Thursday, February 14, 2008

BI, Simfoni Tiada Henti


Kamis, 14 Februari 2008 | 01:58 WIB

Oleh: Supriyatno

Skandal aliran dana BI Rp 100 miliar mengembus dari institusi pemegang otoritas moneter tertinggi negeri ini. Setelah Sjahril Sabirin (Gubernur BI 1998-2003) terjerat kasus BLBI, kini giliran Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Terlalu pagi mengaitkan kasus ini sebagai tindak korupsi. Namun, sebagaimana terjadi pada bank sentral di banyak negara, segala kemungkinan bisa terjadi. Alasannya, kekuatan dan kekuasaan dapat membeli segalanya. Korupsi merebak saat agen ekonomi mempunyai kekuatan monopoli, tidak diimbangi akuntabilitas dan lemahnya supervisi (Klitgaard, 1988).

Konflik kepentingan

Studi Lambsdorff (2002) menunjukkan contoh modus korupsi di tubuh bank sentral.

Pertama, terjadi karena adanya kolusi antara pejabat bank sentral dan para bankir bank komersial. Pejabat bank sentral yang nakal, serakah, dan tanpa beban moral ”menjual” informasi awal kepada bankir bank komersial tentang kebijakan moneter (misalnya, kebijakan devaluasi) yang akan diterapkan.

Melalui jual-beli mata uang asing, mereka menangguk keuntungan besar atas selisih nilai tukar sebelum dan sesudah devaluasi. Skandal di Brasil (1999) mengakibatkan lengsernya gubernur bank sentral saat itu, Fransisco Lopes. Kita tidak tahu pasti, apakah praktik yang sama juga (telah) terjadi di Indonesia.

Kedua, karena adanya too well connected antara pejabat tinggi bank sentral dan komunitas perbankan nasional. Dalam situasi krisis, atas nama lender of last resort bank sentral dapat melakukan bail out guna ”menyelamatkan” perbankan nasional. Stiglitz (2002) mengkritisi hal ini sebagai adanya konflik kepentingan yang dapat menjurus pada tindak korupsi.

Terkait Indonesia, Lambsdorff (2002) mengatakan, ”Another case comes from Indonesia, where the central bank was not only ’too well’ connected to the banking community, suffering from the 1997 financial crisis. The central bank funds were even embezzled by directors of these banks. Parts of the central bank’s liquidity credits had been misused for lending to affiliated businesses.”

Sebenarnya, independensi Bank Indonesia (BI) sebagaimana dituangkan dalam UU RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI merupakan koreksi atas kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan aneka penyimpangan, antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam mengelola dana. UU itu memberi status, tujuan, dan tugas lebih tepat kepada BI selaku otoritas moneter, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang ditopang tiga pilar utama: kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian; sistem pembayaran yang cepat dan tepat; serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat.

Melibatkan pejabat

Yang menarik, kasus-kasus yang melibatkan pejabat teras BI justru terjadi setelah diberlakukannya independensi BI.

Beberapa tahun lalu, saat mengikuti kursus kepemimpinan bank di Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI), yang ada di bawah naungan YPPI milik BI, saya teringat nasihat pengajar yang adalah mantan gubernur bank sentral. Tiap insan perbankan wajib menjunjung tinggi kode etik profesi: utamakan aspek kehati-hatian dalam mengelola bank dan jauhkan diri dari perilaku tidak terpuji.

Ini akan menjadi anomali bila kelak terungkap, kasus aliran dana BI Rp 100 miliar masuk kategori tindak pidana korupsi.

Di masa datang, mungkin kita akan menikmati ”orkes simfoni” Bank Indonesia. Karya Schubert, Unfinished Symphony No 8 in B minor, penuh misteri karena baru dipentaskan beberapa dasawarsa setelah sang komponis wafat.

Akankah misteri juga terjadi dalam kasus aliran dana Rp 100 miliar? Mungkinkah ini menjadi langkah awal mengungkap ”gunung es” persoalan, atau sekadar ”riak” yang numpang lewat dan minta tumbal karena adanya agenda tersembunyi?

Kita sudah terlalu banyak mengharap ditegakkannya supremasi hukum dan praktik tata kelola yang baik. Di tengah kata ”kejujuran” yang kian risi diucapkan, rakyat yang berselimut kesulitan ekonomi hanya bisa pasrah.

Supriyatno Alumnus Program Doktor Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

No comments: