Sunday, February 3, 2008

Dunia Menyongsong Resesi Global


Kamis, 24 januari 2008 | 03:44 WIB

Sri Hartati Samhadi

Meski tidak sedigdaya dan seadidaya dulu, Amerika Serikat yang menyumbang sekitar 30 persen dari produk domestik bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian terbesar. AS sekaligus juga pusat keuangan dunia. Dengan demikian, analogi ”AS bersin, seluruh dunia ikut demam” masih berlaku. Kekhawatiran akan terjadinya resesi pada perekonomian terbesar itu kembali mengguncang seluruh pasar saham global pekan ini.

Sejak menyeruaknya kasus kredit macet perumahan (subprime mortgage) di AS, Agustus 2007, kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS—yang berisiko menyeret seluruh perekonomian dunia dan kemungkinan dibarengi dengan kejatuhan dollar AS—memicu gejolak liar pasar uang seperti roller coaster di berbagai belahan dunia. Beberapa indeks saham mengalami pemangkasan dan terpuruk ke titik terendah dalam sejarah.

Para pakar menggambarkan krisis yang sekarang ini sebagai yang ”terburuk sejak krisis finansial Asia 1997”, ”lebih buruk dari krisis LTCM” (Long Term Capital Management, raksasa hedge fund AS yang kolaps September 1998), bahkan ”terburuk sejak Perang Dunia II”.

Sejauh ini belum ada konsensus di kalangan pakar mengenai seberapa besar probabilitas untuk terjadinya resesi. Namun, dengan dampak krisis subprime yang semakin melebar ke mana-mana dan adanya data terbaru yang semakin memperkuat indikasi terpuruknya ekonomi AS, pertanyaan yang muncul kini bukan lagi apakah AS akan mengalami soft landing (perlambatan ekonomi) atau hard landing (perlambatan ekonomi secara mendadak sehingga mengakibatkan guncangan).

Namun, seberapa keras hard landing akan terjadi dan seberapa dalam serta berapa lama resesi akan berlangsung. Per definisi, resesi adalah penurunan pertumbuhan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Indikator lainnya adalah pendapatan riil masyarakat, lapangan kerja, tingkat produksi industri, perdagangan skala besar, dan penjualan eceran. Dari definisi ini, beberapa pakar mengatakan, resesi sebenarnya sudah terjadi.

Berbeda dengan soft landing, IMF yakin tidak akan ada decoupling jika yang terjadi adalah hard landing. Artinya, semua negara akan merasakan imbasnya kendati dalam skala berbeda.

Krisis utang

Beberapa analis mengidentikkan krisis subprime di AS ini dengan krisis utang. Bedanya, kali ini dialami oleh negara maju dan perekonomian terbesar pula. Selain perekonomian terbesar, AS juga negara pengutang terbesar. Dengan total utang 43 triliun dollar AS, setiap warga negara memikul beban utang 145.000 dollar AS dan setiap pekerja yang bekerja penuh menanggung 350.000 dollar AS. Ini belum termasuk utang pribadi, seperti utang kartu kredit.

Selama ini Pemerintah AS membiayai utang tersebut dengan memelihara defisit perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan yang angkanya terus membengkak. Tak berlebihan mengatakan, menggelembungnya ekonomi AS banyak ditopang oleh utang dan konsumtivisme masyarakatnya.

Perekonomian AS bergerak dari bubble (gelembung satu) ke bubble (gelembung lainnya), dan setiap kali bubble itu semakin besar. Jadi, ibarat bom waktu, hanya menunggu meledak.

Bagi AS sendiri, ini resesi kedua dalam tujuh tahun terakhir atau selama pemerintahan George W Bush. Banyak yang menuding kebijakan penurunan suku bunga secara agresif oleh Fed sebagai pemicu terciptanya bubble di sektor perumahan dan kredit yang meledak sekarang ini. Namun, beberapa analis lain, seperti ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, menuding kapitalisme pasar bebas ala wild west di AS sebagai biang kerok.

Mereka melihat, tiga resesi terakhir (tahun 1990, 2001, dan sekarang ini) tak bisa dilepaskan dari tidak adanya regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap lembaga finansial. Salah satu contohnya adalah maraknya praktik pemberian kredit yang ugal-ugalan, melanggar aturan kehati-hatian, dan penuh jebakan bagi konsumen (abusive, fraud and predatory lending) yang kemudian macet, seperti terjadi dalam kasus subprime mortgage. Sementara intervensi preventif Fed dan pemerintah hampir tidak ada.

