Wednesday, February 20, 2008

Pangan Murah dan Sindrom Kelangkaan


Ahmad Erani Yustika

Hingga kini pangan selalu menjadi isu penting di Indonesia karena proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk pangan pada dekade 1980-an mencapai 70 persen dan kini sekitar 50 persen. Penurunan ini amat berarti karena separuh pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan.

Ini berbeda dengan, misalnya, Amerika Serikat. Pada tahun 2003, warga AS hanya membelanjakan 10 persen pendapatan riilnya (disposable income) untuk pangan (food). Ini angka terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan puncaknya pada 1933 (25,2 persen). Sejak tahun-tahun itu sampai kini persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terus merosot. Jadi, desain kebijakan pangan Indonesia dan AS berbeda sebab berbeda karakteristik pola pengeluarannya. Bagaimana hal ini harus dijelaskan?

Kebijakan pangan murah

Dalam situasi seperti itu, Pemerintah AS tetap memberlakukan kebijakan pangan murah (cheap food) meski proporsi pendapatan warganya yang dibelanjakan untuk pangan tidak besar. Di sini, yang dimaksud dengan pangan murah adalah upaya menurunkan harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif.

Di AS, kebijakan itu melahirkan perdebatan karena dianggap menimbulkan efek negatif, di antaranya meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita obesitas mencapai 14,61 persen dan pada 2002 menjadi 31,3 persen (Miller dan Coble, 2007).

Hasil studi yang sama menunjukkan kebijakan AS atas subsidi langsung pangan (hingga menjadi murah) tidak lantas memperbaiki kemampuan warganya atas pangan. Meski demikian, hingga kini secara umum Pemerintah AS masih memberi proteksi terhadap pangan.

Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah an sich tanpa diimbangi kebijakan lain (seperti penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang bagus) tidak menjamin tiap warga dapat mengakses pangan. Lebih dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti Indonesia, selalu bermakna subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua entakkan sekaligus.

Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi amat kecil akibat kebijakan pangan murah.

Kedua, petani harus membayar mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan penentuan harga berdasar mekanisme pasar. Meski hal ini mudah dipahami, dalam sejarahnya sulit mengimplementasikan fondasi kebijakan ini karena kuatnya penetrasi politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.

Sindrom kelangkaan

Proteksi atas komoditas pangan (atau pertanian) sebagian dipicu ketakutan kelangkaan yang bakal terjadi jika sektor itu tidak dikawal. Dengan jiwa itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan terhadap sektor pertanian sebagai antisipasi atas kemungkinan kelangkaan. Paarlberg (1982) mendeskripsikan sindrom kelangkaan (scarcity syndrome) sebagai kritik atas tiga kebijakan pemerintah untuk menjaga harga komoditas pangan tetap rendah, yakni embargo perdagangan (trade embargoes), kontrol harga langsung (direct price controls), dan manajemen persediaan (management of stocks). Menurutnya, ada empat konsekuensi dari kebijakan pangan murah yang diterapkan AS: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) mengurangi penerimaan ekspor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi AS dalam perdagangan global.

Pertanyaannya, bagaimana Indonesia akan menciptakan kedaulatan pangan? Apakah Indonesia harus mengambil kebijakan yang sama dengan AS, atau mendesain kebijakan lain? Tampaknya, kebijakan pangan murah juga bukan solusi yang baik (dalam jangka panjang) bagi Indonesia karena menjadikan petani sebagai korban (victim of development).

Namun, meniadakan kebijakan itu juga bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pangan masih cukup besar dan pendapatan per kapita penduduk masih rendah. Di sinilah diperlukan kebijakan ganda sebagai kompromi guna menyatukan dua kepentingan. Pertama, kebijakan kontrol harga langsung dihilangkan (dalam jangka menengah/panjang), diganti subsidi input (bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lainnya). Kedua, stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan.

Untuk kebijakan stabilitas pasar (market stability) dapat dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memperbaiki sektor pertanian dengan (i) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah instabilitas pasar dan krisis pangan.

Secara spesifik, soal diversifikasi konsumsi pangan itu penting karena mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan. Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan menunjukkan hal itu, di mana ketergantungan konsumsi terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang. Dengan jalan ini, kedaulatan pangan bisa terwujud, bukan sebatas retorika politik.

Ahmad Erani Yustika Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi FE Unibraw; Ekonom Indef, Jakarta


No comments: