2007) dibanding enam miliar dollar AS (2006) dan sembilan miliar dollar AS (2005).

Realisasi PMDN dan PMA masih berpeluang meningkat mengingat tahun 2007 mencatat persetujuan (approval) dalam jumlah tinggi, yakni PMDN Rp 189 triliun dan 40 miliar dollar AS. Dengan kerja keras Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sedikit keberuntungan, mestinya sebagian angka persetujuan itu akan terwujud sebagai proyek-proyek yang akan berlanjut (carry over) pada tahun 2008.

Namun, itu baru akan terwujud jika Bank Indonesia (BI) berani memberi insentif, misalnya melanjutkan tren penurunan suku bunga. Kini BI Rate delapan persen, dan BI tampaknya gamang untuk menurunkan menjadi 7,75 persen. Padahal, baik BI maupun pemerintah sama-sama memproyeksikan BI Rate 7,50 persen.

Meski selalu berpotensi menyebabkan inflasi dan pelemahan rupiah, saya yakin penurunan suku bunga masih diperlukan sebagai insentif investasi. Lebih-lebih Fed Rate juga mengisyaratkan lanjutan penurunan suku bunga, dari level tiga persen menjadi 2,50 persen, bahkan 2,25 persen sebelum akhir tahun.

Strategi berhemat

Kita harus berani menempuh tindakan tidak populer, penghematan. Untuk menekan subsidi, pemerintah harus membatasi konsumsi, bukan dengan menetapkan kuota pembelian lima liter per hari dengan sistem kartu, tetapi cara yang lebih sederhana. Tetapkan saja mobil ber CC 1.800 ke atas harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax). Cara ini lebih mudah dijalankan dan jelas logikanya.

Menghadapi krisis energi, kita tidak sendirian. Seluruh dunia dicekam ketakutan yang sama. Energi BBM menjadi komoditas yang mulai tak terbeli (unaffordable). Seluruh dunia harus menempatkan mahalnya harga BBM menjadi musuh bersama (common enemy). Cara yang paling efektif adalah dengan berhemat dan prihatin. Tidak ada cara lain yang bakal efektif. Percuma, misalnya, berteriak-teriak agar China mengerem pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 11,4 persen. Bagaimana mau mengerem jika mereka masih punya tugas besar mengenyahkan pengangguran terbuka yang mencapai 9,5 persen, setara dengan 60 juta orang? Mana mungkin mereka mau?

Perlu disadari, kini dunia sudah berubah total, tidak lagi seperti tahun 1980-an saat rezeki minyak masih berlimpah. Kita tak lagi punya privilege karena era minyak kita sudah lama usai. Solusinya kini, tindakan penghematan. Memang bakal menyakitkan, tetapi tidak ada jalan lain.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

No comments: