Tuesday, February 5, 2008

Cara Mengembalikan Kerugian Negara Dari BLBI



Minggu, 20 Januari 08

Dalam bergejolaknya kembali masalah BLBI banyak pihak yang menyatakan tidak mempunyai kebutuhan mencari siapa yang salah dengan maksud menghukumnya. Mereka hanya ingin supaya kerugian keuangan negara dikembalikan.

Apakah ada cara, dan bagaimana caranya kalau ada ? Saya pernah mengatakan kepada Kejaksaan Agung dan pers bahwa rasanya tidak bisa kembali, karena ibaratnya nasi sudah menjadi bubur.

Namun karena perdebatan ini masih saja sangat hangat, bahkan kita semua sedang menunggu pelaksanaan interpelasi tentang BLBI oleh DPR, saya berpikir keras, apakah benar bahwa nasi yang sudah menjadi bubur itu karbohidratnya menjadi musnah ? Jelas tidak.

Kalau kita mengambil contoh kasus BCA, kerugian negara sebesar Rp. 33 trilyun bukannya uangnya musnah, tetapi sudah tercecer pada puluhan atau ratusan pembeli 108 perusahaan ex milik Salim yang dijuali oleh pemerintah dengan harga murah itu.

Maka kalau kita toh ingin mencari solusi supaya kerugian sebesar Rp. 33 trilyun itu kembali, pendekatannya haruslah pada yang sekarang memiliki 108 perusahaan ex milik Salim itu, di samping Salim yang harus juga diminta kemauan baik dan kerja samanya.

Kita mengetahui bahwa keluarga Salim mengambil kredit dari BCA yang miliknya sendiri sebesar Rp. 53 trilyun (dibulatkan). BCA menjadi milik pemerintah, sehingga keluarga Salim berutang kepada pemerintah sebesar Rp. 53 trilyun tersebut.

Utang ini dibayar dengan 108 perusahaan. Ketika dijual ternyata hanya laku Rp. 20 trilyun, sehingga pemerintah menderita kerugian sebesar Rp. 33 trilyun.

Bagaimana mengembalikan kerugian yang Rp. 33 trilyun ini ? Kalau semua pihak yang terkait dengan kerugian tersebut mempunyai itikad sangat-sangat baik, ada cara yang tidak terlampau merugikan siapapun juga. Namun supaya saya tidak dianggap naif, tidak mengenal dunia usaha yang nyata serta tidak mengenal mental pengusaha, saya tekankan sebelumnya bahwa apa yang saya kemukakan sebagai solusi dalam tulisan ini murni teoretis, deduktif, logis yang dilandasi oleh moralitas tidak mau memanfaatkan aji mumpung dan juga tidak mau menjadi kaya karena adanya kesempatan dalam kesempitan. Saya tahu bahwa solusi ini hanya bisa terwujud kalau para pengusaha yang membeli 108 perusahaannya keluarga Salim itu sama sekali tidak serakah dalam arti mau meringankan beban kerugian pemerintah asalkan dirinya sama sekali tidak dirugikan.

Solusinya sebagai berikut. Setiap pembeli perusahaan yang 108 buah itu diminta menjualnya kembali kepada keluarga Salim dengan harga yang dibayarnya ditambah dengan bunga yang tingginya sama dengan bunga deposito selama sejak mengeluarkan uang pembelian sampai dibelinya kembali oleh keluarga Salim.

Dengan 108 perusahaan itu kembali ke tangan keluarga Salim, keluarga Salim diharuskan membayar tunai kepada pemerintah sebesar Rp. 33 trilyun ditambah dengan bunga setingkat bunga deposito sejak tanggal mereka menyerahkan 108 perusahaannya sampai mereka membayarkan jumlah Rp. 33 trilyun plus bunganya.

Setiap pembeli perusahaan ex milik Salim akan memperoleh uangnya kembali ditambah dengan bunga deposito. Mereka tidak kehilangan the time value of money karena diberi bunga deposito yang berlaku. Investasi mereka dalam bentuk pembelian perusahaan ex milik Salim diputar kembali seolah-olah uang itu didepositokan di bank dengan memperoleh bunga deposito yang berlaku.

Pemerintah mendapatkan kembali kerugian sebesar Rp. 33 trilyun ditambah dengan bunga deposito.

Jadi pembeli diminta kerelaannya menjual perusahaannya kembali dengan harga yang dahulu dibayarnya ditambah dengan bunga deposito. Apakah mereka mau ? Kalau perusahaan yang dibelinya merugikan dirinya dalam operasinya, jelas mau. Tetapi kalau perusahaan yang dibelinya memberikan keuntungan, apalagi kalau keuntungannya melimpah ruah jelas tidak mau, atau paling sedikit sangat enggan. Kepada mereka ini dicoba dihimbau sudilah kiranya menolong pemerintah memperoleh kembali Rp. 33 trilyun tanpa mereka menderita kerugian, karena uangnya kembali, dan ditambah dengan bunga deposito. Jadi mereka diminta menganggap dirinya mendepositokan uangnya.