Sejauh mana paket stimulus fiskal senilai sekitar 145 miliar dollar AS (setara sekitar 1 persen dari PDB AS) yang disiapkan Bush akan mampu membendung resesi? Pasar menanggapi dingin karena kalaupun mulus dalam pembahasan di Kongres, dampak paket diperkirakan marjinal. Pengalaman sebelumnya, ada time lag 1-2 tahun sebelum efek terlihat di lapangan.

Banyak yang meyakini resesi kali ini akan lebih dalam dan lebih lama dari krisis sebelumnya karena magnitude yang sedemikian luas menyeret sistem perbankan dan lembaga keuangan dalam spiral kebangkrutan yang tak tahu kapan berhenti.

Perkembangan terakhir, krisis subprime sudah merembet ke segmen pasar mortgage dan kredit konsumen lain, bahkan ke segmen kredit dengan kualitas lebih baik.

Dampak ke Indonesia

Resesi global, menurut PBB, akan sangat memukul negara-negara miskin, memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia, dan ada kemungkinan mengakhiri booming harga komoditas yang sedang berlangsung. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia memperkirakan emerging market Asia, termasuk Indonesia, relatif tak akan terlalu terpukul oleh resesi AS, meski juga tak sepenuhnya terbebas dari dampaknya.

Keyakinan ini didasari pada kokohnya fundamental makroekonomi, solidnya posisi neraca eksternal (neraca transaksi berjalan/neraca perdagangan), kebijakan prudensial di sektor perbankan dan keuangan, serta relatif sudah berkurangnya ketergantungan pada pasar AS.

Singkatnya, Asia sekarang ini bukan Asia sebelum krisis 1997/1998. Survei Nielsen Company juga menunjukkan masih sangat kuatnya optimisme konsumen Asia bahwa resesi tidak akan terjadi. Kendati demikian, ADB dan Bank Dunia mengingatkan, resesi dan gejolak pasar uang global masih berpotensi memunculkan guncangan dan turbulensi di pasar regional.

Ada beberapa saluran transmisi dampak resesi ekonomi AS ke perekonomian dalam negeri. Pertama, lewat perdagangan. Meski ketergantungan terhadap AS sudah tak sebesar dulu, AS sekarang ini masih pasar utama ekspor Asia, termasuk Indonesia. Sekitar 60 persen ekspor emerging economies Asia tertuju pada AS, negara-negara di zona euro Eropa dan Jepang (G3) yang seluruhnya terkena imbas resesi AS. Untuk Indonesia, sumbangan pasar AS terhadap ekspor 13-14 persen. Bappenas memperkirakan resesi AS akan mengurangi ekspor Indonesia ke AS 2 miliar dollar AS tahun ini.

Turunnya permintaan negara maju juga akan membawa konsekuensi lain, yakni meningkatnya sentimen proteksionisme di AS dan semakin membanjirnya produk murah China di pasar Indonesia. Ini pukulan baru bagi industri manufaktur kita.

Kedua, lewat pasar uang. Meningkatnya persepsi risiko investasi di emerging markets bisa memicu perubahan mendadak sentimen pasar dan penarikan modal oleh investor. Apalagi dengan sudah adanya indikasi asset bubble, ditandai oleh naiknya harga saham dan properti di atas kewajaran.

Jadi, ada risiko terjadinya koreksi tajam yang mengakibatkan guncangan di pasar uang atau perekonomian. Arus modal jangka pendek sekarang ini menyumbang sekitar 60 persen dari total arus modal masuk ke Asia. Kemungkinan pembalikan mendadak arus modal secara besar-besaran, ditambah melemahnya dollar AS seiring resesi AS, akan semakin menekan rupiah.

Resesi global menambah ketidakpastian baru bagi perekonomian Indonesia yang tengah dihadapkan pada banyak tekanan, seperti lonjakan harga minyak mentah dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang kian menekan daya beli/ konsumsi masyarakat. Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga global. Oleh karena itu, kita hanya bisa berharap pada instrumen fiskal (APBN) yang kini sudah menanggung beban berat berbagai subsidi untuk menggerakkan ekonomi.

Harus ada terobosan di tengah lautan ketidakpastian yang mengungkung kita sekarang ini. Istilahnya, lebih baik sedia payung sebelum hujan. Sense of crisis, ketegasan, dan skala prioritas menjadi kunci penting di sini.

No comments: