Tuesday, February 5, 2008

Penyusutan Daya Dukung Alam Diabaikan


Selasa, 5 Februari 2008 | 02:05 WIB

Jakarta, Kompas - Pembangunan yang hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi menjebak pemerintah pada pengabaian daya dukung lingkungan. Bencana lingkungan yang menjadi bencana tahunan menunjukkan ketidakseriusan pemerintah menangani lingkungan.

”Eksploitasi sumber daya alam sungguh rakus. Pemerintah hanya menghitung manfaat ekonomi, tetapi abai menghitung penyusutan alam,” kata ahli pada Pusat Studi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Senin (4/2).

Hasil Kajian Daya Dukung dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pulau Jawa Tahun 2007 di bawah koordinasi Menko Perekonomian pun menunjukkan, 63 persen dari 278 peraturan daerah (perda) yang dikaji di semua kabupaten/kota di Pulau Jawa bersifat eksploitatif dan 45 persen dari seluruh perda itu sama sekali tak memerhatikan daya dukung lingkungan.

Menurut Ichsanuddin, menyaksikan ragam bencana yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah pusat dan daerah tak perlu menuding siapa yang bersalah. Pola pembangunan yang rakus sumber daya alam cukup menjawab pertanyaan itu.

”Sinergi perencanaan tata ruang tak menghubungkan pemerintah dan swasta. Tata ruang yang ada tidak proporsional dan tidak proper sehingga menyengsarakan banyak orang,” katanya.

Dia yakin sebagian perda yang eksploitatif itu tidak melibatkan partisipasi khalayak ramai, sebaliknya, mengakomodasi kepentingan pengusaha.

Senada dengan itu, sebelumnya, anggota tim Kajian Daya Dukung dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam 2007, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan, perda-perda eksploitatif disusun tanpa pelibatan masyarakat. Di antaranya, perda soal sumber daya tanah dan lahan, air, tambang, pengelolaan kawasan pantai, ekowisata, sampah dan kebersihan, serta perdagangan sumber daya hayati. Konflik kepentingan antara masyarakat dan investor tetap terjadi sekalipun sudah ada syarat pelibatan masyarakat.

Luar Jawa

Kondisi di luar Jawa tak jauh beda. Pemerintah daerah cenderung mengeluarkan kebijakan memanfaatkan sumber daya alam daripada melindungi, seperti kehutanan dan pesisir pantai. ”Sangat sedikit yang bicara perlindungan,” kata Direktur Eksekutif Institut Hukum Sumber Daya Alam Fathi Hanif.

Kajian institut itu di Kalimantan dan Papua menunjukkan kecenderungan eksploitatif tersebut. Justifikasinya, penerimaan daerah itu digunakan untuk membiayai sektor-sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan.

Menurut Fathi, kecenderungan itu selain praktis dan gampang, juga karena sistem pemerintahan tidak mendukung. Misalnya, ketika daerah dihadapkan pada pilihan konservasi atau eksploitasi, tidak ada mekanisme insentif jika memilih konservasi.

Menurut Ichsanuddin, perda- perda eksploitatif tak lepas dari problem sistemik, di mana pengawasan tata urutan undang-undang dari pusat ke daerah masih lemah. (GSA)

No comments: