Jakarta, Kompas - Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI sebenarnya sudah berakhir. Yakni, ketika BLBI yang merupakan utang dari pemilik bank sudah dibayar oleh pemilik bank itu dengan kepemilikan banknya yang diberikan kepada pemerintah.
Demikian dikatakan mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas, Kamis (14/2). Kerugian lebih besar terjadi ketika bank eks milik swasta yang kini menjadi milik pemerintah itu ternyata memberikan kredit pada pemiliknya, saat masih dimiliki mereka.
”Utang ini dibayar dengan aset perusahaan. Ketika diterima, pemerintah menerimanya sebagai pembayaran lunas dengan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penjualan yang diperoleh ketika menjualnya. Ini tidak ada hubungannya dengan BLBI,” jelas Kwik.
Menurut dia, kerugian lebih besar adalah bank yang menjadi milik pemerintah dinilai tidak sehat dalam bentuk kekurangan capital adequacy ratio (CAR) atau rasio modal dengan aset tertanggung, menurut Dana Moneter Internasional (IMF) yang mendasarkan diri pada Bank for International Settlement (BIS).
”Untuk menyehatkannya disuntik dengan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (Obligasi Rekap/OR) yang jumlahnya sangat besar, Rp 430 triliun. Beban bunga dari surat utang itu Rp 600 triliun. Lantas bank ini dijual dengan harga murah. Pembelinya langsung menjual OR pada publik,” tutur Kwik Kian Gie.
Tidak kecewa
Di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Fajar R Zulkarnaen menuturkan, meski menilai pemerintah tidak berdaya menuntaskan kasus BLBI, pengurus HMI tak kecewa. ”Biasa saja. Kita sudah dewasa, tak perlu kecewa. Yang penting, masukan sudah kami sampaikan. Langkah dan gerakan lain nanti menunggu respons pemerintah,” ujarnya.
Pengurus HMI, Kamis kemarin, bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla. ”Sampai sekarang belum terlihat kemauan politik yang maksimal dari pemerintah,” ujar Fajar lagi.
Saat mendesakkan penyelesaian kasus BLBI, pengurus HMI mendapat penjelasan dari Wapres bahwa BLBI adalah kebijakan pemerintahan masa lalu. ”Kami ingin ketegasan dan tak ada tebang pilih untuk kasus BLBI. Saya sesalkan, pemerintah sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin pengemplang tidak teridentifikasi. Penjarakan mereka dan sita asetnya,” ujar Fajar.
Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Hasanuddin Irman Putra Sidin, dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis, mengatakan, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tidak seharusnya membiarkan pembantunya menangani sendiri persoalan sepenting BLBI. Tanggung jawab penyelesaian BLBI tak bisa dibebankan kepada semua orang, tetapi harus diselesaikan pemerintah.
”Ketidakhadiran secara fisik presiden atas interpelasi DPR memang dimungkinkan, tetapi ketidakhadiran secara formal ketika memberikan jawaban atas interpelasi merupakan pelanggaran konstitusi,” ujarnya.
Ia juga meneruskan, ”Siapa pun yang jadi presiden, bukan hanya mengambil alih kekuasaan, tetapi juga permasalahan yang ada. Jadi, tidak bisa dianggap kasus BLBI sebagai tanggung jawab bersama pada masa lalu.”
Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR menambahkan, fraksinya akan memobilisasi dukungan untuk mengeluarkan hak angket. ”Pokoknya, semua cara untuk mendesak pemerintah menyelesaikan kasus BLBI akan kami pakai, termasuk menggunakan hak konstitusional DPR untuk menggunakan hak angket,” ujarnya.
Menurut Effendy, pemerintah tak bisa membiarkan kasus yang sudah 10 tahun berjalan itu.(gun/inu/mam)
No comments:
Post a Comment