Apakah keluarga Salim mau membeli 108 perusahaan tersebut dengan harga seperti yang dikemukakan tadi ? Kalau semua pembeli 108 perusahaan ex miliknya mau menjual, Salim harus dipaksa untuk mau menelannya kembali dengan harga yang ditentukan oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers, plus bunga deposito sebagai penggantian the time value of money.

Tadi telah saya katakan bahwa saya tidak naif. Maka saya tidak terlalu percaya kalau para pembeli asset Salim itu mau menjualnya kembali secara sukarela. Maka walaupun sangat sulit, kalau memang mau, pemerintah dapat mencoba menggunakan seluruh kekuasaan dan pengaruhnya untuk merealisasikan pikiran ini.

Para pembeli itu sebenarnya tidak dirugikan. Mereka seolah mendepositokan uangnya ke dalam bank yang memperoleh bunga deposito. Tetapi hampir dipastikan bahwa kalau secara sukarela, mereka tidak mau kehilangan laba luar biasa yang diperolehnya karena bisa membeli perusahaan bagus dalam lingkungan ekonomi makro yang sangat terpuruk, sedangkan penjualannya dengan sistem jual obral dengan harga berapa saja, asal tidak melampaui tanggal tertentu.

Jadi para pembeli itu tidak akan rela menjual kembali perusahaan bagus yang dibelinya sebagai kesempatan yang diperolehnya dalam kesempitan. Namun demi kepentingan umum, demi menutup kerugian negara yang besar itu, mereka dihimbau dengan sangat (setengah paksa) supaya mau.

Walaupun konteksnya berlainan, tetapi karena sangat jelas angka-angkanya, dan masih ada hubungannya dengan kasus BLBI BCA, kita ambil ini sebagai contoh.

Maukah pembeli BCA menjual BCA kepada pemerintah dengan harga Rp. 10 trilyun ditambah dengan bunga deposito ? Mana mau ? Di dalam BCA ada surat utang pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun dan ketika membeli, BCA sudah mempunyai laba ditahan sebesar Rp. 4 trilyun.

Secara nominal, rugikah kalau pembeli BCA dipaksa untuk menjualnya kembali dengan harga yang pernah dibayarnya ditambah dengan bunga deposito ? Tidak, karena dia memperoleh Rp. 10 trilyunnya kembali ditambah dengan bunga setingkat bunga deposito.

Dia tidak akan mau menjualnya kembali, karena mendapat rezeki nomplok yang luar biasa besarnya.

Adakah orang yang tidak mau meraih rezeki nomplok sebesar itu yang ditawarkan sebagai kesempatan dalam kondisi kesempitan ? Ada, yaitu Bank ABN AMRO. Ketika Standard Chartered sedang bersaing dengan Farralon mendapatkan BCA, saya tanya kepada pimpinan Bank ABN AMRO mengapa tidak ikut bersaing membelinya ? Olehnya dijawab : “Kwik, kami adalah bank, bukan perampok Obligasi Rekap-nya pemerintahmu.”

Jadi kalau masalah kerugian negara yang Rp. 33 trilyun ini kita telaah dengan logika falsafah moral (moral philosophy) yang mendalam, solusinya ada, tetapi dunia dagang memang bukan dunianya moral philosophers.

Toh ada contohnya bahwa yang mustahil bisa direalisasikan. Tetapi ya itu, lagi-lagi harus IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang memaksanya. Masih ingat Jakarta Initiative Task Force (JITF) ? Banyak pengusaha Indonesia berutang kepada bank-bank di luar negeri dalam valuta asing. Mereka lantas ngemplang. Pemerintah Indonesia kan tidak ada urusan dengan pengemplangan ini ? Yang ngemplang ketika berutang tidak diketahui oleh pemerintah. Bank-bank asing juga sama sekali tidak memberitahukan kepada pemerintah Indonesia bahwa warga negaranya banyak yang berutang kepadanya.

Tetapi toh IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia memaksa pemerintah Indonesia mendirikan lembaga yang dinamakan JITF dengan tugas melakukan penekanan-penekanan pada para debitur swasta Indonesia supaya membayar utangnya kepada bank-bank di luar negeri.

Kebetulan yang dipaksa saya sendiri ketika saya menjabat sebagai Menko EKUIN. Saya turuti kehendak mereka, karena walaupun pemerintah tidak ada urusannya, JITF mengandung nilai-nilai moral yang bisa mengangkat nama baik para pengusaha Indonesia di dunia internasional.


Oleh Kwik Kian Gie

2 comments:

Hijrah said...

bagus bro

Hijrah said...
This comment has been removed by the author.