Thursday, February 7, 2008

Anatomi aliran dana BI

oleh : Djony Edward
Wartawan Bisnis Indonesia

"Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri." Begitulah pepatah lama mengatakan soal perlunya seseorang, kelompok, pemerintah atau negara berhati-hati dalam menyikapi persoalan. Kalimat itu seolah mewakili apa yang terjadi di Bank Indonesia, terkait dengan penetapan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka dalam kasus aliran dana BI.

Hanya saja siapa yang menepuk dan siapa yang terpercik memang belum kelihatan. Pada waktunya semua akan terungkap dalam persidangan di KPK kelak. Kita hanya bisa menganalisa, menduga-duga, dan mengira berdasarkan bahasa tubuh, perilaku dan kebijakan yang diambil atas pribadi-pribadi, institusi dan arah penegakkan hukum KPK dimasa kepemimpinan sang Antasari Azhar.

Citra rendah

Sejak 1999 hingga pertengahan 2003, citra Bank Indonesia (BI) berada pada posisi yang amat rendah, dengan kenyataan bahwa laporan keuangan pernah dinyatakan disclaimer, rating negara menurun, ketidakpastian UU BI yang sedang diamendemen, dengan tekanan dari IMF untuk segera diselesaikan dengan segala konsekuensinya.

Akibatnya, kerja BI menjadi tak efektif sehingga mempengaruhi kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan, tidak hanya makro dan moneter.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak difahami oleh masyarakat sebagai kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh BI. Padahal, kebijakan semacam BLBI banyak dilakukan oleh negara lain, misalnya Thailand, Korea, Malaysia, Mexico, Argentina, Inggris, dll.

Oleh karena itu BI dan DPR ketika itu memandang perlu untuk melakukan langkah-langkah seperti: Pertama, melakukan diseminasi informasi, antara lain melalui studi banding ke berbagai negara yang dilakukan bersama dengan stakeholder BI. Di antaranya parlemen dan media untuk pembentukan public opinion yang benar.

Kedua, memberikan bantuan hukum bagi para mantan anggota Dewan Gubernur yang bermasalah dalam melaksanakan tugas kedinasan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Bisnis, terungkap bahwa kebijakan ini sudah terjadi dan konstruksi dari kebijakan tersebut diputuskan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) di masa Syahril Sabirin, Anwar Nasution, Miranda Swaray Goeltom, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Maman Somantri. Seperti yang terjadi pada Maret-Mei 2003, yaitu permintaan permohonan pinjaman uang kepada YLPPI dan diputuskan oleh RDG serta dilaksanakan Direktorat Hukum BI. Dalam hal ini Dewan Pengawas (LPPI) adalah Aulia Pohan dan Maman Somantri.

Burhanuddin Abdullah baru dilantik sebagai Gubernur BI pada 20 Mei 2003 dan baru menjabat dua minggu menjelang rapat 3 Juni 2003 (dengan konstruksi dan kebijakan yang sudah diambil, sama dengan sebelumnya). Pada dasarnya Burhanuddin melanjutkan rangkaian kebijakan tersebut.

Pada saat itu, dengan semakin buruknya citra BI dan mengamankan posisi hukum--misalnya dengan wacana yang berkembang tentang pembubaran BI dan pembentukan BI baru, maka selain bantuan hukum dibahas juga kebutuhan dana untuk menanggulangi kegiatan insidentil yang mendesak. Namun, karena hal ini terjadi pada pertengahan tahun, maka biayanya belum dianggarkan.

Karena itu, Deputi Gubernur yang membidangi keuangan yaitu Bun Bunan Hutapea memberi jalan keluar untuk menggunakan dulu dana dari YLPPI sebagai pinjaman. Adapun Deputi Gubernur lainnya yang menjadi Dewan Pengawas YLPPI, yakni Aulia Pohan, diminta mengkoordinasikan penyisihan sejumlah uang (Rp100 miliar) dari YLPPI.

Pada rapat 22 Juli itu dibentuklah lembaga Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) untuk melaksanakan diseminasi informasi dan menyelesaikan bantuan hukum tersebut. Pelaksanaan dari program diseminasi tersebut dilaporkan kepada koordinator PSK, yaitu Aulia Pohan dan Maman Somantri.

Dengan langkah tersebut, akhirnya disepakati bahwa BLBI dipikul bersama oleh pemerintah dan BI dengan persetujuan Komisi IX DPR RI, dan BLBI dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh BI.

Dengan adanya kesepakatan ini, maka pemerintah mengeluarkan Surat Utang Pemerintah (SUP) kepada BI (senilai Rp144,5 triliun) untuk diselesaikan pada waktunya, dengan cara surplus BI yang diberikan kepada pemerintah akan digunakan sebagai pengurang untuk menyelesaikan BLBI. Termasuk rampungnya amendemen UU BI No. 23/1999 dan diundangkan menjadi UU No. 3/2004.

Membaik

Hasil yang dicapai dari kebijakan ini adalah, laporan keuangan BI pada 2004 dinyatakan unqualified opinion, atau wajar tanpa syarat, oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan berlanjut hingga sekarang.

Selain itu, meningkatnya kepercayaan dunia usaha terhadap iklim investasi yang dimotori oleh stabilitas moneter yang berkelanjutan, terbukti rating Indonesia yang dilakukan oleh Standar & Poor, Moody's, Fithc IBCA secara bertahap, mendekati rate investment grade.

