Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Potongan kalimat itu bukan dari saya, tetapi dari Bung Karno sebagai bagian dari usulnya untuk sila keempat Pancasila dalam pidato tentang dasar negara di depan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945. Sila itu semula berbunyi "Kesejahteraan sosial," kemudian dalam sidang pada 22 Juni ditempatkan sebagai sila kelima dengan redaksi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Bagi Bung Karno, sila ini sama dengan tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.
Sekarang sudah lebih 62 tahun negeri ini merdeka, kemiskinan masih 'setia' bersama kita. Menurut Faisal Basri, jika ukuran yang digunakan adalah hitungan pendapatan rata-rata per kepala, sebesar dua dolar AS, maka rakyat Indonesia yang miskin berjumlah 100,7 juta jiwa atau 42,6 persen dari seluruh jumlah penduduk. Dua dolar AS setara Rp 18.500. Itu jika semua rakyat Indonesia dianggap punya penghasilan. Jumlah yang tidak punya penghasilan atau penganggur total masih di atas 10 juta, sebuah angka yang cukup mengerikan.
Dalam Resonansi 11 Desember lalu, disebut penyebab utama dari malapetaka kemiskinanan adalah karena pemerintah sejak kita merdeka tidak pernah merancang strategi pembangunan yang benar-benar prorakyat. Ada dua atau tiga kabinet tahun 1950-an yang punya komitmen untuk menghalau kemiskinan ini, tetapi umurnya pendek-pendek. Perseteruan antarpartai atau terjadinya gesekan sipil-militer telah memangkas umur kabinet, sehingga semua program prorakyat itu kandas. Inilah yang terjadi pada periode yang disebut era demokrasi liberal di bawah payung UUDS.
Pada periode sistem Demokrasi Terpimpin yang minus demokrasi itu, kehidupan rakyat semakin sengsara. Politik mercusuar dan manipol-usdek telah jadi "agama" ketika itu. Ada pakar yang menganjurkan budi daya bekicot sebagai ganti daging, karena harganya sudah membubung tinggi. Rakyat kecil cukuplah dengan bekicot. Di akhir periode itu, tingkat inflasi sudah mencapai 650 persen. Kemiskinan sudah sangat meluas. Kemerdekaan tidak ada korelasinya dengan kesejahteraan rakyat dan perbaikan nasib orang banyak.
Bangunan Demokrasi Terpimpin hanya bisa bertahan enam tahun, kemudian berantakan seperti rumah laba-laba. Digantikan oleh Demokrasi Pancasila (1966-1998). Semula sangat memberi harapan, inflasi dipangkas, pembangunan fisik digalakkan, dan sampai batas tertentu berhasil. Tetapi, setelah virus kroni dan keluarga memasuki dunia bisnis, keadaan semakin tidak terkontrol. Akhirnya sistem ini rubuh disapu krisis monoter 1998. Rezim pun jatuh. Pengusaha kelimpungan, UKM agak menolong, tetapi lautan kemiskinan telah menjadi fakta keras. Sampai detik ini belum sepenuhnya pulih, karena fundamental ekonomi kita ternyata rapuh, sekalipun menjelang krisis masih saja dipuji oleh IMF dan Bank Dunia, bos rezim Demokrasi Pancasila. Kemudian, muncul gerakan reformasi.
Tahun ini era reformasi akan berusia 10 tahun. Ada perbaikan di sana-sini, tetapi fundamental ekonomi, kata para pakar, masih rapuh. Kehidupan wong cilik belum banyak perbaikan. Maka ungkapan: "Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka" tetaplah menjadi dokumen penting, sementara kemiskinan setelah lebih 62 tahun merdeka masih menjadi "sahabat" kita. Tetapi di atas itu semua, negeri ini adalah negeri kita yang tidak boleh dibiarkan terus meluncur ke jurang yang lebih dalam. Adalah sebuah pengkhianatan terbuka kalau kita masih saja tidak hirau dengan nasib bangsa keempat terbesar di muka bumi. Namanya Indonesia dan lagunya Indonesia Raya yang selalu membahana di angkasa lepas: Hiduplah Indonesia Raya!
Sampai berapa lama lagi Indonesia Raya betah hidup berdampingan dengan kemiskinan? Kemiskinan wajib dihalau, semua bentuk pengkhianatan harus dipangkas pada kuncupnya. Untuk itu kita memerlukan strong leadership yang adil dan bersih!
No comments:
Post a Comment