Neraca pembayaran Indonesia selama empat tahun terakhir selalu surplus, yang secara rata-rata mencapai 2,4% dari GPD (gross domestic product). Dengan surplus tersebut, maka cadangan devisa meningkat dari US$28 miliar menjadi US$58 miliar. Dengan cadangan devisa itu, maka nilai tukar rupiah dapat dipertahankan stabil dengan cukup lama (empat hingga lima tahun) pada level sekitar Rp8.300 hingga Rp9.500. Kecuali Agustus 2005 yang mencapai Rp11.500 akibat kenaikan harga minyak dalam negeri.

Belum lagi stabilitas makro ekonomi dapat dijaga secara berkelanjutan, dan tingkat inflasi menurun ke level satu digit dari sebelumnya dua digit. Pertumbuhan ekonomi secara bertahap dalam empat tahun terakhir terus meningkat, sehingga pada tahun 2007 telah melampaui 6%. Suku bunga SBI yang pada saat awal mencapai 12% secara bertahap turun hingga 8% (BI Rate). Pada gilirannya ekspor meningkat dari tahun-ke tahun cukup besar.

Pengakuan internasional terhadap Bank Indonesia cukup tinggi, seperti keinginan Indonesia sejak lama untuk menjadi anggota Bank for International Settlement (BIS) tidak tercapai hingga 2003. Tetapi setelah adanya perbaikan, maka Indonesia bisa menjadi anggota penuh BIS sejak 2004 dan dapat memenuhi standar ketentuan perbankan internasional, sehingga tingkat kepercayaan dunia terhadap pasar keuangan dalam negeri secara bertahap dapat meningkat.

Indonesia menjadi ketua Islamic Financial Service Board (IFSB) pada 2005. Pembayaran kembali hutang IMF sebelum jatuh tempo (2005) dan posisi tawar Indonesia meningkat dengan kepemilikan voting rate di IMF yang lebih besar.

Indonesia juga dikeluarkan dari daftar hitam lembaga yang dianggap tidak memenuhi standar internasional dalam rangka pencucian uang (2005). Gubernur BI sendiri mendapat predikat The Best Central Bank Award 2007.

Gubernur BI juga diberi kesempatan memimpin banyak delegasi, misalnya sebagai ketua EMEAP, SEACAN, dan akan menjadi tuan rumah SEACAN yang direncanakan Maret 2008.

Dampak serius

Dampak proses hukum BI oleh KPK cukup serius, kestabilan moneter yang dicapai selama ini dengan ongkos yang sangat mahal bisa terganggu dimana pada bulan Januari saja BI telah menghabiskan US$2,7 miliar. Apalagi hal ini terus berlangsung akan terus menguras cadangan devisa yang akan berujung pada penurunan rating negara Indonesia.

Adanya dampak ikutan yang turut memperburuk citra BI di luar negeri, karena secara moral tidaklah menguntungkan posisi Indonesia dalam pertemuan internasional. Seperti pembicara utama di Manila (Filipina) dan Mumbai (India), pertemuan BIS di Swiss yang akan dihadiri oleh Gubernur Bank Sentral di seluruh dunia (Februari 2008).

Termasuk dimuatnya penetapan status 'tersangka' Gubernur BI ke dalam website IMF dan Bank Dunia adalah dampak pencitraan yang buruk. Selain itu pertemuan 35 Gubernur Bank Sentral dunia, di mana Indonesia Indonesia sebagai Ketua SEACAN (South East Asian Central Bank) akan menjadi tuan rumah Sidang Tahunan SEACAN serta akan dihadiri oleh Managing Director IMF dan Direktur Utama Bank Dunia.

Dalam UU BI No. 3/2004, pasal 49, penetapan Gubernur BI sebagai tersangka dalam suatu kasus harus mendapat izin tertulis dari Presiden, yang bertentangan dengan penetapan Burhanuddin sebagai tersangka oleh KPK. Hal ini memerlukan pengkajian tentang harmonisasi antara UU BI dan UU KPK.

Pertanyaannya, siapakah sebenarnya yang 'menepuk' kasus ini sehingga demikian gegap gempita? Haruskah proses penegakkan hukum yang jelas-jelas tebang pilih ini mengorbankan besaran makro yang sudah dicapai?

Jika melihat regulasi yang ada, KPK bertindak tak mungkin tidak atas izin, paling tidak sepengetahuan, Presiden. Artinya ada agenda yang serius akan di jalankan ke depan, tentu dengan memakan korban. Dan korban itu adalah prestasi makro yang sudah diraih, jika itu terjadi, maka dampaknya akan kembali kepada pemerintah.

Apalagi rumors berkembang di pasar bahwa pemerintah menyiapkan Aulia Pohan, yang nota bene besan Presiden, dalam skenario pencalonan Gubernur BI. Jika terjadi penolakan luas, maka disiapkan skenario kedua, yakni Menko Perekonomian Boediono yang juga mantan alumni BI. Skenario terakhir menyebutkan Menkeu Sri Mulyani juga disiapkan menduduki jabatan BI-1 itu.

Haruskah lembaga independen itu diintervensi dengan skenario di atas? Semoga percikan kasus ini tidak kembali kepada orang yang menepuknya. (djony.edward@bisnis.co.id)

No comments: